Langsung ke konten utama

Mengenang 60 Tahun Masa Penjajahan Dai Nippon (3): Romusha Pembawa Sengsara

Oleh HARYADI SUADI

Indonesia menderita di jaman Jepang
Ya seperti di masa-masa, wilayah Asia
Yang dijadikan jajahannya, dikuras kekayaannya
Diperas tenaganya seperti romusha 
(Sajak Wing Kardjo "Hiroshima kota itu namanya")

DALAM sejarah masa pendudukan Jepang, romusha tercatat sebagai suatu organisasi buatan penguasa yang terburuk dalam hal menyengsarakan rakyat Indonesia. Boleh jadi romusha merupakan perbuatan Jepang yang telah menimbulkan malapetaka yang tidak terperikan dan tiada duanya dalam sejarah Perang Dunia ke-2. Dan seperti halnya Kenpei Tai dengan kekejamannya, juga romusha dengan segala kegiatan dan akibatnya, telah menimbulkan mimpi buruk yang sangat mendalam bagi bangsa kita.

Gagasan mendirikan organisasi Romusha, muncul dalam sidang "Chuo Sangi In" ke-IV yang berlangsung antara tanggal 12 s/d 16 Agustus 1944. "Chuo Sangi In" atau "Dewan Pertimbangan Pusat" adalah DPR yang dibentuk penguasa Jepang di mana bangsa kita diizinkan untuk menjadi anggotanya. Sidang ke-IV ini digelar atas dasar timbulnya pertanyaan dari PYM. Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi) yang berbunyi sebagai berikut: "Tindakan apa yang harus kita lakukan untuk meningkatkan tenaga kerja dan menambah hasil produksi?" Pertanyaannya ini pun timbul sebagai akibat dari keadaan kekuatan angkatan perang Jepang yang semakin melemah. Untuk menjawab pertanyaan itulah dalam sidang Chuo Sangi In ke-IV ini dilontarkan gagasan untuk membentuk organisasi romusha. Gagasan itu segera disetujui kemudian dibentuk dan disahkan. Sebagai ketuanya telah ditunjuk Bung Karno. Didirikannya romusha ini dimaksudkan untuk mencari sebanyak-banyaknya orang yang bersedia dipekerjakan di berbagai pembangunan proyek guna keperluan perang, seperti membuat jalan, lapangan terbang, membangun jembatan, dan sejenisnya.

Sebagai jawaban kepada pertanyaan Saiko Shikikan di atas, pihak Chuo Sangi In telah mengeluarkan pernyataan dan slogan sebagai berikut: "Segenap rakjat bekerdja". Inilah mendjadi soember kekoeatan oentoek memadjoekan dengan koeat oesaha pembelaan dan penambahan hasil prodoeksi jang mendjadi kewadjiban bagi Djawa di masa peperangan mati-matian. ("Djawa Baru" Oktober 1944). Langkah berikutnya Jepang telah menyebarkan berbagai propaganda. Dalam media massa telah dimuat kata-kata yang memuji-muji para romusha: Soenggoepoen tiada memanggoel sendjata, romoesha adalah pradjoerit jang oetama jang bertindak di lapang pembangoenan. Sebagai djoega pradjoerit Pembela Tanah Air, soenggoeh moelia mereka. ("Djawa Baroe" 1944). Untuk menarik hati mereka, Jepang menjanjikan akan memberi upah yang sepadan, jaminan kesehatan dan makan yang cukup. Mereka juga akan diberi seragam berupa peci, kaos oblong, dan celana pendek serba putih, namun tanpa alas kaki. Dan untuk refreshing, mereka akan mendapat berbagai hiburan pertunjukan kesenian di waktu senggang. Sedang bagi anak-anaknya yang ditinggalkan akan diberi pendidikan yang layak. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa tugas romusha adalah "tugas suci".

Kemudian dipopulerkanlah sebuah lagu yang berjudul "Bekerja", untuk menambah semangat kerja mereka.

Bekerja, bekerja bekerja.
Tenaga semua sudah bersatu
Mesin pabrik berputar terus
Palu godam suara gemuruh 
Semua kerja giat gembira
Tenaga pekerja teguh bersatu 
Gugur hancur kaum sekutu

Oleh pemerintah lagu ini harus didengungkan ke seluruh Jawa. Diharap dengan sangat soepaja seroean persatoean tenaga ra'jat oentoek membela Tanah Air dengan perantaraan irama lagoe "Bekerdja" ini akan bergelora dari pabrik, dari desa di goenoeng, dari doesoen di pantai, dari segala tempat. ("Djawa Baroe" 1944)

Propaganda semacam ini merupakan taktik Jepang untuk menutupi bahwa sebenarnya romusha tidak bedanya dengan rodi alias kerja paksa. Buktinya tanpa basa basi pemerintah dengan cepat telah menggiring dengan paksa semua pria yang berusia 16-60 tahun dari segala bangsa yang tidak punya pekerjaan, baik yang tinggal di kota maupun di desa. Bahkan para gelandangan dan pengemis yang berkeliaran di kota, juga tidak luput dipaksa masuk barisan ini. Dan rakyat pun sudah maklum bahwa janji-janji manis seperti yang disebutkan di atas juga adalah hanya perangkap halus. Akibat romusha ini di desa-desa hanya ada pria tua, perempuan, dan anak-anak.

