Langsung ke konten utama

JEJAK NASIONALISME DI BANDA (3) Menyusuri Jejak Para Pendiri Bangsa yang Dibuang ke Banda

Pulau Neira di Kepulauan Banda Neira adalah penjara sekaligus surga bagi para tahanan politik zaman Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Sejumlah tokoh besar Republik Indonesia, yakni Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusuma Sumantri, Sutan Syahrir, dan Mohammad Hatta, pernah dibuang di Kepulauan Banda dan bermukim di Pulau Neira sebelum Jepang mengalahkan Hindia Belanda dalam Perang Dunia II.

Mengelilingi Pulau Neira di sekitar pelabuhan dan Benteng Belgica seperti mengarungi mesin waktu ke masa pembuangan di sekitar tahun 1930-an hingga 1942 ketika Sutan Syahrir dan Hatta dengan tergesa-gesa diungsikan Pemerintah Hindia Belanda ke Jawa setelah terdesak serangan Jepang dalam Perang Pasifik. Mereka berada di Banda Neira dalam kurun 1936-1942.

Secara berurutan, bangunan dan jejak langkah para pejuang tersebut dapat disusuri dari utara kota Neira di Pecinan, yakni rumah pembuangan Bung Syahrir yang terletak di seberang penginapan Delfika Satu milik kerabat Des Alwi. Rumah pembuangan Bung Syahrir bersebelahan dengan Rumah Budaya Banda yang merupakan tempat kelahiran Des Alwi yang kemudian dibeli Kapiten Tionghoa Ho Kok Cai.

Dalam Rumah Budaya Banda dipamerkan beragam artefak sejarah Banda terkait dengan Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC (Belanda), East India Company (Inggris), perlengkapan perkebunan pala, meriam-meriam perunggu, kuningan, besi, mata uang perak, tembaga dari tahun 1600-an hingga masa awal berdirinya RI, serta botol-botol minuman dari abad ke-18.

"Di sini dipamerkan perjalanan sejarah Banda dan perburuan rempah-rempah pala. Selanjutnya Banda menjadi tempat pembuangan para tokoh pejuang dari tahun 1700-an hingga awal 1900-an sebelum Perang Dunia II. Sayang, sepeninggal Om Des wafat kurang terawat situs-situs sejarah di Banda," kata Iqbal Baadila yang memandu pengunjung di Banda.

Rumah pembuangan Syahrir berisi lukisan besar, foto-foto wajah dan perjalanan hidup Syahrir, serta surat-menyurat Syahrir pada Sidang Dewan Keamanan PBB tahun 1947 di Lake Success, New York, dengan Presiden Dewan Keamanan Farid El Khouri asal Suriah, Surat Penetapan Presiden Karno mengangkat Sutan Syahrir sebagai perdana menteri dan surat penetapan sebagai pahlawan nasional.

Hal Hitam (80), warga Kampung Dwi Warna yang ketika itu berumur tujuh tahun, mengingat perjumpaannya dengan Sutan Syahrir (Om Rir) dan Bung Hatta (Om Kacamata) di Neira. Dia teringat Syahrir dan Hatta giat mengajar anak-anak di rumah Bung Hatta. 

"Mereka sering mandi-mandi di laut. Syahrir kuat berenang di laut bersama Des Alwi dan saudara-saudara perempuannya. Hatta sering berjalan-jalan ke hutan bersama anak-anak teman saya," ujar Hal Hitam.

Sehari-hari, Hal Hitam dan saudara kembarnya, Hal Putih, menemani Halik, sahabat Des Alwi, berjualan kue gogos (semacam kue ketan berisi daging ikan), wajik, lopis, hingga pisang goreng. Kue-kue itu kerap dikirim ke rumah Syahrir. Hal Hitam mengenang, setelah bangun tidur, Syahrir meninggalkan uang untuk membayar kue-kue yang ditinggalkan di rumahnya. 

Tidak jauh dari sana, 10 menit berjalan kaki setelah melewati rumah Capten Nigel Cole, perwira Royal Marines (Marinir Kerajaan Inggris) yang merebut Fort Belgica di Banda tahun 1810 semasa Perang Napoleon di Asia, terletak rumah pengasingan Hatta. Lokasi tersebut bersebelahan dengan lembaga pemasyarakatan di Banda.

Rumah itu terlihat seperti aslinya. Ada kursi tamu, kursi santai, mesin tik, meja kerja, meja makan, meja peralatan makan, guci berisi air tempat berwudu, dan deretan bangku yang menjadi tempat sekolah Des Alwi dan teman-temannya. Dalam lemari kaca terdapat kacamata Bung Hatta, pisau, songkok, kartu nama Rachmi Hatta berikat surat tulisan tangannya, piyama dan jas, serta sepasang sepatu Bung Hatta.

