Langsung ke konten utama

Mengenang Aksi Militer Belanda I 21 Juli 1947: Gagalnya 'Operasi Produk' Belanda terhadap RI

Oleh Iman Rahardjo

Empat puluh tujuh tahun yang lalu, dini hari Senin 21 Juli 1947, pasukan Belanda kolonialis menerobos garis demarkasi di daerah yang didudukinya di Jawa dan Sumatera, dan menggempur pasukan pertahanan Republik Indonesia dengan aksi militer besar-besaran yang mereka namakan "aksi polisionil".

Bagaimana mulanya Belanda melancarkan aksi perang itu, sedangkan mereka baru tujuh bulan mencokolkan kakinya di 7 kota di Jawa dan Sumatera, yang diwarisinya dari tentara pendudukan Sekutu/Inggris?

Terungkap dalam sejarah, bahwa ada beberapa hal yang mendorong Belanda bertindak menggempur RI, seterunya waktu itu.

Pertama, dalam konfrontasi versus RI menjelang pertengahan 1947 pihak Belanda merasa kedudukannya secara politik makin kuat. Seusai Perang Dunia II, Belanda beruntung masih mengantungi pengakuan internasional perihal kedaulatannya atas Indonesia. Lalu dalam waktu 1 ½ tahun Belanda praktis telah menguasai kembali wilayah-wilayah Kalimantan, Indonesia Timur, dan Nusa Tenggara. Di situ Belanda kemudian membentuk pemerintahan boneka 'Daerah-Bagian Kalimantan Barat' (22 Oktober 1946) dan 'Negara Indonesia Timur' (24 Desember 1946), yang dijadikannya sekutu dalam menghadapi RI.

Sebaliknya, keadaan RI ditinjau dari segi politik dan ekonomi, menurut penilaian Belanda, sudah sangat parah dan RI telah mendekati kehancurannya. Beberapa waktu sebelumnya, tepatnya tanggal 15 November 1946, RI dan Belanda telah memaraf Persetujuan Linggarjati. Di kalangan RI banyak orang yang menentang persetujuan ini, dan mereka ini terus-menerus melakukan rongrongan terhadap RI. Sedangkan di bidang ekonomi, RI makin melemah akibat blokade yang dilakukan oleh angkatan laut Belanda.

Kedua, Belanda meyakini bahwa balatentaranya memiliki keunggulan terhadap tentara RI dalam hal mobilitas, perlengkapan teknis, daya tembak, pesawat terbang. Pada paruh pertama 1947 kekuatan militer Belanda di Jawa dan Sumatera terdiri atas 89.000 orang tentara KL, marinir, dan KNIL, di antaranya 70.000 orang adalah operasional; 10 skuadron berbagai tipe pesawat terbang; 4 buah kapal torpedo pemburu serta 7 buah kapal pendarat.

Sedangkan menurut penyelidikan intelijen Belanda, pihak RI di Jawa/Sumatera mempunyai kekuatan militer beberapa gelintir pesawat pemburu dan pembom ringan; beberapa buah kapal transpor kecil; dan 194.000 orang tentara reguler serta 167.000 orang berbagai laskar perjuangan. Kesemuanya menurut penilaian intelijen Belanda "sangat lemah organisasi serta disiplinnya, kurang terlatih, dan persenjataan serta perlengkapannya amat miskin: hanya 25% dari kekuatan militer ini yang dipersenjatai, itu pun boleh dikata tanpa kendaraan perang berat".

Karena hal-hal tersebut tadi Belanda berminat sekali untuk unjuk gigi kepada RI, terutama untuk menggertak unsur-unsur pimpinan RI yang 'radikal dan tak mau kompromi' agar mau tunduk menerima segala tuntutan Belanda.

Ketiga, Pemerintah Hindia Belanda sendiri sebenarnya sedang mengalami kemerosotan hebat dalam perekonomiannya. Pada penghujung 1947 kota Jakarta di bawah pendudukan Belanda menderita kekurangan pangan. Tambahan pula situasi perekonomian serta finansial Hindia Belanda sedang amat gawat, sehingga dikhawatirkan akan mengakibatkan 'kebangkrutan finansial' mulai bulan Agustus 1947! Makanya Belanda berkeinginan merebut wilayah-wilayah RI yang memiliki potensi ekonomi tinggi, supaya dengan itu perekonomian Hindia Belanda kemudian dapat berkembang membaik.

