Langsung ke konten utama

Jangan Lupakan Jasa Pahlawan: Peristiwa Lengkong 51 Tahun Lalu

DI pusat Kota Bandung ada Jalan Lengkong Besar dan Lengkong Kecil, juga ada Kecamatan Lengkong. Di Tangerang pun ada Desa Lengkong. Namun, barangkali sedikit sekali yang mengetahui apa Lengkong itu. Apalagi setelah Lengkong yang di Tangerang itu kini berubah menjadi Bumi Serpong Damai (BSD). Padahal, Lengkong mempunyai arti sejarah penting yang berkaitan erat dengan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hari ini, 51 tahun lalu, 37 perwira dan taruna dari Resimen dan Akademi Militer Tangerang gugur di Desa Lengkong ketika menjalankan tugas internasional kemanusiaan (humanitarian) yaitu memulangkan 36.000 warga negara Belanda tawanan Jepang di Indonesia serta pelucutan dan pemulangan 35.000 tentara Jepang. Lembaga yang bertanggung jawab adalah POPDA (Panitia Oeroesan Pemoelangan Djepang dan APWI). APWI adalah singkatan dari Allied Prisoners of War and Internees atau warga sekutu yang ditahan Jepang.

Semula sekutu, atas desakan Belanda, ingin menangani sendiri tukar-menukar tawanan itu. Namun, hidung para pejuang Indonesia begitu tajam. Jika sekutu menangani, maka mereka harus keluar masuk wilayah Indonesia yang baru saja merdeka dalam hitungan hari atau minggu. Itu artinya Belanda yang membonceng, bisa pelan-pelan menancapkan kembali kukunya. Sekutu mencoba masuk Bandung lewat Sukabumi, tapi dihajar gerilyawan di Cikokosan, sehingga gagal.

Bagaimana para pejuang dari sebuah negara yang baru merdeka ini mampu mengalahkan sekutu yang baru mabuk kemenangan di Asia Pasifik itu? Wallahu'alam. Dari cerita sukses besar itu, barangkali ketokohan Soebianto Djojohadikoesoemo, seorang mahasiswa kedokteran yang terlatih militer, mempunyai andil untuk itu. Adik Prof. Dr. Soemitro ini mencuri 100 senjata Jepang dari Gudang Jagamonyet (sekarang kawasan Harmoni Jakarta). Dengan modal itulah ia mempersenjatai mahasiswa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Setelah menang dari Asia Timur tentara sekutu (baca: Inggris) mestinya pulang dan menemui anak istrinya, tapi mereka digelitik Belanda supaya mampir dan melucuti Jepang di Indonesia. Tugas itu ternyata tidak mudah, pemuda-pemuda RI melakukan perlawanan keras. Setelah juga keok di Surabaya (10 November 1945), mereka jenuh dan akhirnya terpaksa menerima usul H. Agoes Salim untuk menangani pemulangan 71.000 tawanan itu. Pada 30 November 1945, tercapai persetujuan RI-Sekutu di Jakarta. Delegasi RI terdiri dari Wakil Menlu H. Agoes Salim didampingi Mayor Wibowo dan Mayor Oetarjo. Sedangkan sekutu dipimpin Wakil Kepala Staf Brigjen ICA Lauder didampingi Letkol Laurence Vanderpost dan Mayor West.

Peristiwa ini sebetulnya merupakan kemenangan militer dan diplomasi Indonesia, negara yang baru berumur tiga bulan. Sebab dengan begitu, sekutu tidak bisa memasuki pelosok RI dan tidak bisa menduduki Jakarta, karena para pemimpin RI secara brilian telah memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Yogyakarta. Selain itu, tentara sekutu tidak perlu bertempur dan bisa pulang menemui keluarganya setelah dipisahkan oleh Perang Pasifik.

Di lain pihak, Jepang tidak perlu merasa malu karena tidak dilucuti oleh musuhnya (sekutu-red), tetapi oleh negara lain: Indonesia. Dengan diserahkannya urusan tawanan ini, berarti peristiwa ini merupakan pengakuan de facto atas Indonesia oleh dunia internasional.

"Jelas ini merupakan kemenangan strategi diplomasi dan strategi militer Indonesia," kata Islam Salim, salah seorang yang selamat yang juga adalah putra almarhum Agoes Salim.

Dalam menuntaskan tugas humaniter yang pertama sejak RI lahir itu, pemerintah RI memberi tugas Resimen IV Tangerang cq Akademi Militer Tangerang untuk mengawal KA logistik sebanyak tiga kali dari Jakarta ke Bandung. Berturut-turut dipimpin Mayor Daan Mogot, Mayor Kemal Idris dan Kapten Islam Salim. "Pada waktu itu Bandung sedang diblokade pasukan TKR yang berkedudukan di seputar kota, sehingga sekutu tak mampu lagi kirim bahan makanan yang mengakibatkan tahanan APWI mengalami krisis makanan," kata Oetarjo yang kini masih segar bugar.

Saat melucuti dan memulangkan garnisun Jepang di Desa Lengkong, ternyata Komandan Jepang di desa itu, Kapten Abe, mengingkari ketentuan-ketentuan persetujuan 30 November 1945. Hal ini tetap terjadi kendati Kolonel senior Yoshimoto dari Markas Jepang pada 5 Desember 1945 telah mengkonfirmasikan persetujuan tersebut kepada Mayor Oetarjo selaku Wakil Kepala Markas Penghubung Tentara Jakarta di Jalan Cilacap, Jakarta.

