Tahun 2014 menjadi ajang kontestasi prestisius bagi semua partai politik di Indonesia. Tak ubahnya partai politik yang, secara ideologis, identik dengan Islam. Panji dan baju agama dipertontonkan untuk menyokong elektabilitas partai. Terdapat partai yang secara nyata mengusung simbol-simbol agama ke ruang publik. Hal itu dilakukan untuk menarik simpati sebanyak mungkin dari konstituen. Salah satu gagasan paling kentara adalah mengajukan Islam sebagai dasar negara Indonesia
OLEH AHMAD KHOTIM MUZAKKA
Namun, bagaimana sebenarnya genealogi ide Negara Islam Indonesia? Bergulirnya gagasan negara Islam yang hingga kini terus menggelembung tak bisa dilepaskan dari eksistensi Partai Masjumi. Partai yang lahir pada November 1945 ini merupakan embrio munculnya gagasan mendirikan negara Islam di Nusantara. Tokoh-tokoh yang berada di belakangnya; Muhammad Natsir, Kartosuwiryo, bersikukuh bahwa kontribusi pejuang kemerdekaan dari kalangan Muslim harus dihargai. Salah satu wujud penghargaan itu, antara lain terwujudnya negara yang berdiri atas dasar Islam.
Itulah sekelumit hal-ihwal yang dipaparkan oleh Remy Mainier dalam buku Partai Masjumi guna memantik diskusi lebih lanjut. Peneliti CNRS (Centre Nationale de Recherche Scientifique), Paris, ini membeberkan sejarah panjang genealogi lahirnya Masjumi. Madinier membawa pembaca pada pentas politik yang diperebutkan pada masa prakemerdekaan. Kontestasi antarpartai dan tokoh memperlihatkan pergolakan yang dinamis.
Gerakan reformis di kepulauan Nusantara, menurut Madinier, merupakan imbas pergerakan reformis yang melanda dunia Muslim. Di akhir abad ke-18, di India dan negara Timur Tengah, muncul keresahan atas nasib masyarakat Muslim. Sementara di Nusantara, imbas itu baru dirasakan pada abad ke-19. Pergerakan itu sendiri dimulai oleh Kaum Padri. Dinamika sosial dan agama membentuk mental para ulama masa lalu menggagas pergerakan yang mengedukasi masyarakat. (hal 10-16)
Secara de facto, Masjumi hampir memonopoli representasi Islam Indonesia, setidaknya hingga transformasi Nahdlatul Ulama menjadi partai politik pada 1952. Dua partai Islam lainnya tidak mampu bersaing di pentas politik. Jika Perti tidak punya seorang pun wakil di parlemen, PSII tak pernah berhasil meraih prestisenya kembali. (hal 127) Fakta tersebut mengukuhkan Partai Masjumi sebagai partai yang cukup representatif menggambarkan bentuk keterwakilan Muslim di pemerintahan.
Pada Kongres IV Masjumi yang diselenggarakan bulan Desember 1949 di Yogyakarta, untuk pertama kalinya, Masjumi menetapkan garis resmi partai. Sejak saat itu, para elite Masjumi bergerilya mengampanyekan partainya. Bahkan, Isa Anshary yang menjabat sebagai Ketua Pengurus Daerah Masjumi Jawa Barat melarang anggotanya berafiliasi dengan segala organisasi politik lain. Hal itu dilakukan untuk membekali mereka. (hal 156-159)
Embrio
Jika saat ini santer terdengar kabar ada sebagian kalangan Islam yang bersemangat mendirikan negara Islam di Indonesia, hal itu tak bisa lepas dari rekam jejak Partai Masjumi di masa lalu. Madinier mengungkap, para tunas pemimpin Masjumi bergerak memperjuangkan identitas nasional Indonesia. Perjuangan itu melibatkan perdebatan di antara pemimpin Masjumi dan kalangan nasionalis. Mulanya, gagasannya tidak masuk dalam wilayah perumusan negara Islam, melainkan lebih pada pengakuan atas komunitas Muslim sebagai dasar komunitas nasional. Bukan pula menyoal kemungkinan Islam menjadi dasar negara, tetapi Indonesia berdiri tanpa menyandarkan-diri pada Islam. (hal 271)
Karena tidak mendapat kepastian, di akhir 1930-an, tekanan untuk mewujudkan gagasan Islam tersebut mulai surut. Sikap itu melunak karena perdebatan yang tiada menemui hilirnya, utamanya yang diperjuangkan oleh para nasionalis-sekuler. Pada titik ini, sepertinya, kaum islamis merasa bahwa perjuangan mewujudkan cita-cita Islam tidak mesti melalui "keran" dan "simbol" Islam dalam artian sesungguhnya. Namun, mulai tercium keterpengaruhan gagasan dari kaum nasionalis-sekuler yang memperjuangkan Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state).
Usaha tersebut makin kerap terdengar ketika Mohammad Natsir--yang menggunakan sejumlah nama samaran Mu'azzin, IS., Spectator, A. Moechlis--menyebarluaskan gagasan negara Islam dalam pelbagai tulisannya. Dalam rentang Juni 1936 hingga Maret 1937, misalnya, Natsir menulis sejumlah artikel yang secara berkala dimuat di Pedoman Masjarakat dan Pandji Islam. Natsir ingin menunjukkan betapa besar kontribusi yang diberikan oleh Islam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern. (hal 272-273)
Perseteruan gagasan di antara Soekarno sebagai representasi kaum nasionalis-sekuler berhadapan dengan Natsir yang gigih memperjuangkan negara Islam merupakan "titik didih" perdebatan mengenai mau dibawa ke mana Indonesia nanti pasca merdeka. Saling lempar tudingan di antara para Bapak Bangsa itu menandai gejolak yang, sepertinya, masih "hangat" dipersoalkan. Hingga kini, perdebatan tentang dasar negara Indonesia masih terus diperdebatkan sejumlah kalangan. Hal itu sangat kentara dengan berbagai propaganda yang mengemukakan menyambut Pemilu 2014 ini.
Buku yang ditulis oleh peneliti di Centre Nationale de Recherche Scientifique, Paris, ini melengkapi karya Madinier sebelumnya yang berjudul The End of Innocence? Indonesian Islam and Temptations of Radicalism (2011). Kita patut menyambutnya untuk lebih memberikan pandangan yang lebih luas terhadap genealogi gagasan negara Islam di Indonesia. Meskipun, perolehan suara positif partai Islam tidak merepresentasikan political will untuk mengusung negara Islam di Indonesia. Yang terlihat justru keterbukaan terhadap wacana nasionalisme, keberagaman, dan nilai-nilai kemanusiaan.
AHMAD KHOTIM MUZAKKA
Mahasiswa pada Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Pascasarjana UGM, Yogyakarta
DATA BUKU
Judul: Partai Masjumi, Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral
Penulis: Remy Madinier
Penerbit: Mizan
Cetakan: Pertama, Agustus 2013
Tebal: 465 halaman
ISBN: 978-979-433-707-3
Sumber: Kompas, 18 Mei 2014
Komentar
Posting Komentar