Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2012

JEJAK NASIONALISME BANDA (5-HABIS) Semua Penduduk Tahu, Dulu Ada Sekolah yang Dibikin Hatta dan Sjahrir

C atatan Reinier de Klerk (Gubernur Banda tahun 1748 dan Gubernur Jenderal Hindia 1777-1780), mengungkapkan, pendapatan VOC dari penjualan rempah-rempah, terutama pala dan fulinya, mencapai 1.800.000 gulden pada tahun 1756. Sekitar seabad kemudian, bahan statistik yang dikumpulkan Dr Pieter Bleeker, seorang opsir kesehatan tentara, menyebutkan penerimaan dari perdagangan rempah-rempah mencapai 959.610 gulden (Willard A Hanna, 1983). Namun, pada permulaan abad ke-20 peran penting ini berangsur pudar. Pada periode itu, Banda hanya menyumbang pendapatan 20.000 gulden per tahun. Pemerintah kolonial juga menurunkan kedudukan Banda menjadi kepulauan terpencil di bawah Karesidenan Ambon. Hierarki pemerintahan yang semula setingkat gubernur diganti menjadi kontrolir. Empat tokoh Sejak akhir abad ke-19, Banda Neira, sebuah kota berpenduduk sekitar 7.000 orang dan terletak di Pulau Neira, menjadi tempat pengasingan para tokoh politik bumiputera. Pada dinding monumen peringatan Parigi Rante di Ba

JEJAK NASIONALISME BANDA (4) Sosok Des Alwi, dari Perjuangan hingga Orde Baru

P engusaha Hashim Djojohadikusumo meluncurkan ulang buku Pertempuran 10 November 1945  karya Des Alwi akhir November 2011. "Dari Banda inilah, Indonesia yang sekarang ada tercipta. Salah satu tokohnya adalah Des Alwi," ujar Hashim memuji Des Alwi, sahabat dan kerabat dekat keluarga besar Djojohadikusumo. Tahun 1930-an, Des Alwi menjadi murid dan anak angkat Bung Hatta alias Om Kaca Mata dan Bung Kecil, yakni Sutan Syahrir alias Om Rir. Des Alwi adalah tokoh lintas zaman dan generasi. Dia bergaul dengan perintis dan pendiri Republik. Turut terlibat langsung dalam desing peluru, keringat, dan darah semasa revolusi fisik, berseberangan dengan masa akhir rezim Orde Lama, dan dekat dengan tokoh-tokoh Orde Baru. Semasa hidup, dalam satu kesempatan saat bertemu di sebuah restoran di bilangan Menteng, Jakarta, Des Alwi bercerita saat dia berada di Kuala Lumpur, kubu anti-Soekarno kerap menghubungi dirinya. Des ikut pula merintis upaya mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia karena

JEJAK NASIONALISME DI BANDA (3) Menyusuri Jejak Para Pendiri Bangsa yang Dibuang ke Banda

P ulau Neira di Kepulauan Banda Neira adalah penjara sekaligus surga bagi para tahanan politik zaman Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Sejumlah tokoh besar Republik Indonesia, yakni Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusuma Sumantri, Sutan Syahrir, dan Mohammad Hatta, pernah dibuang di Kepulauan Banda dan bermukim di Pulau Neira sebelum Jepang mengalahkan Hindia Belanda dalam Perang Dunia II. Mengelilingi Pulau Neira di sekitar pelabuhan dan Benteng Belgica seperti mengarungi mesin waktu ke masa pembuangan di sekitar tahun 1930-an hingga 1942 ketika Sutan Syahrir dan Hatta dengan tergesa-gesa diungsikan Pemerintah Hindia Belanda ke Jawa setelah terdesak serangan Jepang dalam Perang Pasifik. Mereka berada di Banda Neira dalam kurun 1936-1942. Secara berurutan, bangunan dan jejak langkah para pejuang tersebut dapat disusuri dari utara kota Neira di Pecinan, yakni rumah pembuangan Bung Syahrir yang terletak di seberang penginapan Delfika Satu milik kerabat Des Alwi. Rumah pembuangan Bung Syahrir

JEJAK NASIONALISME BANDA (2) Kisah Perdagangan Rempah-rempah di Banda

S ampan kecil alias kole-kole  dengan dinding kapal nyaris menyentuh permukaan air laut dikayuh perlahan di tepi pantai Pulau Neira, Kepulauan Banda Neira, Provinsi Maluku. Suasana senyap. Sesekali terdengar senda gurau anak-anak di tepi pantai. Di sisi lain bola dunia, "saudara Kepulauan Banda", yakni kota New York, Amerika Serikat, sepanjang hari sibuk dipenuhi manusia dan kendaraan yang lalu lalang. Pada tahun 1600-an, Kepulauan Banda dan wilayah yang kini disebut kota New York pernah dipersatukan oleh ikatan sejarah perebutan rempah pala antara Inggris dan Belanda. Koloni Nieuw Amsterdam dan Pulau Manhattan dan Pulau Run di Banda menjadi obyek Perjanjian Breda tahun 1667 antara Inggris dan Belanda. Memang ironis. Pada saat Belanda memperoleh Pulau Run dari Inggris kelihatannya mereka untung secara finansial. Harga satu genggam pala ketika itu senilai dengan satu genggam emas dengan bobot sama! "Inggris sepertinya merugi dengan menerima Pulau Manhattan dan Nieuw Amste

JEJAK NASIONALISME DI BANDA (1) Kerukunan Multietnik, Kekuatan dan Identitas Banda

Pengantar Redaksi: Jejak nasionalisme adalah warisan sejarah yang hidup hingga saat ini. Bukan hanya berbentuk artefak, melainkan juga dalam bentuk kebudayaan dan peradaban. Dan, di Indonesia, dengan pengalaman panjangnya, sangat kaya dengan jejak-jejak kebangsaan itu. Setelah laporan dari Ende (Flores), Bandung (Jawa Barat), Muntok (Bangka), April ini giliran laporan dari Banda (Maluku) yang diturunkan Selasa (24/4) ini hingga Sabtu (28/4). Oleh IWAN SANTOSA O rang Kepulauan Banda adalah orang Indonesia asli seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa sebagai tempat peleburan beragam suku di Nusantara. Lumrah bila kita menemukan seorang Banda dengan nama Arab, tetapi memiliki leluhur Tionghoa, Eropa, Jawa, dan suku-suku lain di Nusantara. "Suami pertama saya Tionghoa Hokkian. Dia meninggal. Lalu, saya menikah dengan orang Jawa. Leluhur saya lelaki asal Buton dan leluhur perempuan Jawa," ujar Nyonya Sari Banun (60), warga Banda yang bermukim dekat Pelabuhan Banda. Perawa