"Ibu Meutia Hatta waktu terakhir ke sini sempat menangis melihat foto beliau bersama Ibunda Rachmi Hatta," kata Iqbal Baadila.

Rumah pengasingan Hatta memiliki koleksi foto dan keterangan yang cukup memadai menggambarkan kiprah Hatta dalam perjuangan kebangsaan dan revolusi Indonesia. 

Syahrir dan Hatta meninggalkan kenangan bagi Hal Hitam dan teman-teman sebayanya ketika kedua tokoh itu membuat kole-kole berwarna merah-putih demi membangkitkan semangat kebangsaan mereka. Untuk mengelabui pihak kolonial Hindia Belanda, Syahrir dan Hatta yang ditanya penguasa tentang maksud pewarnaan perahu itu menjawab ringan bahwa kedua warna itu dikombinasikan warna laut yang biru adalah triwarna Merah-Putih-Biru yang merupakan bendera Belanda. Dalam catatan Des Alwi, Syahrir pernah memesan perahu di Pulau Lonthor yang dinamai "Indonesia".

Komunikasi Hatta-Tjipto

Hal Hitam mengingat Bung Hatta menjalin komunikasi dengan cara yang unik. Dia menyelundupkan surat untuk dokter Tjipto Mangunkusumo di dalam tumpukan arang milik seorang pedagang keliling. Tjipto yang tiba tahun 1928 di Banda Neira bersama istri dan dua keponakan yang menjadi anak angkat, yakni Donald Vogel dan Louis Vogel, memiliki hubungan baik dengan masyarakat dan sesama orang buangan.

"Ada pedagang arang bernama La Saodah yang berkeliling Neira. Om Hatta membeli arang dan sering meminta La Saodah mengirimkan surat ke Om Tjip yang disembunyikan di dalam tumpukan arang," ujar Hal Hitam.

Des Alwi dalam buku Bersama Hatta, Syahrir, dr Tjipto dan Iwa K Somantri di Banda Naira mengakui banyaknya mata-mata kolonial, yakni Politiek Inlichtingen Dienst (PID) atau dinas intelijen yang memantau para tokoh yang dibuang itu.

Di dekat Gedung Klasis Gereja Banda dan dekat polsek terdapat rumah yang pernah dihuni Mr Iwa Kusuma Sumantri di Jalan Dwi Warna. Rumah tersebut sempat dihuni keluarga De Kock yang mengungsi sewaktu terjadi kerusuhan di Banda. Kini pasangan Fandi Pattiiha dan Ayu menghuni rumah tersebut. Ayu, guru Bahasa Jerman, memiliki nenek bernama Rafiah Jaffar asli Banda yang pernah menjadi pembantu di rumah tersebut ketika Iwa Kusuma Sumantri berada di pembuangan.

Masih di kawasan sama terdapat rumah besar yang dihuni dokter Tjipto Mangunkusumo. Rumah itu kini dihuni Nyonya Ramelan Baco Awal (55), istri seorang pensiunan jaksa. Bangunan fisik rumah tersebut masih terjaga rapi. "Bagian atap mulai lapuk," ujar Iqbal Baadila. Sayangnya tidak banyak terdapat keterangan tentang Tjipto Mangunkusumo.

Keberadaan situs tokoh-tokoh bangsa itu seharusnya mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Mestinya bisa menjadi daya tarik wisata sejarah yang sarat dengan pesan-pesan kebangsaan. (IWAN SANTOSA)



Sumber: Kompas, 26 April 2012



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

"Abangan"

Oleh AJIP ROSIDI I STILAH abangan berasal dari bahasa Jawa, artinya "orang-orang merah", yaitu untuk menyebut orang yang resminya memeluk agama Islam, tetapi tidak pernah melaksanakan syariah seperti salat dan puasa. Istilah itu biasanya digunakan oleh kaum santri  kepada mereka yang resminya orang Islam tetapi tidak taat menjalankan syariah dengan nada agak merendahkan. Sebagai lawan dari istilah abangan  ada istilah putihan , yaitu untuk menyebut orang-orang Islam yang taat melaksanakan syariat. Kalau menyebut orang-orang yang taat menjalankan syariat dengan putihan  dapat kita tebak mungkin karena umumnya mereka suka memakai baju atau jubah putih. Akan tetapi sebutan abangan-- apakah orang-orang itu selalu atau umumnya memakai baju berwarna merah? Rasanya tidak. Sebutan abangan  itu biasanya digunakan oleh orang-orang putihan , karena orang "abangan" sendiri menyebut dirinya "orang Islam". Istilah abangan  menjadi populer sejak digunakan oleh Clifford ...