Langsung ke konten utama

Kiprah Ulama Menjaga Nusantara

Suara shalawat menggema dari meunasah atau mushala di Gampong Ruyung, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, Aceh, Kamis (12/1). Hari itu, di tempat itu, digelar kenduri merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Ulama setempat beserta warga mempersilakan siapa saja yang lewat di depan meunasah untuk mampir dan makan bersama.

Kenduri tersebut merupakan tradisi yang sudah mengakar lama. Ulama membaur dengan warga menyiapkan makanan.

Pada masa Perang Aceh, meunasah yang ada di setiap desa menjadi tempat untuk menyusun strategi perjuangan. Hal itu, antara lain, dilakukan Syeikh Muhammad Saman Tiro atau Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman. Di meunasah, pada 1889, ia menulis surat kepada para uleebalang dan keuchik atau kepala desa agar kembali lagi berperang membela bangsa.

Surat itu ditulis karena sebagian uleebalang (hulubalang) dan keuchik mulai memihak Belanda. Peristiwa ini terjadi setelah pada 1873, lewat agresi militernya, Belanda berhasil merebut Keraton Kesultanan Aceh dan melemahkan kekuatan sultan.

Kondisi itu mendorong para ulama di Aceh, yang awalnya hanya menjadi penasihat utama kerajaan, perlahan mulai memimpin kelompok-kelompok masyarakat untuk memerangi Belanda.

Pada April 1874, Tuanku Hasyim, Panglima Polem, Teuku Panglima Duapuluh Enam, dan Sri Setia Ulama mengumumkan para ulama di Aceh Besar bersepakat melanjutkan perjuangan. Saat yang bersamaan, Teungku Imum Lueng Bata dan Teuku Chik Lamnga memulai serangan ke Meuraxa, Banda Aceh. Namun, mereka dapat dipukul mundur karena kalah tenaga, persenjataan, dan perbekalan.

Berkaca dari pengalaman tersebut, para ulama besar lalu melakukan pertemuan dan kemudian memutuskan mengutus Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman untuk mengobarkan semangat perjuangan rakyat Aceh. Hikayat Prang Sabil yang sarat makna dan pesan agama menjadi peranti utama untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap Belanda.

Dalam cuplikan Hikayat Prang Sabil yang ditulis pada buku Perang Kolonial Belanda di Aceh terbitan Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, ada tiga kewajiban yang harus dilakukan untuk menggenapi tiang agama. Tiga kewajiban itu adalah iman kepada-Nya, sembahyang, dan kewajiban berperang melawan Belanda.

Untuk mengoptimalkan penyebaran hikayat tersebut, Teungku Chik di Tiro dan para ulama memanfaatkan meunasah dan dayah (pesantren) yang ada di tiap-tiap desa.

Belanda mulai mencium gelagat tidak menyenangkan. Pada 1882, pembakaran kitab hikayat dilakukan disertai perburuan terhadap para ulama yang memimpin perlawanan. Gubernur Belanda bahkan mengumumkan bagi yang dapat menangkap ulama hidup atau mati akan diberi imbalan uang. 

Namun, rakyat tak terpengaruh oleh iming-iming tersebut. Secara sembunyi-sembunyi, masyarakat Aceh tetap membaca hikayat. Para ulama, termasuk Teungku Cik di Tiro, semakin gencar melakukan serangan terhadap Belanda dengan strategi gerilya. Pada saat yang sama, para ulama juga melancarkan diplomasi melalui surat-menyurat, baik kepada Belanda maupun para uleebalang yang membelot.

JA Kruyt dalam buku De Atjeh Oorlong menuliskan, para ulama juga menggerakkan para bangsawan dan masyarakat umum untuk sukarela menyumbangkan hartanya demi membiayai perang melawan Belanda. Dana yang dikumpulkan itu disebut hak sabil. Hak sabil itu lalu digunakan untuk membeli senjata, logistik, dan membangun pertahanan.

Kecerdasan

Kegigihan pejuang Aceh membuat Belanda merasa kian terdesak. Selain ribuan tentaranya tewas, Belanda juga harus menanggung kerugian finansial yang selama perang pada 1873-1891 mencapai 200 juta florin atau setara dengan Rp 1,4 triliun pada saat ini. Di tengah kegalauan tersebut, dikirim ilmuwan Snouck Hurgronje untuk meneliti dan memetakan kekuatan pasukan Aceh pada 1891.

