Langsung ke konten utama

Mengenang 60 Tahun Masa Penjajahan Dai Nippon (2): "Lebih Baik Dijajah Belanda," Kata Bung Hatta

Oleh HARYADI SUADI

"Jika Indonesia akan tetap menjadi tanah jajahan, lebih baik dijajah Belanda daripada bangsa mana pun termasuk Jepang."

(Tulisan Bung Hatta dalam "Harian Pemandangan")

DALAM menjalankan roda pemerintahannya selama tiga setengah tahun, rezim Balatentara Dai Nippon telah menggunakan tangan besi, otoriter dan super kejam. Memang suasana di masa itu dari hari ke hari semakin terasa pengap. Segala tindakan rakyat selalu diawasi oleh Kenpei Tai (polisi militer Jepang) yang memang tugasnya adalah berkeliling kota untuk memata-matai gerak-gerik penduduk. Menjalankan kewajiban hidup sehari-hari pun semakin heurin usik (sukar bergerak) alias terbelenggu karena selalu dibayangi tekanan dan aturan yang sifatnya di luar kemampuan manusia. Dalam segala bidang dari hal yang besar sampai soal sepele, selalu diatur oleh aturan yang terkadang tidak masuk di akal serta terkesan mengada-ada. Penulis Adi Negoro dalam bukunya "Bajangan Pergolakan Dunia" (Pen. "Pembangunan" Djakarta 1949) menulis bahwa jaman Jepang bagi Indonesia memang merupakan masa yang amat berat. Jaman itu ditandai oleh segalanya yang serba pasti, serba mesti, dan serba paksaan, demikian tulis Adi Negoro. Karena segala hal selalu diembel-embeli oleh serba mesti dan serba memaksa itulah, rakyat jangan sekali-kali mencoba-coba menyalahi aturan. Sebab di belakang aturan-aturannya telah dibuat pula seribu satu macam sanksi yang mengerikan. Dikatakan mengerikan karena bentuk sanksinya bukan sekadar diadili kemudian masuk penjara, melainkan harus melalui siksaan yang tidak terperikan. Digantung dengan kaki di atas atau tangan diikat ke salib selama berhari-hari sambil dicambuk, disulut dengan aliran listrik atau rokok yang menyala, disuruh minum sebanyak-banyaknya kemudian perutnya diinjak-injak sehingga keluar isi perutnya, itulah antara lain sanksi yang ditimpakan kepada para tahanan. Pada masa itu sering ada "pawai" keliling kota yang menggiring para terhukum. Dengan cuma mengenakan celana dalam, mereka diarak dan dipertontonkan di muka umum. Di dada dan punggungnya tampak luka-luka bekas siksaan. Perbuatan ini memang sengaja dilakukan untuk mempermalukan si terhukum di muka umum dan sekaligus agar masyarakat tidak akan melanggar hukum. Perkara ditempeleng, digebuk, dan ditendang atau dijemur di bawah teriknya matahari, boleh jadi merupakan hukuman yang ringan dan dianggap biasa. Sejak mulai memerintah di tahun 1942, fihak Jepang memang telah menyusun sebuah kitab undang-undang yang bernama "Osamu Seirei". Tetapi dalam kenyataannya kitab yang tebalnya lebih dari 400 halaman itu nyaris tidak digunakan. Bahkan sanksi-sanksi yang disebutkan di atas yang tidak tercantum dalam kitab itu, justru yang mereka jalankan. Dan yang sudah divonis masuk penjara baik ringan maupun berat, tidak diketahui nasibnya.

Perilaku Jepang yang di luar batas kemanusiaan ini secara sembunyi-sembunyi sering jadi bahan pembicaraan masyarakat kita. Kemudian mereka membandingkannya dengan masa penjajahan Belanda. Menurut seseorang yang sempat hidup di dua jaman penjajahan tersebut, jaman Belanda diakui masih terasa tenang. Bahkan jaman itu disebut "jaman normal", karena keadaannya masih dalam batas kewajaran. Sekejam-kejamnya orang Belanda tidak pernah berbuat sekeji itu terhadap bangsa kita yang dianggap melawan pemerintah. Bangsa Belanda masih menghargai kita, apalagi terhadap yang berkedudukan tinggi, terpelajar, dan terhormat. Sebagai contoh, bagaimana perlakuan orang Belanda terhadap anggota Volksraad (DPR buatan Belanda) dan perlakuan orang Jepang terhadap anggota Chuo Sangi In (DPR buatan Jepang), telah ditulis dalam artikel "Indonesia dalam Cengkeraman Dai Nippon" (Majalah "Sunday Courier" Sept. 1952) sebagai berikut: Para wakil rakjat bangsa kita yang di jaman penjajahan Belanda masih dapat perlakuan sebagai kandjeng Hoog Edeldestrenge (kaum bangsawan tinggi), dalam Chuo Sangi In cuma diperlakukan sebagai "anak bangor" yang boleh didamprat sesukanya. Dan wakil rakyat yang menerima dampratan itu harus membongkokkan badan sambil membilang diperbanyak terima kasih.

Dibanding aturan Jepang, sanksi Pemerintah Hindia Belanda memang masih dianggap ringan. Memang banyak para terhukum yang disiksa, namun katanya tidak berlebihan seperti halnya perlakuan para Kenpei Tai. Oleh karena itu tidak heran apabila di masa itu banyak bermunculan kaum pergerakan yang masih berani bicara soal nasionalisme, membentuk partai politik dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Juga tidak sedikit beredar media massa yang memuat kritik terhadap penguasa. Sekalipun akhirnya mereka tidak luput dihukum penjara atau dikirim ke pembuangan, namun paling tidak kebebasan berbicara masih bisa dilakukan

Kaum pergerakan tidak berkutik

Tetapi sebaliknya Jepang telah membuat aturan yang membuat para tokoh pergerakan kita sama sekali tidak berkutik. Mulut mereka telah diberangus dan dilarang keras berbicara politik. Mereka hanya boleh berkata yang intinya siap berjuang mati-matian di bawah Tenno Heika. Di masa itu semua organisasi politik dan nonpolitik, media cetak, serta elektronik dan sejenisnya telah dimusnahkan dengan tidak pandang bulu. Karena kondisi seperti inilah banyak orang orang mengatakan lebih baik dijajah Belanda daripada oleh Jepang. Bahkan pendapat ini telah diucapkan oleh Bung Hatta sebelum tibanya Jepang di negeri kita. Dalam surat kabar "Pemandangan" dia menulis kira-kira sebagai berikut: Jika Indonesia akan tetap menjadi tanah jajahan, lebih baik dijajah Belanda daripada bangsa mana pun termasuk Jepang.

Boleh jadi Bung Hatta serta kaum pergerakan lainnya sudah mengetahui betapa buasnya tentara Jepang ketika menjajah daratan Cina di akhir tahun 1930-an. Perkiraan Bung Hatta di atas ternyata terbukti. Oleh karena itu bisa dimaklumi apabila para tokoh pergerakan kita selalu waspada, tahu diri, dan sangat taat terhadap perintah Jepang.

Tetapi tingkah laku para pemimpin kita yang patuh bagai kerbau dicocok hidung itu, ternyata telah menimbulkan masalah di mata masyarakat. Di masa itu banyak rakyat kita yang menyesal dan kecewa. Masalahnya di masa penjajahan Belanda mereka sungguh berani menghadapi kaum penguasa. Lebih baik dipenjara daripada harus tunduk kepada Sri Ratu Wilhelmina, demikian semboyan mereka. Contohnya Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan masih banyak lagi, merelakan dirinya dibuang ke tempat terpencil, karena mempertahankan keyakinannya.

