Langsung ke konten utama

Arsip Nasional dan Kebangkitan Nasional

Oleh SUSANTO ZUHDI

Mungkin saja seperti tidak dirancang, Rapat Koordinasi Arsip Nasional Republik Indonesia pada Selasa (20/5) ini bertepatan dengan peringatan ke-106 Hari Kebangkitan Nasional. Namun, jelas ada kaitan antara arsip sebagai memori kolektif dan cara suatu bangsa memperingati hari bersejarahnya.

Patut dicatat, peringatan Hari Kebangkitan Nasional secara besar-besaran untuk pertama kali diadakan pada 1948. Meski dapat diperdebatkan apakah tepat menjadikan Hari Kebangkitan Nasional dikaitkan dengan berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, tetapi itu sudah menjadi mitos yang diperlukan.

Peluang dan tantangan

Saat genap 40 tahun memperingati Boedi Oetomo, Presiden Soekarno menjadikannya sebagai momentum bangsa untuk bersatu padu melawan penjajahan kembali Belanda. Tak kurang Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai ketua panitia peringatan. Waktu itu nasib RI seperti "telur di ujung tanduk". Sesudah penandatanganan persetujuan Renville pada Maret 1948, wilayah RI di Jawa hanya tinggal sebagian Jawa Tengah dengan ibu kota Yogyakarta.

Situasi politik makin runyam mengancam perpecahan bangsa setelah Muso pada awal tahun itu kembali dari Moskwa dengan "Jalan Baru"-nya. Rakyat dihadapkan pada dua pilihan: "Muso" atau "Soekarno-Hatta". Tragedi bangsa tak terelakkan dengan pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948. Tragisnya, hanya dalam beberapa bulan saja ibu kota RI di Yogyakarta diduduki pasukan Belanda dengan aksi militer yang kedua pada 19 Desember 1948.

Perjalanan sejarah bangsa telah menunjukkan betapa susah payah menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai negara-bangsa yang telah eksis, sekarang adalah bagaimana ketika kita dihadapkan pada peluang dan tantangan di masa depan. Adalah menarik menelaah pemikiran Prof Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dalam bukunya Menerawang Indonesia Abad Ke-21 (2012). Guru besar Ilmu Ekonomi UI itu mengatakan bahwa ada tiga unsur penentu bagi masa depan negara bangsa Indonesia: geography, demography, history (hlm 67).

Dengan aspek geografi, apa yang kurang bagi sebuah negeri seperti yang dikatakan banyak orang "bak zamrud di katulistiwa"? Dengan "bonus demografi" yang akan dapat dipetik pada tiga dekade mendatang, apa pula yang mengkhawatirkan?

Dengan history--meski merupakan faktor yang lebih labil dibandingkan dengan kedua unsur lainnya--karena sejarah merupakan ranah multitafsir, sejarah justru menawarkan sejumlah pilihan strategis. Hal itu karena sejarah adalah pengalaman perjalanan suatu bangsa.

Ada tiga filosofi melihat sejarah: berjalan maju, bergerak spiral, dan yang akan berulang. Meski umum diketahui bahwa Indonesia merupakan fenomena muncul di awal abad ke-20, akarnya dapat dicari jauh ke belakang.

Beginilah jika dimensi historis hendak diterapkan. Indonesia adalah sebuah cita-cita sekaligus konsep politik yang diperjuangkan dengan "darah dan air mata" sehingga mewujud ke dalam bentuk negara kesatuan (NKRI). Dalam arti kelanjutan dari masa lampau, Nazaruddin Syamsuddin--seperti memperkuat pendapat Muhammad Yamin--dalam pidato pengukuhan guru besar ilmu politik di UI (1994), menyebut bahwa Indonesia yang diproklamasikan pada 1945 merupakan "republik" ketiga.

Dua "republik" sebelumnya adalah Sriwijaya dan Majapahit. Sulit bagi telaah ilmu sejarah untuk membenarkan pendapat tersebut. Lagi-lagi, jika mitos boleh dipakai, ini sangatlah perlu untuk membangkitkan rasa bangga. Ditilik dari luas wilayahnya saja ada perbedaan antara kedua kerajaan itu dan NKRI yang merupakan bekas jajahan Belanda. George McTurnan Kahin (1952) pernah mengemukakan, salah satu faktor terbentuknya nasionalisme Indonesia--sebagai dasar berdirinya negara--karena adanya kebanggaan atas kejayaan kerajaan besar di Sumatera dan Jawa itu.

Berada pada silang dua benua dan dua samudra, NKRI sungguh mempunyai peluang besar menjadi negara maju dan kuat. Namun, sekaligus dihadapkan pada tantangan dan ancaman ke depan yang semakin berat dan kompleks. Bagaimana mempertahankan NKRI dihadapkan pada lingkungan strategis yang semakin berubah cepat dan sering tak terduga. Bagaimana pelajaran sejarah pertahanan bangsa dapat dijadikan modal untuk menghadapi ancaman disintegrasi bangsa dan integritas wilayahnya itu?

Ingatan kolektif bangsa

Faktor sejarah sebagaimana ditekankan Prof Dorodjatun--di sini hendak diberi makna lain sebagai "perekat bangsa"--diharapkan mampu menjadi unsur soliditas bangsa dan kokohnya NKRI. Sejarah dapat berfungsi sebagai perekat jika simpul-simpul ingatan, yang merajut bangsa dengan keragaman masyarakat dan budayanya, dirawat. Persoalannya adalah apakah pelajaran sejarah kita telah berjalan baik? Sudahkah sejarah dipelajari dengan kritis, tetapi berdimensi penanaman nilai-nilai cinta Tanah Air dan kebangsaan?

Rakor Arsip Nasional yang bertujuan menyelamatkan arsip mengenai perbatasan negara sungguh merupakan program strategis. Berbagai instansi yang hadir diharapkan menyerahkan arsip sebagai amanah UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Kearsipan Negara. Merawat arsip pada dasarnya sama dengan merawat ingatan kolektif bangsa. Ia fondasi bagi tegaknya negara. Karena itu, untuk memperkokoh NKRI dapat pula dilakukan dengan cara merawat arsip dan tentu dengan menelaahnya.

SUSANTO ZUHDI
Guru Besar Ilmu Sejarah FIB Universitas Indonesia



Sumber: Kompas, 20 Mei 2014



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...