Operasi Produk

Maka sejak Februari hingga Mei 1947 pimpinan balatentara Hindia Belanda menyusun rencana penyerbuannya terhadap RI. Agar penyerbuan itu kelak tidak terlalu mengejutkan dunia internasional, maka Aksi tersebut dirancang hanya terbatas buat menduduki sebagian wilayah tertentu RI di Jawa dan Sumatera. Tapi sesungguhnya jumlah anggota tentara yang katanya unggul itu memang tidak mencukupi untuk menduduki secara efektif seluruh daerah RI di Jawa/Sumatera. Aksi penyerbuan itu diberi nama sandi militer 'Operasi Produk', dan terutama ditujukan untuk memaksa pihak RI agar dalam hal politik menerima (tunduk kepada) segala tuntutan Belanda, dan sekaligus untuk membalikkan kemerosotan dalam bidang perekonomian serta keuangan Belanda.

Selanjutnya untuk pelaksanaan Operasi Produk itu Panglima Balatentara Hindia Belanda, Letnan Jenderal SH Spoor menggariskan suatu siasat yang dipandangnya paling efektif. Siasat ini disebutnya 'strategi ujung tombak' dan dilukiskannya sebagai berikut: pertama-tama, suatu serangan besar-besaran dan menyeluruh terhadap wilayah sasaran di Jawa dan Sumatera; kemudian disusul dengan kegiatan-kegiatan pengamanan ('pasifikasi') daerah-daerah yang diduduki dengan jalan patroli yang terus-menerus oleh satuan-satuan militer yang kecil guna menemukan kelompok-kelompok gerilya yang tertinggal dan menghancurkannya.

Demikianlah setelah persiapan operasi tadi cukup matang, maka pada 27 Mei 1947, hanya dua hari setelah formalitas upacara penandatanganan Persetujuan Linggarjati di Jakarta (25 Mei), Belanda menyampaikan sebuah nota tuntutan kepada RI. Tuntutan-tuntutan yang diajukan ialah agar RI berpartisipasi dalam suatu pemerintahan federal sementara; menghentikan kontak-kontak internasionalnya; menyetujui pembentukan suatu gendarmerie (pasukan polisi) Belanda-Indonesia guna memelihara ketertiban dan keamanan di daerah RI dan Belanda; dan menyetujui pembentukan suatu organisasi bersama untuk mengendalikan impor, ekspor, dan alat pembayaran luar negeri.

Di bawah ancaman serangan militer Belanda, maka pemerintah RI yang waktu itu dipimpin Perdana Menteri Sutan Syahrir, terpaksa menerima tuntutan-tuntutan Belanda tadi, kecuali yang mengenai gendarmerie. Konsesi yang diberikan Syahrir ini meledakkan tentangan hebat dari lawan-lawan politiknya di kalangan RI. Terjadilah krisis pemerintahan dan akhirnya Kabinet Syahrir jatuh.

Kabinet penggantinya terbentuk pada 3 Juli 1947 di bawah PM Amir Syarifuddin. Dalam perundingan lebih lanjut dengan pihak Belanda, Amir Syarifuddin tetap melanjutkan langkah-langkah yang telah ditempuh pendahulunya, dan tetap menolak pembentukan gendarmerie bersama.

Penolakan RI atas tuntutan soal gendarmerie itu menjadi alasan, 'casus belli', bagi Belanda untuk melaksanakan niatnya memerangi RI. Pada 18 Juli 1947 Letnan Jenderal Spoor--atas perintah Pemerintah Belanda--mengeluarkan perintah singkat kepada seluruh jajaran balatentara Hindia Belanda di Jawa dan Sumatera: "Produk-Hari H 21 Juli". Maka pada dinihari 21 Juli 1947 Operasi Produk pun menggelinding.

Hasil Operasi

Aksi militer Belanda ini dalam garis besarnya berjalan sesuai dengan rencana. Bahkan dalam masa dua pekan Belanda ternyata dapat merebut wilayah yang lebih luas dari sasaran yang ditentukan semula. Di semua front tentara RI menderita pukulan berat, sehingga terpaksa mundur sambil sedapat-dapatnya melakukan taktik bumi hangus.

