Langsung ke konten utama

Revitalisasi Kebangkitan Nasional

Reiza D. Dienaputra
Lektor Kepala pada Prodi Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Unpad

SAAT pertama kali peringatan Kebangkitan Nasional digagas oleh Kabinet Mohammad Hatta (1948-1949), tujuan utamanya adalah untuk membangun kembali kesadaran sejarah dalam menghadapi kolonialisme. Pilihan tanggal peringatan pun jatuh pada kelahiran organisasi yang dianggap sebagai organisasi pergerakan pertama perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah, yakni Budi Utomo, 20 Mei 1908. Pilihan itu dikarenakan pergerakan nasional merupakan momen perjalanan sejarah penting bangsa Indonesia dalam membebaskan diri dari belenggu kolonial.

Kiprah

Keberadaan Budi Utomo sebagai organisasi pergerakan yang tanggal kelahirannya dijadikan sebagai momen peringatan Harkitnas tidak berarti hanya Budi Utomo yang berkontribusi dalam perjuangan melawan kolonialisme dengan mendirikan organisasi. Di luar itu, masih banyak organisasi pergerakan yang juga berkontribusi dalam perjuangan menghadapi kolonialisme.

Walaupun organisasi-organisasi pergerakan tersebut pada esensinya memiliki tujuan sama tetapi cara organisasi-organisasi itu mencapai tujuannya direpresentasikan dalam strategi berbeda. Ada yang menempuhnya melalui pergerakan politik (Sarekat Islam, Indische Partij, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia), melalui pergerakan kebudayaan (Paguyuban Pasundan, Sarikat Sumatra, Rukun Minahasa), dan melalui pergerakan keagamaan (Ahmadiyah, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama). Demikian pula strategi dalam menghadapi kekuasaan pemerintah kolonial. Ada yang berjuang secara kooperatif atau terlibat aktif dalam institusi bentukan pemerintah kolonial, ada pula yang menempuh cara non-kooperatif, menolak terlibat dalam institusi bentukan pemerintah kolonial atau menolak bantuan finansial dari kolonial Belanda.

Berbagai upaya organisasi-organisasi pergerakan dalam membangun kehidupan lebih baik bagi masyarakat Indonesia secara perlahan tapi pasti mampu memberikan perubahan di berbagai bidang kehidupan.

Melengkapi berbagai perubahan yang terjadi di tengah masyarakat, era pergerakan nasional juga berhasil memberi kontribusi bagi tumbuhnya kesadaran baru sebagai sebuah komunitas yang tinggal dan hidup di wilayah yang saat itu diberi nama Hindia Belanda. Kesadaran akan identitas baru itu berhasil dirumuskan sekelompok pemuda saat berlangsung Kongres II Pemuda Indonesia, 26-28 Oktober 1928. Pada akhir kongres dibacakanlah ikrar pemuda Indonesia, "kami putra dan putri Indonesia ....".

Terbangunnya identitas Indonesia itu memperlihatkan efektivitas perjuangan melalui jalur organisasi. Hanya dalam waktu relatif pendek, perjuangan ini telah melahirkan sebuah atmosfer baru, atmosfer persatuan, yang sebelumnya begitu sulit digapai. Tidaklah berlebihan bila momen pergerakan ini dijadikan momen kebangkitan nasional.

Memaknai Harkitnas

Esensi setiap peringatan hari kebangkitan nasional sejatinya adalah peringatan lahirnya semangat dan pemikiran baru dalam membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik. Pemikiran dan semangat baru tersebut terepresentasikan dalam bentuk perjuangan menghadapi pemerintah kolonial melalui pendirian organisasi pergerakan. Dalam kaitan itu pula jelaslah bahwa setiap peringatan kebangkitan nasional haruslah diarahkan pada upaya mereaktualisasi kebangkitan nasional agar relevan dengan tantangan zamannya.

Bila pada awal abad XX kebangkitan nasional terepresentasikan dalam bentuk perjuangan membebaskan diri dari belenggu kolonialisme maka pada perkembangan kontemporer di abad XXI, kebangkitan nasional haruslah direpresentasikan pada upaya penanganan berbagai permasalahan dan tantangan kemasyarakatan, baik yang berdimensi internal maupun eksternal.

Permasalahan dan tantangan kemasyarakatan berdimensi internal di antaranya bersangkut-paut dengan permasalahan krisis identitas dan jati diri Indonesia sebagai sebuah bangsa. Kata kunci untuk dapat membangun kembali identitas dan jati diri Indonesia sebagai sebuah bangsa di antaranya dimulai dengan membangun kembali kesadaran sejarah masyarakat Indonesia. Melalui pembangunan kembali kesadaran sejarah akan tumbuh rasa cinta dan kebanggaan terhadap negara dan tanah air, lalu akan tumbuh pula rasa bangga sebagai bangsa Indonesia yang selanjutnya akan mendorong pada keinginan kuat memelihara kebanggaan tersebut serta terus meningkatkan kualitasnya dalam percaturan internasional.

Permasalahan yang berdimensi internal lainnya adalah berkaitan dengan pembangunan budaya politik Indonesia, mengingat adanya kesenjangan tajam antara sistem politik transisi demokrasi yang kini tengah berkembang dengan perilaku politik masyarakat, termasuk di dalamnya perilaku politik para elite politik.

Penanganan tantangan dan permasalahan kemasyarakatan berdimensi internal menjadi semakin mendesak manakala tantangan kemasyarakatan berdimensi eksternal juga harus segera diantisipasi secara cermat dan tepat. Satu di antara yang mendesak untuk diantisipasi adalah pemberlakuan pasar bebas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015.

Kebangkitan nasional yang kini kembali diperingati bangsa Indonesia harus difokuskan pada upaya penanganan berbagai tantangan dan permasalahan kemasyarakatan tersebut. Kebangkitan nasional masyarakat Indonesia saat ini haruslah merupakan kebangkitan dari berbagai keterpurukan Indonesia sebagai sebuah bangsa, baik yang berdimensi internal maupun yang berdimensi eksternal. Semoga! ***



Sumber: Pikiran Rakyat, 20 Mei 2014



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan