Langsung ke konten utama

Partai Arab Indonesia

Oleh: Alwi Shahab

Radio Inggris, BBC, enam hari berturut-turut di bulan Ramadhan dan menjelang Syawal, dalam siarannya mengangkat ficer kiprah keturunan Arab di Indonesia. Untuk itu, reporternya telah mengadakan serangkaian wawancara dengan berbagai keturunan Arab di Indonesia. Sebelumnya, Prof Dr Michael Gilsenan, ketua Jurusan Studi Timur Tengah dari New York University, selama tiga bulan berkeliling Indonesia, melakukan hal sama. Hasil risetnya tentang keturunan Arab yang leluhurnya berasal dari Hadramaut (Yaman), akan dibukukan di AS. Baik BBC London maupun New York University, menyatakan tertarik terhadap kiprah politik keturunan Arab di Indonesia akhir-akhir ini.

Kiprah keturunan Arab dalam bidang politik di Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Baru pada 1934, kegiatan ini diwujudkan dalam satu wadah, ketika tokoh masyarakat Arab kala itu, AR Baswedan mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI). Berdirinya PAI hanya enam tahun setelah Sumpah Pemuda. Mereka membuat sumpah serupa: "Tanah Air kami satu, Indonesia. Dan keturunan Arab harus meninggalkan kehidupan yang menyendiri (isolasi)."

Pada mulanya, PAI masih berbentuk persatuan. Tapi, pada 1940, ketika suhu politik menentang penjajah meningkat, PAI pun mengubah namanya menjadi 'partai'. Dalam kiprahnya, PAI merupakan partai pertama yang mendukung 'Petisi Soetardjo' menuntut Indonesia berparlemen dan kemerdekaan penuh. PAI juga terlibat dalam gerakan anti Jepang. Pada masa proklamasi, banyak keturunan Arab yang gugur sebagai pejuang.

Partai Arab ini membubarkan diri setelah proklamasi kemerdekaan, ketika pemerintah mengeluarkan Manifes Politik agar parpol-parpol membubarkan diri dan membentuk parpol baru. PAI yang tidak bersedia membentuk parpol baru, para pemimpinnya kemudian masuk ke berbagai parpol. Seperti AR Baswedan (Masyumi), dan Mr Hamid Algadri (PSI). Banyak pula yang berkiprah di pengurus NU, PNI, bahkan PKI. Seperti Baraqbah, yang menjadi ketua PKI Kalimantan Timur.

Kembali ke masa-masa sebelumnya, Belanda dalam upaya memisahkan dan mengisolasi keturunan Arab melakukan politik wijkenstelsel atau passenstelsel. Tujuannya untuk memisahkan orang Arab dengan pribumi. Dengan menempatkan mereka dalam semacam ghetto-ghetto. Seperti permukiman di Pekojan dan Krukut (Jakarta), Ampel (Surabaya), dan sejumlah perkampungan Arab lainnya di beberapa kota. Ketika itu, kalau mereka ingin keluar, harus memiliki izin atau pas dari pemerintah kolonial. Sarjana Islamologi Belanda, Prof Snouck Hurgronye membela habis-habisan sistem ini, ketika banyak pihak yang berjuang untuk menghapuskannya. Snouck menganggap sistem ini sangat efektif untuk membatasi kegiatan keturunan Arab yang dinilai sebagai ancaman bagi pemerintah kolonial.

Prof LWC van der Berg, yang juga berprofesi seperti Snouck dalam penelitiannya mengenai asal-usul keturunan Arab di Nusantara (1884-1889) menyatakan, "Sebelum 1859 tidak tersedia data yang jelas mengenai jumlah orang Arab yang bermukim di daerah jajahan Belanda. Mereka dalam statistik itu disamakan dengan orang Benggali (India) dan orang asing lainnya yang beragama Islam." Karena itulah, Snouck yang 'Arabphobi' menyatakan, "Islam bukan datang dari Arab, tapi dari India (Gujarat)." Pendapatnya ditentang keras oleh HAMKA dan para ulama dalam 'Seminar Masuknya Islam di Nusantara', pada 1963 di Medan.

