Langsung ke konten utama

Gambaran Soal Pahlawan Berubah

Relung imajinasi kaum milenial kini lebih banyak dijejali oleh sosok pahlawan super ketimbang pahlawan nasional. Tidak heran jika mereka memiliki pandangan tersendiri yang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya.

JAKARTA, KOMPAS -- Generasi milenial memiliki gambaran sendiri tentang pahlawan. Buat mereka, pahlawan tidak lagi identik dengan pejuang kemerdekaan, tetapi orang-orang yang berjuang untuk kesejahteraan dan kebenaran. 

Meski demikian, kaum muda kesulitan untuk mengidentifikasi siapa sosok pahlawan masa kini yang mereka maksud. Sebagian menyebut nama tokoh pahlawan nasional, sebagian lagi menyebut tokoh populer yang dikenal luas lewat media. Ada pula yang menyebut beberapa nama pahlawan super ciptaan industri.

Hasil jajak pendapat Litbang Kompas di kalangan pelajar dan mahasiswa di 11 kota di Indonesia pada 31 Oktober - 1 November 2018 memperlihatkan fenomena tersebut. Mayoritas responden (81,6 persen) tidak setuju jika gambaran pahlawan diidentikkan dengan sosok yang merebut kemerdekaan melalui perjuangan bersenjata. Bagi kaum milenial, kepahlawanan di masa kini lebih terkait dengan perjuangan menyejahterakan masyarakat. Sebanyak 51,8 persen responden berpendapat seperti itu.

Selain itu, 39,5 persen responden berpendapat nilai kepahlawanan kini terkait dengan perjuangan membela kebenaran. Hanya 4,6 persen kaum muda yang mengaitkan nilai kepahlawanan dengan perjuangan kemerdekaan.

Meski memiliki pandangan sendiri tentang pahlawan dan nilai-nilai kepahlawanan, mereka kesulitan untuk mengidentifikasi sosok-sosok yang layak disebut sebagai pahlawan. Sebanyak 49,3 persen responden tetap menyebut para pejuang kemerdekaan di nomor urut pertama sosok pahlawan. Di urutan berikutnya adalah tokoh populer (33,6 persen), tokoh agama (9,6 persen), dan tokoh imajiner sebagai figur superhero (3,5 persen).

Pahlawan super

Selain melakukan survei, Kompas juga menemui beberapa anak muda agar bercerita tentang pahlawan nasional yang mereka ingat saat itu. Namun, sebagian besar tampak kesulitan. Risa, mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Serang, Banten, misalnya, hanya bisa menyebutkan kurang dari 10 nama pahlawan nasional dalam satu menit. Ia menyebut nama seperti Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, RA Kartini, dan Soekarno. Namun, ia tetap tidak yakin dan meminta izin untuk memastikan bahwa jawabannya benar lewat mesin pencari Google.

Ia kemudian mengatakan Cut Nyak Dien adalah pahlawan dari Aceh. Namun, ia tidak tahu Dewi Sartika pahlawan dari daerah mana. "Setelah tamat SMP, saya memang jarang baca buku sejarah. Namun, saya bisa bercerita lebih panjang soal Bung Karno dan RA Kartini karena saya pernah menonton film tentang kedua tokoh tersebut," ujar Risa.

Kintan Kiranafiola, mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka Jakarta, menyebutkan nama Pattimura, RA Kartini, Cut Nyak Dien, dan Imam Bonjol dalam waktu satu menit. Setelah itu, ia mengernyitkan dahi dan tidak mampu menyebutkan nama pahlawan lainnya.

Wajahlanya langsung berubah cerah ketika ia diminta menyebutkan sosok pahlawan super. Tanpa ragu ia menyebut beberapa nama sosok pahlawan super, seperti Superman, Spiderman, Batman, dan Antman.

Revan Pasha Kautharnadhif, siswa kelas XII IPA, SMA Negeri 7 Jakarta, mampu menyebutkan 13 nama pahlawan nasional dalam waktu satu menit, antara lain Jenderal Gatot Soebroto, WR Supratman, Fatmawati, dan Pattimura. Dalam waktu sama, dia bisa menyebutkan 21 nama pahlawan super, dari Gatotkaca, Wolverine, Dr Strange, Black Panther, Quicksilver, Hercules, Green Lantern, Thor, hingga Poseidon. Ia mengaku selalu ingat Pattimura karena sosoknya muncul pada uang kertas Rp 1.000. Ia juga ingat WR Supratman dan RA Kartini karena pernah menonton film dan membuat rangkuman cerita keduanya untuk keperluan tugas dari guru.