Namun di jaman Jepang sikap mereka jadi terbalik. Semua pemimpin kita yang diajak bekerja sama dengan Jepang menyatakan akan sehidup semati dengan Dai Nippon. Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH Mansur, yang diberi julukan "Empat Serangkai", juga telah menyatakan siap ketika dimanfaatkan untuk menekan rakyatnya agar setia kepada Jepang. Bung Karno yang disebut "singa podium" karena pidatonya yang berapi-api mengeritik Belanda, di masa itu cuma manggut-manggut sambil memuji Jepang dan meneriakkan "banzai" serta "hidup Dai Nippon dan Asia Raya". Dan apabila menyimak isi pidato Bung Karno di jaman Hindia Belanda sangat bertolak belakang dengan yang dia ucapkan di masa pendudukan Jepang. Sebagai contoh salah satu pidatonya ketika menyambut kedatangan Perdana Menteri Hideki Tojo yang antara lain berbunyi demikian: Atas nama bangsa Indonesia saja mengoetjapkan beriboe-riboe terima kasih atas kedatangan beliau ini. Kita merasa terharoe oleh karena ini adalah pertama kali Indonesia dikoenjoengi seorang Perdana Menteri .... Padoeka Jang Moelia Perdana Menteri Todjo, datang di Indonesia dengan hati tjinta kepada ra'jat Indonesia .... Kami bertambah setia kepada Dai Nippon, bertambah jakin bahwa peperangan Asia Timoer Raja yang Dai Nippon lakukan ini ialah peperangan soetji oentoek mengembalikan negeri-negeri Asia kepada rakyatnja masing-masing dan menjoesoen negeri-negeri itu dalam satu lingkoengan kekeluargaan dan kemakmoeran bersama di bawah pimpinan Dai Nippon. (Dikutip dari "Djawa Baroe" Juni 1943). Dan hampir semua pidatonya diakhiri dengan seruan yang menyanjung Nippon seperti "Hidup Dai Nippon, hidup Asia Timur Raya" atau "sehidup semati dengan Dai Nippon" dan sejenisnya serta melakukan sei kerei (membongkokkan badan) di muka para pembesar Jepang. Konon banyak yang berkomentar di masa itu, bahwa pidato Bung Karno seperti disebut di atas tidak mencerminkan kepribadian Soekarno yang heroik dan nasionalis. Artinya kata-kata semacam itu tidak pantas diucapkan oleh seorang Seokarno. Pokoknya apa yang dikritik dan dicela di jaman Belanda, malah di jaman Jepang dipuji dan dianjurkan.

Gaya serta isi pidato semacam ini sudah biasa dilakukan oleh para pemimpin kita lainnya. Seperti misalnya Sukarjo Wiryopranoto di saat rakyat kita sedang mengalami kesengsaraan yang luar biasa pernah berucap demikian: "Kesulitan yang kita alami pada masa ini, hendaklah kita anggap sebagai penderitaan seorang ibu pada saat akan melahirkan anaknya". Jadi kesulitan ini tidaklah sia-sia. Tentu saja rakyat amat menyayangkan mendengar ucapannya yang sifatnya hanya menghibur bangsa kita dan menyenangkan hati Jepang itu. Oleh sikap dan ucapannya itu mereka dituduh oleh sebagian masyarakat sebagai pengkhianat atau penjual bangsa serta hanya cari selamat.

Benarkah tuduhan itu, memang sulit untuk dibuktikan. Namun bisa diperkirakan mereka tidak ada pilihan lain karena takut terhadap ancaman Jepang yang seperti disebut di atas. Bung Karno sendiri dalam bukunya "Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" tidak menyangkal akan tuduhan itu. Bahwasanya dia merangkul Jepang merupakan suatu taktik untuk memperlemah Jepang dari dalam, memang itulah tujuannya. Dan taktiknya itu sekaligus pula untuk memperkuat daya tahan rakyat agar menjadi bangsa yang tangguh dan mampu menghadapi segala kesulitan.*** (BERSAMBUNG)



Sumber: Pikiran Rakyat, 14 April 2002




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...