Langsung ke konten utama

Amanat Sri Sultan dan Sri Paku Alam Tanggal 30 Oktober 1945

Oleh G Moedjanto

Tuntasnya pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui proses tarik-menarik antara disintegrasi dan integrasi. Sebelum 1900 orang Indonesia dari berbagai daerah berjuang dalam ikatan primordial berupa kelompok etnis atau daerah kesukuan. Etnisitas atau lokalitas mereka terlalu menonjol (dominan). Meskipun pemerintah kolonial Belanda menjadikan Indonesia sebagai satu koloni, tetapi terang-terangan atau pun terselubung, ia memprakarsai politik devide et impera dan itu dipraktikkan sampai KMB dalam tahun 1949. 

Walaupun demikian proses integrasi bangsa Indonesia--yang pada hakikatnya sudah berasal dari zaman kuna--berproses terus. Daerah Yogyakarta tidak terbebas dari kondiri tarik-menarik yang demikian itu. Yogyakarta, yang merupakan lokalitas Mataram asli, pernah memegang peranan yang penting dalam proses integrasi dalam zaman Sultan Agung. Akan tetapi karena integrasi yang diciptakan pada waktu itu belum tuntas, di dalamnya masih terdapat begitu banyak faktor disintegratif, Mataram akhirnya terpecah-belah. Lewat perjanjian-perjanjian dengan pihak Belanda wilayah Mataram menjadi sangat kecil, dan pada awal abad ke-19 terdapatlah 4 kerajaan yang merupakan sisa-sisa dari kerajaan Mataram tempo dulu. Pembaca pasti maklum yang penulis maksud adalah: kesunanan Surakarta, kesultanan Yogyakarta, praja Mangkunegaran (pecahan dari kasunanan) dan praja Pakualaman (pecahan dari kesultanan).

Menarik perhatian adalah proses integrasi yang terjadi antara kesultanan dan praja Pakualaman menjadi DIY dan kedua daerah praja kejawen itu ke dalam RI. Itulah pokok persoalan yang terkandung dalam karangan yang berjudul Amanat 30 Oktober 1945. 

Amanat itu dikeluarkan bersama oleh Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII pada tanggal 30 Oktober 1945. Di dalamnya termuat lima pasal ketentuan, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

1. Amanat itu merujuk pada UUD RI;
2. Amanat itu merujuk amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam secara terpisah, tetapi dengan isi yang persis sama;
3. Pernyataan bahwa rakyat telah merebut kekuasaan dari tangan penjajah dan kemudian menyerahkannya kepada Sri Sultan dan Sri Paku Alam;
4. Tidak perlunya pemerintah RI menempatkan komisaris (penghubung) di Yogyakarta;
5. a. Telah dibentuk BP-KNID Yogyakarta sebagai badan legislatif daerah dan yang juga menetapkan GBHD (Garis Besar Haluan Daerah);
  b. Dengan persetujuan BP-KNID Sri Sultan dan Sri Paku Alam menyatakan: "Supaya jalannya pemerintahan dalam daerah kami berdua dapat selaras dengan dasar-dasar Undang Undang Dasar Negara RI, bahwa Badan Pekerja tersebut adalah suatu Badan Legislatif (Badan Pembikin Undang Undang) yang dapat dianggap sebagai wakil rakyat dalam daerah kami berdua untuk membikin undang-undang dan menentukan haluan jalannya pemerintahan dalam daerah kami berdua yang sesuai dengan kehendak rakyat. Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dari segala bangsa dalam daerah kami berdua mengindahkan Amanat kami ini".

Amanat itu dikeluarkan bersama oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam, tidak sendiri-sendiri seperti pernyataan yang sudah-sudah, yaitu telegram 18 Agustus 1945, telegram 20 Agustus 1945, dan amanat 5 September 1945, yang akan dikemukakan di bawah.