Berjarak

Anak-anak muda itu mengaku kesulitan mengingat sosok pahlawan nasional karena mereka hidup di zaman berbeda. Dewa Dayana, mahasiswa Jurusan Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, mengatakan, pahlawan super lebih mudah diingat karena sosoknya terus hadir dalam film, komik, dan aneka medium lainnya. Selain itu, meski fiksi, sosok mereka tampak nyata, bahkan punya asal-usul.

Pengkaji media dan budaya populer Idi Subandy tidak kaget melihat relung imajinasi anak muda lebih banyak dijejali oleh sosok pahlawan super ketimbang pahlawan nasional. Dalam penelitian yang ia lakukan tentang representasi idola kepahlawanan di kalangan generasi muda pada 2001, ia menemukan bahwa idola kepahlawanan "pembawa nilai-nilai tradisional", seperti guru, pemuka agama, dan orang bijak, telah tergeser oleh idola kepahlawanan "pembawa nilai-nilai pasca-modern", seperti artis, selebritas, politisi populer, dan intelektual populer. Idola lainnya adalah pahlawan dari dunia fiksi atau difiksikan.

"Ini menunjukkan bahwa idola atau pahlawan yang dikenal kawula muda adalah sosok-sosok yang hidup dalam industri budaya massa," katanya.

Idi menyarankan agar ruang imajinasi anak muda segera diisi lagi dengan narasi tentang pahlawan nasional milik bangsa ini. Dengan demikian, relung imajinasi mereka tidak dihegemoni dan dihomegenisasikan oleh pasar.

(TRI/TIA/BSW/DEW-LITBANG KOMPAS/**)


Sumber: Kompas, 5 November 2018


Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Ibnu Batuta: Penjelajah Dunia dari Rusia hingga Samudra Pasai

O rang-orang Arab sejak lama dikenal sebagai penjelajah dunia. Boleh dibilang, merekalah pionir-pionir utama yang mengantarkan umat manusia mengenal satu sama lain. Bila Columbus dianggap penemu Dunia Baru atau Benua Amerika, maka anggapan itu perlu diperbarui karena para penjelajah Arab telah mendaratkan perahu-perahu mereka di Dunia Baru tersebut lima abad sebelum kehadiran Columbus. Catatan sejarah yang ada menunjukkan kapal-kapal mereka telah melintasi Selat Bering untuk mengelilingi pantai-pantai Amerika Utara. Salah satu tokoh penjelajah muslim yang namanya diukir dengan tinta emas adalah Ibnu Batuta. Bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Lawati al Tanji, Ibnu Batuta lahir di Tangiers, Maroko, Afrika Utara pada 24 Februari 1304 M. Dibesarkan dalam keluarga yang taat memelihara Islam, Ibnu Batutah giat mempelajari fikih dari para ahli yang sebagian besar menduduki jabatan Kadi (hakim). Selain itu, ia juga mempelajari sastra dan syair Arab. Pada masa hidupnya, Bani

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Pembuatan UUD 1945

Oleh Rosihan Anwar Menindaklanjuti keterangan PM Jepang Jenderal Koiso di depan sidang Diet  di Tokyo 7 September 1944 mengenai "akan diberikannya kemerdekaan kepada Hindia Timur di kelak kemudian hari", maka pada HUT Kaisar Tenno Heika 29 April 1945 diumumkan daftar nama anggota Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokoritsu Chosa Jumbi Iin . Badan yang bertugas merancang Undang-undang Dasar suatu negara Indonesia yang berdaulat merdeka diketuai oleh politikus veteran dari zaman Budi Utomo, Dokter Radjiman Wediodiningrat. Anggota-anggotanya terdiri dari pegawai negeri senior, seperti Prof Supomo, Soetardjo, Sumitro Kolopaking, dan politisi seperti Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr Muhammad Yamin, dan Mr Achmad Subardjo. Hanya dua wanita yang ikut, yaitu Mr Maria Ulfah Santoso dan Ny Sunaryo Mangunpuspito. Tujuh anggota berasal dari kalangan Islam, seperti NU dan Muhammadiyah. Seorang akademikus muda Australia, Da

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan