Langsung ke konten utama

JEJAK NASIONALISME BANDA (5-HABIS) Semua Penduduk Tahu, Dulu Ada Sekolah yang Dibikin Hatta dan Sjahrir

Catatan Reinier de Klerk (Gubernur Banda tahun 1748 dan Gubernur Jenderal Hindia 1777-1780), mengungkapkan, pendapatan VOC dari penjualan rempah-rempah, terutama pala dan fulinya, mencapai 1.800.000 gulden pada tahun 1756. Sekitar seabad kemudian, bahan statistik yang dikumpulkan Dr Pieter Bleeker, seorang opsir kesehatan tentara, menyebutkan penerimaan dari perdagangan rempah-rempah mencapai 959.610 gulden (Willard A Hanna, 1983).

Namun, pada permulaan abad ke-20 peran penting ini berangsur pudar. Pada periode itu, Banda hanya menyumbang pendapatan 20.000 gulden per tahun. Pemerintah kolonial juga menurunkan kedudukan Banda menjadi kepulauan terpencil di bawah Karesidenan Ambon. Hierarki pemerintahan yang semula setingkat gubernur diganti menjadi kontrolir.

Empat tokoh

Sejak akhir abad ke-19, Banda Neira, sebuah kota berpenduduk sekitar 7.000 orang dan terletak di Pulau Neira, menjadi tempat pengasingan para tokoh politik bumiputera. Pada dinding monumen peringatan Parigi Rante di Banda Neira kini tercantum nama-nama tokoh yang pernah dibuang di situ. Di antara para tokoh politik ada yang berasal dari Serang, Cilegon, Semarang, Yogyakarta, Blitar, hingga Kutaraja, dan Tondano.

Kedatangan empat tokoh politik pada periode 1928-1942, yakni Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Iwa Kusuma Sumantri, dan dokter Tjipto Mangunkusumo, memberi warna tersendiri bagi wilayah ini. Keempatnya, melalui organisasi masing-masing, berjuang membangkitkan kesadaran akan sebuah bangsa yang baru, yang bebas dari kolonialisme.

Hatta dan Sjahrir dibawa ke Banda Neira dari tempat pembuangan sebelumnya, yakni Boven Digoel, Papua. Mereka ditangkap karena melakukan pendidikan politik kader melalui organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-baru). Iwa K Sumantri bersama dengan Hatta dan Sjahrir mendirikan Perhimpunan Indonesia di Belanda pada 1920-an. Dokter Tjipto merupakan salah satu pendiri Indische Partij yang memperjuangkan kemerdekaan politik. 

Di Banda Neira, keempatnya dilarang melakukan kegiatan politik. Meskipun demikian, ruang gerak yang ada dipakai untuk melawan pengaruh kolonial atas penduduk lokal. Iwa K Sumantri dan Sjahrir memberikan bantuan hukum bagi penduduk terutama berkaitan dengan hak atas tanah. Hatta membantu anak muda lokal membentuk gerakan koperasi Persatuan Banda Neira di antara para petani. Dokter Tjipto selalu bersedia mengobati yang sakit.

Kehadiran mereka saat itu mengisi sepenggal ruang di dalam memori kolektif masyarakat lokal dan membangkitkan kembali kesadaran sebagai sebuah bangsa terjajah.

"Bagi saya, Hatta dan Sjahrir adalah merah putih. Mereka pernah minta orang kampung membuat kole-kole (sampan). Sjahrir lalu minta agar bagian bawah dicat dengan warna merah dan putih di bagian atas," kenang Farid Sabhan (83 tahun) yang berumur tujuh tahun ketika Hatta dan Sjahrir dibuang di Banda Neira. 

Menurut Farid, ia juga ingat cerita anak-anak saat itu tentang kurir surat Hatta. "Dulu ada seorang tukang arang langganan Hatta, bernama La Saodah, yang sering diminta Hatta mengantar surat kepada dokter Tjipto. Supaya tidak diketahui Belanda, surat itu dilipat kecil dan dimasukkan ke dalam kantong arang," ungkap Farid yang dulu kerap berjualan kue-kue seperti lopes, wajik, dan gogos ke rumah Hatta dan Sjahrir.