Dari laporan Hurgronje, yang dijadikan buku berjudul De Atjehers, diketahui, titik kekuatan masyarakat Aceh dalam berjuang melawan Belanda berada pada para ulama dan ajaran agama. "Yang dihadapi Belanda di Aceh bukan suatu partai Keumala, bukan pula kawanan liar perampok, tetapi suatu partai rakyat. Sepanjang menyangkut Aceh, baik atau buruk, dipersatukan dan diorganisasi oleh para ulama," tulis Hurgronje.

Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Misri Abdul Muchsin mengutarakan, selain faktor agama, ulama menjadi sosok penting dan mampu memengaruhi masyarakat karena memiliki kecerdasan yang lebih daripada rata-rata penduduk. Strategi perang yang tidak tertebak merupakan buah dari kecerdasan yang mereka miliki.

"Suara ataupun nasihat ulama sangat didengar masyarakat dan menjadi pertimbangan pemerintah. Mereka tidak hanya sekadar menimbulkan kebencian bagi musuh agar masyarakat ikut berperang, tetapi juga menumbuhkan kecintaan yang tinggi kepada agama dan bangsa," tuturnya.

Dengan kata lain, ilmu yang dimiliki ulama digunakan untuk membangkitkan semangat yang positif bagi persatuan bangsa. Karena itu, pengaruh ulama tidak lekang meski Perang Aceh berakhir. Ucapan dan sikap mereka tetap dijadika acuan.

Teuku Ibrahim Alfian menuangkannya pada buku berjudul Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, Sepak Terjang Ulama Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Melalui Maklumat Ulama, seluruh Aceh yang digagas empat ulama besar, yaitu Teungku Haji Hasan Krueng Kale, Teungku M Daud Beureuh, Teungku Haji Ja'far Sidik Lamjabat, dan Teungku Haji Hasballah Indrapuri, pada Oktober 1945, menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Pada maklumat itu, dicantumkan bahwa upaya mempertahankan Republik Indonesia adalah perjuangan suci. Penutup dalam maklumat itu menyatakan, semua masyarakat Aceh patuh atas segala perintah pemimpin bangsa demi keselamatan Tanah Air, agama, dan bangsa.

Sosiolog dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Saleh Sjafei, mengakui, ulama masa lalu menjadi teladan karena antara perbuatan dan perkataannya sesuai, dapat dipegang, dan dipercaya. Untuk itu, masyarakat sangat menghormati dan menghargai mereka. Hal itu merupakan kelebihan ulama masa lalu sehingga bisa menyatukan masyarakat untuk mencintai bangsanya.

Tidak hanya di Aceh, peran ulama juga kuat mengakar di daerah lain di Nusantara, seperti di Jawa. Perjuangan Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Songo, melawan Portugis menjadi salah satu bukti. Selanjutnya, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari juga berhasil membawa pengaruh dan memobilisasi kekuatan masyarakat dengan senjata pendidikan untuk melawan kolonialisme. 

Tanpa peran serta ulama pada masa lalu, kemerdekaan Indonesia mungkin tidak akan terwujud. Kecintaan pada Tanah Air yang ditunjukkan ulama pada masa lalu itu menjadi teladan yang terus relevan di tengah berbagai persoalan kebangsaan saat ini.

(RIANA A. ABRAHIM/A PONCO ANGGORO/ADRIAN FAJRIANSYAH)


Sumber: Kompas, 1 Februari 2017


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Polongbangkeng, Wilayah Republik Pertama di Sulawesi Selatan

P olongbangkeng di Kabupaten Takalar, kini nyaris tak dikenal lagi generasi muda di Sulawesi Selatan. Lagi pula, tak ada yang istimewa di kota yang terletak sekitar 40 kilometer dari Ujungpandang, kecuali jika harus melongok ke masa lalu--masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dulu, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Polongbangkeng jadi pusat perjuangan mendukung Proklamasi oleh pejuang-pejuang Sulsel. Ketika NICA mendarat diboncengi tentara Belanda, Polongbangkeng pula yang jadi basis pejuang mempertahankan kedaulatan RI  di tanah Makassar. Para pejuang yang bermarkas di Polongbangkeng berasal dari berbagai daerah seperti Robert Wolter Monginsidi (Minahasa), Muhammad Syah (Banjar), Raden Endang (Jawa), Bahang (Selayar), Ali Malaka (Pangkajene), Sofyan Sunari (Jawa), Emmy Saelan dan Maulwy Saelan (Madura), dan tentu saja pahlawan nasional pimpinan Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) Ranggong Daeng Romo. Pada akhir Agustus 1945, Fakhruddin D...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

