Berbicara Partai Masjumi, tidak bisa lepas dari seorang Mohamad Natsir, tokoh pendidik, penulis, ulama, politisi, sekaligus negarawan. Pemikiran dalam tulisan-tulisannya tajam dan peka terhadap zaman. Apa yang ditulis, itulah yang dirasa, dipikirkan, sekaligus dilakukan. Sejak menjadi Ketua Umum Partai Masjumi pada 1949, pengaruhnya dalam partai menjadi sangat besar. Begitu besarnya hingga memunculkan rumus dari Soekarno, Natsir=Masjumi-Masjumi=Natsir.
Awal karier politik Natsir terbilang cemerlang. Prestasi briliannya tercatat pada sidang RIS tahun 1950, saat Indonesia masih terpecah menjadi 17 negara bagian akibat Konferensi Meja Bundar (KMB). Dalam konferensi tersebut, putra Sumatera Barat ini tampil melontarkan pernyataan yang kemudian dikenal dengan Mosi Integral Natsir. Mosi tersebut berisi, Indonesia kembali dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkat jasa Natsir, Soekarno mengangkatnya sebagai Perdana Menteri RI. Posisi ini merupakan pencapaian tertinggi Natsir yang kala itu baru berusia 42 tahun.
Pemerintahan di bawah Natsir tidak berjalan mulus. Berbagai intrik terjadi di kabinet Natsir, termasuk sikap bermusuhan dari Partai Nasional Indonesia (PNI) akibat tidak masuk dalam kabinet. Puncaknya, Natsir berselisih dengan Soekarno terkait Irian Barat. Soekarno ingin merebut Irian Barat secara paksa, sementara Natsir kukuh melaksanakan sesuai perjanjian KMB. Perbedaan ini semakin keruh masuk ke ranah politik hingga membuat kabinet Natsir yang baru berusia tujuh bulan jatuh.
H Mas'oed Abidin menuliskan kiprah Natsir dalam buku Gagasan dan Gerak Dakwah Natsir (Gre Publishing, 2012). Dalam buku yang dibagi dalam 36 bab ini tampak pemikiran-pemikiran Natsir sebagai tokoh modernis yang tidak selalu diterima budaya pesantren tradisional. Ia sosok yang berkomitmen dengan Islam serta terbuka dan bisa bersahabat dengan tokoh-tokoh agama lain.
Tokoh lain yang tidak bisa dikesampingkan dalam sejarah Partai Masjumi adalah Prawoto Mangkusasmito, Ketua Umum terakhir Partai Masjumi. Prawoto tergolong santun dalam berpolitik. Gaya elegan yang patut menjadi teladan tercermin saat Presiden Soekarno membubarkan Masjumi pada tahun 1960. Alih-alih memilih menggerakkan kader untuk berdemo, Prawoto lebih memilih menempuh jalur hukum. Meski kecil kemungkinan berhasil, Prawoto menggugat pemerintah ke pengadilan dengan Mohamad Roem sebagai kuasa hukumnya. Langkah tersebut diambil demi melakukan pendidikan politik kepada masyarakat Indonesia.
Jejak langkah Prawoto, dapat diikuti dalam buku Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito (Penerbit Buku Kompas, 2014). Buku yang merupakan kemas ulang dari terbitan tahun 1972 ini, merupakan kumpulan dari tulisan, ceramah, dan wawancara yang disampaikan oleh Prawoto.
Setidaknya ada empat alasan memunculkan kembali pemikiran-pemikiran Prawoto. Pertama, Prawoto dinilai memiliki jasa besar terhadap penataan demokrasi. Kedua, secara ideologis Prawoto adalah tokoh penting Masjumi yang memegang teguh garis perjuangan partai hingga akhir. Ketiga, ia adalah pendiri utama Yayasan Asrama Pelajar Islam (YAPI). Keempat, saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis kepemimpinan. Sosok Prawoto Mangkusasmito, pemimpin yang rela mempertaruhkan apa saja termasuk nyawanya, adalah teladan yang patut ditiru. (IGP/LITBANG KOMPAS)
Sumber: Kompas, 18 Mei 2014
Komentar
Posting Komentar