Sampai pekan pertama Agustus 1947 tentara Belanda berhasil menguasai Jawa: sebagian besar Jawa Barat (kecuali daerah Banten), daerah Banyumas, pantai utara Jawa Tengah, daerah Mojokerto-Malang, seluruh semenanjung sudut timur dan bagian selatan Pulau Madura; di Sumatera: daerah Binjai Pematang Siantar dan daerah Lahat--Pendopo--Baturaja. Kesemuanya daerah pertanian/perkebunan atau ladang minyak bumi. Dengan demikian maka Operasi Produk berhasil mencapai tujuan mendapatkan sarana yang diperlukan buat 'mendongkrak' pertumbuhan perekonomian Hindia Belanda.

Sebaliknya tujuan Operasi Produk yang lainnya, yakni mengubah sikap politik RI agar menjadi tunduk kepada tuntutan Belanda, ternyata sama sekali meleset: RI tetap tidak menyerah begitu saja kepada tuntutan politik Belanda! Bahkan perlawanan bersenjata oleh TNI dan laskar-laskar perjuangan malah masih terus dilancarkan, juga di daerah-daerah yang telah jatuh di bawah pendudukan Belanda.

Namun ada faktor lain yang turut menggagalkan Operasi Produk, bahkan sampai menghentikannya, ialah tekanan pendapat dunia internasional. Suatu faktor yang sebenarnya sudah diantisipasi oleh Belanda sewaktu mereka merancang aksi militernya; tetapi faktor ini disepelekannya.

Segera setelah aksi militer Belanda itu pecah, maka Dewan Keamanan PBB bersidang atas desakan India dan Australia. Tanggal 1 Agustus 1947 DK mengeluarkan suatu resolusi yang menyerukan kepada Belanda dan RI yang berperang agar mengadakan gencatan senjata dan mencari penyelesaian di antara mereka melalui perundingan. Belanda terpaksa menerima baik resolusi itu. Maka pada 4 Agustus pukul 24.00 diberlakukanlah gencatan senjata, dan gerak maju tentara Belanda ke jurusan Yogyakarta (ibukota perjuangan RI waktu itu) pun dihentikan.

Selanjutnya diadakanlah kembali perundingan-perundingan antara RI dan Belanda, kini dengan bantuan suatu komisi jasa-jasa baik PBB yang beranggotakan Australia, Belgia, dan Amerika Serikat ('Komisi Tiga Negara'). Perundingan-perundingan itu lima bulan kemudian, yakni pada 17 Januari 1948, menghasilkan persetujuan baru, yang kelak dikenal dengan sebutan 'Persetujuan Renville'.

Pelajaran Historis

Menelaah kembali peristiwa yang berlangsung 47 tahun yang lampau itu, maka ada beberapa 'pelajaran' yang dapat dikedepankan.

Pertama, aksi Militer Belanda I telah gagal menundukkan sikap para pemimpin RI. Sebabnya tidak lain karena hasrat merdeka serta semangat kebangsaan di kalangan RI sudah demikian mengental sehingga tidak mempan lagi ditindas dengan kekerasan senjata. Memang sejarah telah mengajarkan, bahwa hasrat merdeka rakyat terjajah yang menggebu-gebu biasanya tidak dapat dibinasakan dengan kekerasan senjata belaka.

Ironisnya, pihak Belanda rupanya kurang menyadari hukum sejarah ini. Kalangan militernya beranggapan bahwa tidak berhasilnya Operasi Produk beserta strategi ujung tombaknya adalah karena dihentikan di tengah jalan oleh campur tangan PBB. Maka mereka malah bertekad akan meneruskan upayanya menaklukkan RI dengan jalan perang. Pada waktunya nanti upaya mereka itu akan sekali lagi 'mendapat pelajaran' dari hukum sejarah tadi.

Kedua, zaman sehabis Perang Dunia II merupakan era mulainya intervensi PBB dalam bermacam 'peristiwa dalam negeri' di berbagai negara manakala peristiwa-peristiwa itu dianggap oleh dunia internasional sebagai mengganggu perdamaian dunia.