Ketika Jepang menyerang Pearl Harbor, pemerintah kolonial memobilisasi penduduk lokal untuk pertahanan sipil. Sebagai bentuk sikap antifasis, Hatta dan Sjahrir ikut ambil bagian. Seorang pemilik toko China di Neira memberi Sjahrir radio gelombang pendek agar dapat langsung mendengarkan siaran berita internasional, terutama tentang perang. Sjahrir lalu menerjemahkan dan menyiarkannya untuk seluruh penduduk.

Hatta dan Sjahrir banyak mengisi hari-hari mereka di Banda Neira dengan berkegiatan bersama anak-anak. Selain bermain, naik perahu mengelilingi Pulau Neira, Gunung Api, ataupun Banda Besar, mereka juga menyelenggarakan sekolah yang diadakan di rumah Hatta. Sekolah Hatta-Sjahrir ini terus dikenang hingga saat ini dan area tempat belajar tetap dipelihara. 

Des Alwi, seorang putra Banda yang mengalami masa-masa bersama Hatta dan Sjahrir selama di pengasingan, menulis di dalam bukunya, Friends and Exiles, "Sekitar 20 anak mengikuti sekolah siang mereka. Sebagian besar adalah cucu keluarga Baadilla. Ada juga anak keluarga Om Tjip, Donald, dan Louis, serta Husein dan Tjahtji Maskat, anak-anak dari mantan kapten kapal pencari mutiara dan beberapa orang Banda yang tidak mendapat kesempatan sekolah lanjutan di Ambon, Makassar, atau Jawa."

Salah satu "kemewahan" yang bisa dinikmati kaum eksil di Banda Neira adalah diperbolehkan membeli buku-buku bahkan dari negeri Belanda. Keduanya banyak membeli buku untuk anak-anak di sana.

Kedekatan Des Alwi dan beberapa anak lainnya dengan Hatta-Sjahrir terus berlanjut hingga pasca-pengasingan. Sjahrir membawa serta empat anak keluarga Baadilla saat kembali ke Jawa. Des Alwi kemudian melanjutkan pendidikannya ke Surabaya dan London. Des menjadi generasi baru Banda yang melihat dunia luar dan membawa kembali gagasan-gagasan baru untuk Banda.

Rumah bekas keempat tokoh nasional itu kini jadi museum yang sebagian dikelola bersama oleh Yayasan Warisan dan Budaya Banda Naira yang didirikan Des Alwi dan keluarga Hatta. "Saat ini, anak-anak kelas 1-3 SD di Banda Neira diajak berkunjung ke situ sehingga hampir semua penduduk tahu dulu ada sekolah yang dibikin Hatta dan Sjahrir di sini," jelas Iqbal Baadila, warga Banda Neira.

Kehadiran para tokoh nasional di Banda Neira telah memperkenalkan penduduk lokal kepada dunia luar dan peristiwa penting di luar kehidupan mereka. Sekolah, bacaan, interaksi sehari-hari, serta aktivitas para tokoh nasional di sana turut membentuk kesadaran akan nasion yang baru. 

(BI PURWANTARI, LITBANG KOMPAS)



Sumber: Kompas, 28 April 2012



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

"Abangan"

Oleh AJIP ROSIDI I STILAH abangan berasal dari bahasa Jawa, artinya "orang-orang merah", yaitu untuk menyebut orang yang resminya memeluk agama Islam, tetapi tidak pernah melaksanakan syariah seperti salat dan puasa. Istilah itu biasanya digunakan oleh kaum santri  kepada mereka yang resminya orang Islam tetapi tidak taat menjalankan syariah dengan nada agak merendahkan. Sebagai lawan dari istilah abangan  ada istilah putihan , yaitu untuk menyebut orang-orang Islam yang taat melaksanakan syariat. Kalau menyebut orang-orang yang taat menjalankan syariat dengan putihan  dapat kita tebak mungkin karena umumnya mereka suka memakai baju atau jubah putih. Akan tetapi sebutan abangan-- apakah orang-orang itu selalu atau umumnya memakai baju berwarna merah? Rasanya tidak. Sebutan abangan  itu biasanya digunakan oleh orang-orang putihan , karena orang "abangan" sendiri menyebut dirinya "orang Islam". Istilah abangan  menjadi populer sejak digunakan oleh Clifford ...