G30S dalam Pelajaran Sekolah

Oleh: SUSANTO ZUHDI K urikulum 2004 yang diujicobakan di Jawa Timur menuai reaksi keras. Pasalnya, pada pelajaran sejarah tidak dicantumkan kata PKI pada "Gerakan 30 September 1965". Aspirasi guru dan sejumlah tokoh di Jawa Timur pun dibawa ke DPR. Masalah itu dibahas dalam rapat para menteri di bawah Menko Kesra pada Juni 2005. Akhirnya Depdiknas menyatakan, dalam masa transisi mata pelajaran sejarah di sekolah menggunakan Kurikulum 1994. Bukan soal fakta Kalau boleh berseloroh, mengapa tidak ditambah saja kata "PKI" sehingga tak perlu revisi selama enam bulan. Persoalannya tidak semudah itu, pun bukan soal fakta "G30S 1965" dengan "PKI" saja, tetapi ada dua hal lain yang diangkat. Pertama, siswa kelas II dan III SLTA jurusan IPA dan SMK tidak diberi lagi pelajaran sejarah. Kedua, soal tuntutan agar mata pelajaran sejarah diberikan secara mandiri (terpisah) baik untuk SD maupun SLTP. Seperti diketahui, dalam Kurikulum 2004 mata pelaja...

JEJAK KERAJAAN DENGAN 40 GAJAH

Prasasti Batutulis dibuat untuk menghormati Raja Pajajaran terkemuka. Isinya tak menyebut soal emas permata. K ETERTARIKAN Menteri Said Agil Husin Al Munawar pada Prasasti Batutulis terlambat 315 tahun dibanding orang Belanda. Prasasti ini telah menyedot perhatian Sersan Scipiok dari Serikat Dagang Kumpeni (VOC), yang menemukannya pada 1687 ketika sedang menjelajah ke "pedalaman Betawi". Tapi bukan demi memburu harta. Saat itu ia ingin mengetahui makna yang tertulis dalam prasasti itu. Karena belum juga terungkap, tiga tahun berselang Kumpeni mengirimkan ekspedisi kedua di bawah pimpinan Kapiten Adolf Winkler untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasilnya juga kurang memuaskan. Barulah pada 1811, saat Inggris berkuasa di Indonesia, diadakan penelitian ilmiah yang lebih mendalam. Apalagi gubernur jenderalnya, Raffles, sedang getol menulis buku The History of Java . Meski demikian, isi prasasti berhuruf Jawa kuno dengan bahasa Sunda kuno itu sepenuhnya baru dipahami pada awa...

Makam Imam Al-Bukhori

Menarik membaca tulisan Arbain Rambey berjudul "Uzbekistan di Pusaran Sejarah" ( Kompas , 20 Oktober 2019).  Berdasarkan kisah dari pemandu wisata di Tashkent, diceritakan peran Presiden Soekarno memperkenalkan Makam Imam Al-Bukhori di Samarkand yang nyaris terlupakan dalam sejarah. Kisah Soekarno dimulai ketika dalam kunjungan ke Moskwa minta diantar ke makam Imam Al-Bukhori. Menurut buku The Uncensored of Bung Karno, Misteri Kehidupan Sang Presiden  tulisan Abraham Panumbangan (2016, halaman 190-193), "Pada tahun 1961 pemimpin tertinggi partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet Nikita Sergeyevich Khruschev mengundang Bung Karno ke Moskwa. Sebenarnya Kruschev ingin memperlihatkan pada Amerika bahwa Indonesia adalah negara di belakang Uni Soviet".  Karena sudah lama ingin berziarah ke makam Imam Al-Bukhori, Bung Karno mensyaratkan itu sebelum berangkat ke Soviet. Pontang-pantinglah pasukan elite Kruschev mencari makam Imam Al-Bukhori yang lah...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...