Belanda agaknya memandang remeh keampuhan intervensi PBB seperti itu. Tetapi akhirnya toh mereka harus mengakui kesaktian intervensi PBB itu dengan menghentikan aksi militernya terhadap RI, sebagaimana yang disyaratkan oleh pihak PBB.

Bagi RI, yang baru dua tahun mempertahankan kemerdekaannya, campur tangan PBB ini merupakan suatu kemenangan diplomasi dalam pertikaiannya dengan Belanda, di balik kekalahannya di medan pertempuran. Dan intervensi PBB seperti ini pula ada yang di hari kemudian akan menjegal langkah agresi militer Belanda berikutnya terhadap RI pada bulan Desember 1948.***

Penulis adalah seorang yang sedang menelaah sejarah perjuangan kemerdekaan RI.



Sumber: Suara Karya, 21 Juli 1994 (?)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

49 Tahun yang Lalu, Westerling Bantai Puluhan Ribu Rakyat Sulsel

S EPANJANG Desember, mayat-mayat bersimbah darah tampak bergelimpangan di mana-mana. Pekik pembantaian terus terdengar dari kampung ke kampung di Tanah Makassar. Ribuan anak histeris, pucat pasi menyaksikan tragedi yang sangat menyayat itu. Tak ada ayah, tak ada ibu lagi. Sanak saudara korban pun terbantai. Lalu, tersebutlah Kapten Reymond Westerling, seorang Belanda yang mengotaki pembantaian membabi buta terhadap rakyat Sulawesi Selatan 11 Desember, 49 tahun yang lalu itu. Hanya dalam waktu sekejap, puluhan ribu nyawa melayang lewat tangannya.  Makassar, 11 Desember 1946. Kalakuang, sebuah lapangan sempit berumput terletak di sudut utara Kota Makassar (sekarang wilayah Kecamata Tallo Ujungpandang). Di lapangan itu sejumlah besar penduduk dikumpulkan, lalu dieksekusi secara massal. Mereka ditembak mati atas kewenangan perintah Westerling. Bahkan, sejak menapakkan kaki di Tanah Makassar, 7 sampai 25 Desember 1946, aksi pembantaian serupa berulang-ulang. Westerling yang memimpin sep...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Masjid Agung Al Azhar (1952) Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

M asjid putih berarsitektur indah ini dibangun pada tahun 1952. Tokoh-tokoh pendirinya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H. Gazali dan H. Suaid. Masjid yang awalnya diberi nama Masjid Agung Kebayoran Baru ini dibangun selama enam tahun (1952 - 1958) dan berdiri di atas lahan seluas 43.756 m2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili walikota Jakarta Raya. Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan seorang tamu yang adalah Rektor Universitas Al Azhar, Syekh Muhammad Saltut. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru. Imam besar pertama masjid itu adalah Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, salah seorang tokoh Muhammadiyah yang lebih dikenal sebagai panggilan Buya Hamka. Ulama kondang berdarah Minangkabau, Hamka, itu pula yang mentradisikan akti...

PERISTIWA WESTERLING 23 JANUARI 1950 DI BANDUNG

Oleh : Djamal Marsudi Sejarah kekejaman Westerling sebetulnya sudah dimulai dari Sulawesi semenjak tahun 1945/1946, maka pada waktu Kahar Muzakar yang pada waktu itu menjadi orang Republiken, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta, telah memberikan laporan bahwa korban yang jatuh akibat kekejaman yang dilakukan oleh Kapten Westerling di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 (empat puluh ribu jiwa manusia). Laporan tersebut di atas lalu diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam rangka upacara peringatan korban "WESTERLING" yang pertama kali pada tanggal 11 Desember 1949 di Yogyakarta, justru sedang dimulainya Konperensi Meja Bundar di Negeri Belanda. Berita "Kejutan" yang sangat "Mengejutkan" ini lalu menjadi gempar dan menarik perhatian dunia internasional. Maka sebagai tradisi pada setiap tahun tanggal 11 Desember, masyarakat Indonesia dan Sulawesi khususnya mengadakan peringatan "KORBAN 40.000 JIWA PERISTIWA WESTERLING" di Sulawesi Selatan. T...