Akibat sikap Abe itu, di tengah-tengah kegiatan pengumpulan senjata Jepang oleh pasukan Taruna MA Tangerang di Lengkong, tiba-tiba tentara Jepang melakukan serangan mendadak. Mereka beraksi karena beberapa detik sebelumnya terdengar tembakan dari sebuah sudut. Akibatnya, terjadi pertempuran tidak seimbang dengan tembakan dari kubu-kubu Jepang yang tersembunyi sehingga menewaskan 34 taruna dan 3 perwira RI, termasuk Komandan Operasi Mayor Daan Mogot. Di antara yang gugur antara lain dua adik begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo yaitu Letnan Soebianto dan RM Soejono Djojohadikoesoemo dan putra H. Agoes Salim, Sjewket Salim. Soebianto tewas saat berduel dengan saling lempar granat kepada tentara Jepang di gudang, ia gugur dihujam bayonet. Daan Mogot gugur dengan pistol di tangan ketika melakukan perlawanan sengit. 

Para perwira dan taruna yang gugur, dimakamkan di sebelah lokasi ex Resimen IV Tangerang, sekarang disebut Taman Makam Pahlawan Taruna Tangerang (TM-PTT). "Sampai saat ini, tidak seorang pun tahu, dari mana asal tembakan itu," kata Oetarjo yang kini sudah lanjut usia itu.

**

PERISTIWA ini, menurut Oetarjo, merupakan pengorbanan besar bagi kelangsungan hidup negara RI yang umurnya belum mencapai satu tahun. Negara yang belum punya tentara yang kuat ini ternyata berhasil mengalahkan sekutu yang menang perang di Pasifik. Gubernur Jenderal Van Moek pernah mentertawakan bumiputera: "Kau tidak punya uang dan senjata, kok berani-beraninya ingin merdeka." Maka dengan tidak punya apa-apa inilah justru RI berdiri. Mundurnya sekutu sejak 30 November 1945 itu memberikan waktu bernapas bagi RI selama dua tahun untuk konsolidasi pemerintahan, ekonomi, militer, dan aparat sipil, sampai akhirnya secara licik dan brutal Belanda melakukan Agresi Militer Juni 1947.

Mereka yang gugur di Lengkong baru diakui sebagai pahlawan setelah 25 tahun kemudian. Peristiwa ini sungguh sangat penting, tapi pembukuan sejarah Indonesia mungkin belum seluruhnya selesai, sehingga hampir-hampir tak ada yang mengingat ke-37 bunga bangsa yang gugur di Lengkong ini.

Hari ini, peristiwa 25 Januari 1946 itu diperingati di Tangerang. Kita tidak akan melihat anak atau cucu pejuang yang tewas itu. Mengapa? Mereka adalah taruna remaja yang umumnya belum menikah, juga ketiga perwiranya, belum berkeluarga. Tapi jasa besar telah mereka berikan bagi "anak cucu" mereka bangsa Indonesia pada umumnya. "Mereka adalah Syuhada. Jangan lupakan jasa pahlawan," kata Joenoes Djohor, salah seorang taruna yang lolos dari maut. (Budhiana/"PR")***



Sumber: Pikiran Rakyat, 11 Januari 2002



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

RUNTUHNYA HINDIA BELANDA: Menyerahnya Gubernur Jendral AWL TJARDA dan Letnan Jendral TER POORTEN kepada Letnan Jendral IMMAMURA Panglima Perang Jepang 8 Maret 1942

Generasi kita sekarang, mungkin tidak banyak yang mengetahui terjadinya peristiwa penting di tanah air kita 35 tahun yang lalu, yaitu menyerahnya Gubernur Jenderal dan Panglima Perang Hindia Belanda "Tanpa Syarat" kepada Panglima Perang Jepang yang terjadi di Kalijati Bandung pada tanggal 8 Maret 1942. Peristiwa yang mengandung sejarah di Tanah Air kita ini telah ditulis oleh Tuan S. Miyosi seperti di bawah ini: Pada tanggal 8 Maret 1942 ketika fajar kurang lebih jam 07.00 pagi, kami sedang minum kopi sambil menggosok mata, karena kami baru saja memasuki kota Jakarta, dan malamnya banyak diadakan permusyawaratan. Pada waktu itu datanglah seorang utusan dari Markas Besar Balatentara Jepang untuk menyampaikan berita supaya kami secepat mungkin datang, walaupun tidak berpakaian lengkap sekalipun. Kami bertanya kepada utusan itu, apa sebabnya maka kami disuruh tergesa-gesa? Rupa-rupanya balatentara Hindia Belanda memberi tanda-tanda bahwa peperangan hendak dihentikan! Akan ...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Pemuda Penjuru Bangsa

"Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia". (Ir Soekarno) JAKARTA, KOMPAS -- Pernyataan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, itu menggambarkan betapa pemuda merupakan potensi yang luar biasa, tidak hanya untuk pembangunan bangsa, tetapi juga untuk mengguncangkan dunia. Dalam perkembangan bangsa ini, kaum muda banyak mewarnai sejarah Indonesia. Tidak hanya dimulai dengan digelarnya Kongres Pemuda II tahun 1928, yang menegaskan "bertanah air dan berbangsa yang satu, bangsa Indonesia serta berbahasa persatuan, bahasa Indonesia", tetapi peristiwa pembentukan negeri ini, misalnya lahirnya Boedi Oetomo tahun 1908, pun digagas pemuda. Bahkan, organisasi kebangsaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, tidak bisa dipisahkan dari peranan kaum muda. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang diakui sebagai pemuda adalah warga negara yang m...