Makna

Untuk memahami makna amanat 30 Oktober 1945 kiranya berguna kalau amanat itu ditempatkan sebagai suatu titik dari suatu proses integrasi. Sudah sejak akhir penjajahan Jepang Sri Paku Alam berkantor di Kepatihan, kantor kesultanan Yogyakarta. Sri Sultan dan Sri Paku Alam bahu-membahu dalam menjalankan pemerintahan praja kejawenannya masing-masing, meski memang kedua kerajaan itu masih berdiri sendiri-sendiri (belum menyatu).

Keberadaan Sri Paku Alam di Kepatihan, bagaimanapun telah mengisyaratkan terjadinya langkah integrasi praja Pakualaman ke dalam kesultanan Yogyakarta. Dapat diartikan juga bahwa Pakualaman sebagai cabang kesultanan Yogyakarta sedang menuju ke kesatuan kembali dengan pokoknya. Sri Paku Alam VIII secara sadar mengambil langkah menuju integrasi dengan kesultanan Yogyakarta, karena menyadari apalah artinya praja Pakualaman yang kecil, dengan wilayah satu kecamatan dalam kota dan empat kecamatan di Kulon Progo bagi kepentingan rakyat.

Proses integrasi berjalan terus. Wawasan kebangsaan jelas mewarnai proses itu. Karena itu ketika kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Sri Sultan dan Sri Paku Alam secara sendiri-sendiri tetapi dengan isi yang persis sama mengirim telegram kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Isi telegram adalah ucapan selamat atas terselenggarakannya proklamasi kemerdekaan RI. Telegram itu dikirimkan pada tanggal 18 Agustus 1945, jadi hanya sehari setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan.

Sejarah kemudian mencatat terpilihnya Bung Karno dan Bung Hatta masing-masing menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, pada tanggal 18 Agustus 1945. Sri Sultan dan Sri Paku Alam, masih secara terpisah tetapi dengan isi yang persis sama, juga mengirim telegram berisi ucapan selamat atas terpilihnya kedua pemimpin itu dalam jabatan masing-masing. Tetapi yang isinya lebih penting adalah pernyataan bahwa kedua beliau itu "sanggup berdiri di belakang pimpinan mereka". Telegram itu jelas memperlihatkan semangat kebangsaan para pengirimnya.

Sementara itu dalam upaya menindaklanjuti amanat proklamasi, pada tanggal 24 Agustus 1945 dengan dukungan Sri Sultan dan Sri Paku Alam, rakyat membentuk KNID. Peristiwa itu terjadi hanya dua hari setelah Presiden mengeluarkan maklumat pendirian KNI. Di dalam daftar keanggotaan KNID yang berjumlah 83 orang tercatat sejumlah bangsawan kesultanan dan Pakualaman duduk serta. Baik Sri Sultan maupun Sri Paku Alam mengakui KNID sebagai badan perwakilan rakyat.

Menyadari bahwa pernyataannya pada tanggal 18 dan 20 Agustus masih bersifat pribadi, maka kedua raja itu dengan persetujuan KNID mengeluarkan Amanat 5 September 1945. Pada dasarnya bunyi amanat yang dikeluarkan oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam sama, tetapi dikeluarkan secara terpisah. Dalam amanat itu Sri Sultan menyebut diri Sultan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat, sedangkan Sri Paku Alam menyebut diri Kepala Negeri Pakualaman, Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat. Dari sebutan itu nampak pengakuan Sri Paku Alam bahwa negerinya adalah bagian dari Ngayogyakarta Hadiningrat.

Amanat 5 September 1945 memuat tiga pasal: 
1. Pengakuan bahwa negerinya adalah daerah istimewa dari negara RI;
2. Kekuasaan negerinya berada di tangannya sepenuhnya;
3. Hubungan antara kedua kerajaan itu dengan Pemerintah Pusat Negara RI bersifat langsung dan bahwa kedua raja bertanggung jawab atas negeri masing-masing langsung kepada Presiden RI.

Untuk pertama kali kita menemukan istilah daerah istimewa baik untuk kesultanan maupun negeri Pakualaman. Dalam amanat itu secara tegas dinyatakan bahwa kedua negeri itu adalah bagian dari negara RI, dan bahwa hubungan antara pemerintah kerajaan dan Pemerintah Pusat Negara RI bersifat langsung, yang mengisyaratkan hubungan seperti propinsi atau daerah otonom tingkat I dengan pemerintah pusat pada saat sekarang. Sedangkan baik Sri Sultan maupun Sri Paku Alam menyatakan kalau mereka masing-masing bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Itu pun mengingatkan hubungan langsung Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dengan Presiden RI.

Dari uraian di atas nampak bahwa proses integrasi nasional berlanjut, karena dengan pernyataan-pernyataan itu kedua kerajaan telah berintegrasi ke dalam negara RI. Kecuali itu Amanat 5 September juga memperlihatkan semangat demokrasi dari Sri Sultan dan Sri Paku Alam, yang sebagai raja sering dianggap benteng feodalisme. 

Akan tetapi justru integrasi kedua kerajaan itu sendiri yang belum tuntas. Mengingat pandangan dan sikap Sri Sultan dan Sri Paku Alam yang sama dalam menilai dan mengikuti perkembangan politik di Indonesia dan dengan memperhatikan dukungan rakyat terhadap kebijaksanaan politik mereka, maka pada tanggal 30 Oktober 1945 mereka mengeluarkan pernyataan yang ditandatangani bersama dalam satu surat, yang intinya sudah dikemukakan di depan. Pernyataan bersama kedua raja itu dapat diartikan sebagai tanda pulihnya keutuhan kesultanan Yogyakarta.

Kalau dua kerajaan sudah menjadi satu daerah dari negara RI, muncul pertanyaan siapa kepalanya? Secara de facto Sri Sultan menjadi Kepala Daerah DIY, sedangkan Sri Paku Alam menjadi Wakil Kepala Daerah DIY. Itulah semacam gentlemen agreement yang tidak didukung oleh Surat Keputusan atau besluit dari Presiden, tetapi berjalan efektif.

Kalau tidak ada SK-nya, bagaimana kedudukan mereka dianggap sah? Kecuali kedudukan mereka mengacu pada pasal 18 UUD, Presiden memang pernah memberikan surat yang dapat disebut sebagai SK, yaitu Piagam Kedudukan yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada tanggal 19 Agustus 1945, tetapi yang baru diserahkan kepada yang bersangkutan pada tanggal 6 September 1945. Isi piagam adalah penetapan bahwa kedua raja itu tetap ada pada kedudukannya, dengan kepercayaan bahwa kedua raja itu akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga untuk keselamatan daerah masing-masing sebagai bagian dari Republik Indonesia. Ternyata kondisi pada waktu itu membuka peluang bagi Sri Sultan dan Sri Paku Alam untuk menyempurnakan proses integrasi itu: kesultanan dan Pakualaman berintegrasi menjadi DIY sebagai bagian dari Negeri RI dan Sri Sultan dan Sri Paku Alam dengan gentleman agreement menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah DIY. Itulah kiranya makna terdalam dari Amanat 30 Oktober 1945! ***

G. Moedjanto MA seorang ahli sejarah, dosen IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta.



Sumber: Suara Karya, 30 Oktober 1992



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

Korban Westerling Tolak Permintaan Maaf Belanda

JAKARTA, (PR),- Hubungan diplomatik Indonesia-Belanda dinilai ilegal. Soalnya, baik secara internasional maupun nasional, tidak ada dasar hukumnya. "Coba, apa landasan hukum hubungan Indonesia-Belanda. Ini perlu dipertanyakan dan dikaji oleh pakar hukum tata negara," kata sejarawan Anhar Gonggong dalam diskusi bertajuk "Permintaan Maaf Belanda atas Kasus Westerling" bersama anggota Dewan Perwakilan Daerah Abdul Aziz Kahhar Mudzakkar dan Ketua Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/9/2013). Sampai saat ini, kata Anhar, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan hanya mengakui Indonesia merdeka tanggal 27 Desember 1949. Begitu pula dengan Indonesia yang bersikukuh bahwa kemerdekaannya diproklamasikan 17 Agustus 1945. "Artinya, Belanda memang tak pernah ikhlas terhadap Indonesia. Karena sejak Indonesia merdeka, Belanda kehilangan lumbung ekonomi dan politik," tambah guru besar se...

Berburu Keberuntungan di Trowulan

T anpa terasa sudah hampir dua pekan hari-hari puasa terlewatkan. Dan sudah hampir dua pekan pula Trowulan dikunjungi banyak tamu. Memang, di setiap bulan Ramadhan, Trowulan--sebuah kecamatan di kabupaten Mojokerto--sekitar 50 km barat laut Surabaya, selalu dikunjungi banyak pendatang. Apa yang bisa dilakukan pengunjung di Trowulan di setiap Ramadhan? Menurut banyak orang yang pernah mengunjungi Trowulan, banyak yang bisa dipelajari dan diperhatikan secara saksama di kota bersejarah itu. Trowulan adalah bekas kota kejayaan Kerajaan Majapahit. Di kota itu hingga kini masih banyak peninggalan bekas kejayaan kerajaan Majapahit, salah satu di antaranya adalah Kolam Segaran. "Selain itu, juga ada situs kepurbakalaan kerajaan Majapahit. Ada Candi Tikus, Candi Brahu, makam Ratu Kencana, makam Putri Campa, dan yang paling banyak dikunjungi pendatang adalah makam Sunan Ngundung," ujar Suhu Ong S Wijaya, paranormal muslim yang tiap Ramadhan menyempatkan berziarah ke makam-makam penyeba...

Perjuangan Pelajar Sekolah Guru

Oleh Maman Sumantri TIDAK lama sesudah tersirat secara luas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia, berkobarlah semangat juang para pemuda, pelajar, mahasiswa, dan warga masyarakat lainnya di seluruh Indonesia. Mereka serempak bangkit berjuang bahu-membahu secara berkelompok dalam badan-badan perjuangan atau kelasykaran, dengan tekad mengisi dan menegakkan proklamasi kemerdekaan. Kelompok badan perjuangan atau kelasykaran yang turut dalam perjuangan menegakkan proklamasi kemerdekaan pada awal revolusi kemerdekaan di Kota Bandung dan sekitarnya, di antaranya Pemuda Republik Indonesia, Hizbullah, Barisan Merah Putih, Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), Barisan Berani Mati, Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Indonesia Maluku, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), Lasykar Rakyat, Pasukan Istimewa, (PI), Lasykar Wanita Indonesia (Laswi), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR)....

Museum Sumpah Pemuda yang Bagai Terlupakan

S atu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa merupakan tiga pokok substansial yang dapat mempersatukan keberagaman etnis, bahasa, dan budaya ke dalam satu wadah yang bernama Indonesia. Mengingat demikian pentingnya peristiwa tersebut bagi upaya pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia, maka secara nasional setiap tanggal 28 bulan Oktober selalu dikenang sebagai Hari Sumpah Pemuda. Satu hal yang barangkali agak terlupakan oleh kita, ketika memperingati hari bersejarah ini, adalah sebuah museum yang bernama Museum Sumpah Pemuda dan terletak di Jl Kramat Raya No 106 Jakarta Pusat. Di museum inilah, ikrar itu diucapkan. Di gedung ini pulalah, Wage Rudolf Supratman menggesekkan biolanya, melantunkan lagu Indonesia Raya untuk yang pertama kalinya pada 28 Oktober 1928. Segala proses yang menyangkut lahirnya ikrar Sumpah Pemuda 66 tahun silam, tertata secara apik lewat sajian foto dan patung di museum yang tidak begitu luas ruangannya ini. Sarana Pembinaan Berbeda dengan museum-museum lainny...