"Pekan Perdjoeangan mati-matian"

Satu bulan setelah dicanangkannya semboyan "Segenap Ra'jat Bekerdja" dalam keputusan sidang ke-IV Chuo Sangi In, pemerintah telah berhasil menjaring sekitar 500 romusha yang didatangkan dari berbagai desa di Jawa Barat. Rombongan pertama yang dipimpin oleh Bung Karno ini, diberi nama "Pekan Perdjoeangan mati-matian", karena mereka akan melaksanakan "tugas suci" itu secara jor-joran selama satu minggu. Dalam rombongan tersebut telah diikutsertakan pula para anggota Chuo Sangi In seperti Oto Iskandar Dinata serta kaum terpelajar, pegawai tinggi dan menengah. Mereka langsung diberangkatkan ke daerah Banten. Selama satu minggu mulai dari saat matahari terbit sampai sore hari, mereka terus bekerja membuat jalan, membangun jembatan, meratakan bukit, dan sebagainya. Di malam harinya rombongan kesenian dari Keimin Bunka Sidosho (Poesat Keboedayaan) telah menghibur mereka dengan pertunjukan sandiwara, tari, dan nyanyian. Para penonton duduk di atas tanah, termasuk Bung Karno dan Oto Iskandar Dinata yang duduk paling depan.

Peristiwa "Pekan Perdjoeangan" ini ternyata oleh Jepang telah dimanfaatkan oleh propagandanya. Beritanya telah disebarluaskan ke seluruh Jawa lewat media cetak maupun radio. Bekerdja soekarela dan Toean Ir. Soekarno berdiri di depan sekali, itulah judul artikel yang dimuat di majalah "Djawa Baroe". Artikel itu dihiasi beberapa foto romusha sedang giat bekerja termasuk foto Bung Karno yang dengan gagahnya sedang memberi komando di hadapan 500 romusha. Di mana-mana daerah anggota-anggota Chuo Sangi In mengalirkan peloehnja baik di dalam pekerdjaan oemoem maoepoen di lapang, oentoek memperlipatgandakan hasil makanan dan bahan pakaian, giat memberi contoh kepada ra'jat ... dalam "Pekan Perdjoangan mati-matian" telah mengalirkan peloehnya jang soetji bersama-sama dengan romusha biasa. Demikian antara lain isi artikel tersebut.

Propaganda yang tidak kalah hebatnya yakni ketika pada tanggal 18 Desember Syuchokang (Walikota) Jakarta M. Soetardjo hadir di Klender untuk menyaksikan 3000 romusha yang akan diberangkatkan ke tempat pekerjaannya. Dalam kesempatan itu Soetardjo telah berpidato demikian: Di jaman Belanda kalian disebut sebagai kuli. Oleh karena itu kalian tidak akan dihargai, bahkan direndahkan. Sekarang pemerintah Nippon menghargai kalian karena tugas yang kalian emban adalah pekerjaan suci. Dan kalian bukan kuli, tetapi seorang prajurit ekonomi.

Ribuan romusha telah disebar baik di dalam dan di luar Jawa dan bahkan sampai ke Burma. Karena perlakuan Jepang demikian buruk, maka mereka banyak yang sekarat dan tewas karena penyakit dan kelaparan. Sedang yang dikirim ke luar negeri sebagian besar tiada kabar beritanya. Mereka tidak mungkin melarikan diri, karena sekelilingnya dijaga ketat tentara yang bersenjata laras panjang lengkap dengan bayonetnya. Dan mereka yang selamat, telah "menyerbu" ke kota besar di Jawa menjadi gelandangan dan pengemis. Melihat sosoknya yang cuma tulang yang dibalut kulit dan seluruh tubuhnya dipenuhi borok serta setengah telanjang, bisa diperkirakan betapa hebatnya penderitaan mereka. Pada saat itulah di kota-kota besar sering terlihat pemandangan yang memilukan, yakni banyak bergeletakan mayat-mayat manusia.

Siapa yang salah sehingga terjadinya tragedi ini, sudah tentu pemerintah Bala Tentara Dai Nippon. Namun ternyata Soekarno pun turut disalahkan. Di masa itu memang banyak rakyat kita yang kurang simpati dan kecewa terhadap tingkah laku dan ucapan-ucapan para pemimpinnya yang seia sekata dengan Jepang. Dan rasa kecewa ini mencapai puncaknya di jaman ramainya romusha. Bung Karno dikambinghitamkan karena dialah yang telah turut menganjurkan rakyat untuk berromusha. Dengan kata lain Bung Karno telah turut menjerumuskan ribuan rakyatnya ke jurang kesengsaraan. Tentang tuduhan itu Bung Karno memang mengakui. Sesungguhnja akulah Sukarno--jang mengirim mereka kerdja paksa. Ja, akulah orangnja. Aku menjuruh mereka beladjar menudju kematian. Aku telah membuat pernjataan untuk menjokong pengerahan romusha. Demikian pengakuannya dalam bukunya "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat".

Dalam buku itu pula Bung Karno menceritakan bahwa gara-gara soal romusha, dia sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyat dan bahkan dituduh sebagai penjual rakyat. Dikisahkan bahwa tidak lama setelah Bung Karno pulang dari daerah Banten, dia didatangi para pemuda yang minta pertanggungjawabannya karena aktif dalam meromushakan rakyatnya. Apa pasal dia berbuat setega itu terhadap bangsanya, oleh Bung Karno telah membeberkannya yang intinya sebagai berikut: Bung Karno sengaja bekerja sama membantu Jepang sambil mengkonsolidasikan kekuatan rakyatnya dan menunggu sampai saatnya Jepang jatuh. Lebih lanjut dikatakan, bahwa dengan mengabulkan apa saja yang diminta Jepang, dia dapat menuntut lebih banyak konsesi yang dia perlukan. Andai kata saja terpaksa mengorbankan ribuan djiwa demi keselamatan djutaan orang, saja akan lakukan. Dan inilah tjara jang positif menudju kemerdekaan. Demikian alasan Bung Karno.*** (Bersambung).



Sumber: Pikiran Rakyat, 21 April 2002



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan