Langsung ke konten utama

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia.

Prasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian.

Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan.

Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928?

Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengeluarkan keyakinan persatuan Indonesia diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuannya: Kemauan, Sejarah, Bahasa, Hukum Adat, Pendidikan dan Kepanduan."

Sejarawan Anhar Gonggong menekankan, lima prasyarat itu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Sumpah Pemuda. Hanya dengan terjaminnya lima prasyarat itu, tiga sumpah persatuan yang menjadi konsensus "keindonesiaan" itu bisa dipertahankan. Tanpa adanya kemauan, persatuan tidak akan terwujud. Persatuan juga sulit diwujudkan apabila anak bangsa alpa pada sejarah, enggan menggunakan bahasa Indonesia, atau tidak lagi menghargai hukum adat yang berbeda-beda dan unik di seluruh penjuru negeri.

Dalam diskusi terbatas di kantor Kompas, akhir Agustus lalu, Anhar juga menggarisbawahi kepanduan sebagai salah satu kegiatan yang mampu membina kesadaran pemuda sebagai satu bangsa. Organisasi kepanduan menjadi sarana yang efektif untuk menanamkan rasa cinta tanah air serta kesetiaan kepada bangsa dan engara.

"Organisasi kepanduan waktu itu merupakan salah satu prasyarat yang diyakini mampu untuk mendukung persatuan karena di organisasi kepanduan itulah dibangun karakter pemuda. Pembangunan karakter ini penting karena bisa mendukung semangat kebangsaan yang sedang tumbuh," katanya.

Kurang diperhatikan

Anhar prihatin, lima prasyarat itu kini kerap luput dari perhatian dan tidak jadi bagian dari kesadaran warga bangsa. Padahal, untuk memastikan terjaganya persatuan, lima prasyarat itu harus dipenuhi. Ini, antara lain, tecermin dari survei sederhana yang dilakukan Kompas.

Survei sederhana yang dilakukan dengan memanfaatkan layanan survei daring, 7-10 September 2018, mengindikasikan lima prasyarat untuk menghasilkan persatuan dari sisi bangsa, tanah air, dan bahasa itu cukup jauh dari "imajinasi" generasi saat ini. Survei dengan sampel acak ini melibatkan 32 responden dengan latar belakang beragam, seperti wartawan, advokat, pegiat pemilu, peneliti politik, birokrat, dan karyawan swasta. Semua responden menyatakan mengetahui isi Sumpah Pemuda.

Namun, 72 persen responden mengaku tak mengetahui bahwa kesepakatan yang muncul pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, juga memuat lima faktor yang perlu diperhatikan untuk memperkuat dasar persatuan.

Sementara dari 28 persen atau sembilan responden yang menjawab mengetahui lima faktor itu, hanya lima orang menyebut dengan benar lima faktor tersebut, baik sebagian maupun seluruhnya. Sementara empat responden lain tidak menyebutkan dengan benar lima faktor itu, yakni kemauan, sejarah, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan.

Survei ini boleh jadi belum bisa memberi gambaran utuh karena belum merepresentasikan keseluruhan populasi. Namun, secara anekdotikal bisa memberi peringatan akan pentingnya mengingat dan menjaga lima faktor yang menjadi "prakondisi" bagi adanya kesatuan bangsa.

Kebangsaan

M Yamin dalam pidato bertajuk "Persatuan dan Kebangsaan Indonesia" yang disampaikan pada hari pertama Kongres Pemuda II, 27 Oktober 1928, mengingatkan pentingnya pemuda berada di tengah-tengah persatuan dan kebangsaan. Seperti dikutip Mardras Safwan dalam Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Sumpah Pemuda (1994), Yamin mengutarakan bahwa persatuan Indonesia bukan sesuatu yang kosong, tetapi dipersatukan oleh beberapa ikatan yang dibuat sendiri secara bersama dan sejarah.

Yamin kemudian mengutarakan, faktor-faktor yang bisa menyatukan itu ialah sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. Sementara dalam sidang hari kedua, Ramelan dan Sunario mengutarakan kepanduan juga bisa membantu menanamkan patriotisme sehingga perkumpulan pandu harus diperluas. Sintesis dari adu gagasan itu lalu menghasilkan pandangan mengenai lima faktor yang bisa memperkuat persatuan.

Di tengah kondisi bangsa saat ini, seperti adanya gejala pembelahan dalam masyarakat, lima faktor itu menjadi semakin penting untuk kembali dihidupi. Pasalnya, dalam lintasan sejarah, Sumpah Pemuda juga kembali "disebarluaskan" dan diberi makna signifikan justru bertahun-tahun setelah isinya dibacakan dalam Kongres Pemuda II.

Pengajar Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Andi Suwirta, mengatakan, gagasan Sumpah Pemuda baru mulai dianggap penting pada tahun 1958 dan 1959 saat pemerintah menganggap ada bahaya disintegrasi akibat munculnya berbagai pemberontakan di daerah. Gagasan berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yang muncul dalam Sumpah Pemuda 1928 kemudian menemukan momentumnya untuk kembali disebarluaskan dalam imaji masyarakat. Berkaca dari pengalaman itu, Andi menilai prasyarat yang memungkinkan ketiga hal itu bisa menguat juga perlu kembali diperkenalkan. "Orang-orang acap mengabaikan, seolah menganggap Sumpah Pemuda itu bisa jadi begitu saja tanpa prasyarat," kata Andi.

Memaknai keindonesiaan

Zaman yang berubah cepat kini menjadi tantangan dalam penguatan semangat keindonesiaan. Tumbuhnya media-media baru seiring dengan menguatnya jaringan internet turut mengubah konstelasi mengenai keindonesiaan. Internet membuat orang pada saat ini dapat berhubungan nyaris tanpa kendala. Internet juga memunculkan pola interaksi, terutama di kalangan anak muda, yang berbeda dengan era sebelumnya.

Kondisi ini juga memunculkan cara pandang yang baru di kalangan anak muda terhadap keindonesiaan. Perubahan cara pandang itu, antara lain, yang disoroti peneliti sosial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Thung Ju Lan.

Menurut Thung Ju Lan, konsep keindonesiaan sebagaimana digagas oleh para pemuda tahun 1928 bisa jadi berbeda dalam benak generasi muda masa kini. "Apakah menjadi Indonesia di benak anak-anak muda sekarang itu sama dengan keindonesiaan yang ada di benak para pendahulunya? Saya kira pasti ada pergeseran. Kini, yang semestinya dipikirkan ialah bagaimana keindonesiaan itu tetap relevan dengan anak muda masa kini? Bagaimana mendekati semangat keindonesiaan itu dengan praktik dan realitas saat ini?" katanya.

Dengan dunia yang kini makin terhubung, menurut Thung Ju Lan, perlu dicari penanda-penanda yang dengan mudah mengeratkan orang Indonesia satu dengan lainnya. Dari kajian sederhana yang dilakukannya, penggunaan bahasa Indonesia dan kuliner khas Indonesia merupakan dua hal yang mampu membawa pesan atau ciri keindonesiaan secara kuat.

Mencari penanda lainnya, itulah yang menjadi tantangan saat ini ....

(RINI KUSTIASIH/ANTONY LEE)



Sumber: Kompas, 3 November 2018



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Dinasti Gowa Ditemukan

JAKARTA, KOMPAS -- Sepucuk surat dalam naskah kuno beraksara Jawi mengungkapkan sejarah penting dinasti Kerajaan Goa. Ahli filologi dan peneliti dari Leiden University, Belanda, Suryadi, menemukan bagian penting yang selama ini belum terungkap dalam buku-buku sejarah di Indonesia. Sejarah penting itu dalam sepucuk surat Sitti Hapipa yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, yang ketika itu dijabat Albertus Henricus Wiese (1805-1808). Surat penting Sitti Hapipa dari pengasingannya di Colombo, Ceylon (sekarang Sri Lanka), itu selama ini telah menjadi koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden. Suryadi memaparkan temuannya itu dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara 12 di Universitas Padjajaran Bandung. "Meskipun sudah banyak kajian yang dibuat mengenai (per)surat(an) Melayu lama, surat-surat dari tanah pembuangan belum banyak dibicarakan, bahkan terkesan sedikit terlupakan. Padahal, surat-surat tersebut mengandung berbagai informasi yang berharga m

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya.

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam

SEI MAHAKAM (2 - HABIS) Keraton Kutai dan Pergulatan Mawas Diri

Cikal bakal Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dimulai sekitar abad ke-2 di Muara Kaman dengan raja pertama Kudungga, dilanjutkan putranya, Aswawarman, yang melahirkan tiga putra, yaitu Mulawarman (Kutai Kartanegara, Kaltim), Purnawarman (Taruma Negara, Jawa Barat), dan Adityawarman (Pagaruyung, Sumatera Barat). Oleh HARIADI SAPTONO P ada masa pra Islam tersebut, tercatat 25 raja memimpin Kerajaan Kutai Martadipura, dari Kudungga hingga Dermasetia. Berita tentang Kerajaan Kutai kemudian tidak terdengar. Selanjutnya, abad ke-13 berdiri Kerajaan Kutai Kartanegara di Kutai Lama dengan raja pertama Adji Batara Agung Dewa Sakti hingga raja kelima Pangeran Tumenggung Baya-Baya, sebelum kemudian pada abad ke-16 Kerajaan Kutai Kartanegara memeluk Islam dan abad ke-17 Pangeran Sinum Pandji Mendapa menyerang serta menghancurkan Kerajaan Kutai Martadipura dan kedua kerajaan dipersatukan menjadi Kutai Kartanegara Ing Martadipura sampai sekarang. Pada 1945, keraton bergabung dengan Repub

Masjid Agung Demak Menyimpan Banyak Misteri

T anggal 4 - 14 Juni 1992, Grebeg Besar-Demak digelar, bersamaan dengan Idul Adha yang jatuh pada Kamis, 11 Juni. Banyak kalangan memanfaatkan kesempatan itu, karena Demak, sebuah kota kecil 26 km sebelah timur Semarang - Jawa Tengah, menyimpan sejarah besar di Indonesia. Di kota inilah pernah berdiri kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Berwisata ke Demak, memang mengasyikkan. Obyek-obyeknya "nglumpuk" dalam kota. Masjid Agung Demak yang kawentar itu nongkrong di sana. Di dalamnya terpampang "Soko Tatal", Tiang Majapahit, Pintu Bledek, "Kentongan" dan tasbih karya Sunan Kalijaga. Hanya berjarak 2,5 km dari Masjid Demak dapat dijumpai Makam Kadilangu (Sunan Kalijaga). Di komplek ini juga disemayamkan R. Wilotikto (Bupati Tuban), dan Dewi Rasawulan, ayah dan adik Sunan Kalijaga. Komplek ini ramai saat "Grebeg Besar" bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijah. Makam Sunan Kalijaga hanya dibuka setiap Jumat Pahing, Pon dan Kliwon. Hingga kini komplek

Hari Ini, 39 Tahun Hiroshima Dibom

Oleh: Lerman Sipayung Bangunan tua yang tinggal rangka itu tampak seperti merana. Berdiri tegak di tepi sungai Motoyasu yang membelah kota Hiroshima, Jepang, bangunan yang tinggal puing itu menjadi asing di antara bangunan-bangunan modern, beberapa puluh meter di sebelah baratnya. Sejumlah burung merpati tampak hinggap di atasnya, sekali-kali terbang ke pohon-pohon yang tumbuh di samping bangunan itu. Bahkan pohon-pohon tersebut bagaikan pelindung bangunan itu dari sengatan panas matahari dan tetesan air hujan. Walaupun tinggal puing dengan warna buram yang membalutnya, ternyata bangunan tersebut bagi Jepang memiliki nilai sejarah. Sebelum jadi puing, bangunan tua itu dikenal sebagai Kantor Promosi Industri Hiroshima. Kini bekas kantor itu menjadi saksi bisu pemboman Hiroshima oleh Amerika Serikat 39 tahun lalu, tepatnya 6 Agustus 1945. Dibangun perusahaan konstruksi Jan Letzel tahun 1914, bangunan yang tinggal puing itu seolah-olah berkata kepada dunia. "Akulah saksi ata

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengarh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran  (miskin), zein  (bagus), saw