Van der Berg dalam penelitiannya 113 tahun silam juga menyatakan keturunan Arab hanya dalam satu generasi sudah lebih banyak yang tidak bisa berbahasa Arab. Mereka datang di Nusantara tanpa membawa istri, dan kawin dengan wanita setempat. Sehingga putra-putrinya mengikuti adat-istiadat dan budaya ibunya. Karenanya, keturunan Arab menyebut bangsa Indonesia: akhwal. Yakni, saudara dari ibu, atau bu'deh, bibi, makcik, dan tante. Mereka menolak sebutan inlander, seperti dilakukan Belanda sebagai penghinaan terhadap bangsa Indonesia.

Ketika menyambut kehadiran PAI, Dr Syam Ratulangie, mengatakan, "Adalah aneh, tetapi dapat dimengerti bahwa gerakan keturunan Arab dapat begitu cepat diterima dalah gerakan nasional." Ratulangie yakin bahwa hal itu bukan hanya karena keturunan Arab beragama Islam.

Apa yang dinyatakan tokoh Kristen ini dapat dibenarkan, bila diingat bahwa di daerahnya (Sulawesi Utara), keturunan Arab bisa hidup rukun dengan masyarakat setempat. Bahkan, di Manado ada kampung Arab. Demikian pula di wilayah yang penduduknya mayoritas Kristen. Di Papua, lepas dari gerakan yang dianutnya, Hamid Thaha Alhamid, seorang keturunan Arab menjadi sekjen dari Gerakan Papua Merdeka. Demikian pula di Timor Timur, yang mayoritasnya Katholik. Mar'ie Alkatiri, keturunan Arab menjadi menteri penerangan Timor Leste di pengasingan.[]



Sumber: Republika, 6 Januari 2002



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Polongbangkeng, Wilayah Republik Pertama di Sulawesi Selatan

P olongbangkeng di Kabupaten Takalar, kini nyaris tak dikenal lagi generasi muda di Sulawesi Selatan. Lagi pula, tak ada yang istimewa di kota yang terletak sekitar 40 kilometer dari Ujungpandang, kecuali jika harus melongok ke masa lalu--masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dulu, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Polongbangkeng jadi pusat perjuangan mendukung Proklamasi oleh pejuang-pejuang Sulsel. Ketika NICA mendarat diboncengi tentara Belanda, Polongbangkeng pula yang jadi basis pejuang mempertahankan kedaulatan RI  di tanah Makassar. Para pejuang yang bermarkas di Polongbangkeng berasal dari berbagai daerah seperti Robert Wolter Monginsidi (Minahasa), Muhammad Syah (Banjar), Raden Endang (Jawa), Bahang (Selayar), Ali Malaka (Pangkajene), Sofyan Sunari (Jawa), Emmy Saelan dan Maulwy Saelan (Madura), dan tentu saja pahlawan nasional pimpinan Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) Ranggong Daeng Romo. Pada akhir Agustus 1945, Fakhruddin D...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

G30S dalam Pelajaran Sekolah

Oleh: SUSANTO ZUHDI K urikulum 2004 yang diujicobakan di Jawa Timur menuai reaksi keras. Pasalnya, pada pelajaran sejarah tidak dicantumkan kata PKI pada "Gerakan 30 September 1965". Aspirasi guru dan sejumlah tokoh di Jawa Timur pun dibawa ke DPR. Masalah itu dibahas dalam rapat para menteri di bawah Menko Kesra pada Juni 2005. Akhirnya Depdiknas menyatakan, dalam masa transisi mata pelajaran sejarah di sekolah menggunakan Kurikulum 1994. Bukan soal fakta Kalau boleh berseloroh, mengapa tidak ditambah saja kata "PKI" sehingga tak perlu revisi selama enam bulan. Persoalannya tidak semudah itu, pun bukan soal fakta "G30S 1965" dengan "PKI" saja, tetapi ada dua hal lain yang diangkat. Pertama, siswa kelas II dan III SLTA jurusan IPA dan SMK tidak diberi lagi pelajaran sejarah. Kedua, soal tuntutan agar mata pelajaran sejarah diberikan secara mandiri (terpisah) baik untuk SD maupun SLTP. Seperti diketahui, dalam Kurikulum 2004 mata pelaja...

JEJAK KERAJAAN DENGAN 40 GAJAH

Prasasti Batutulis dibuat untuk menghormati Raja Pajajaran terkemuka. Isinya tak menyebut soal emas permata. K ETERTARIKAN Menteri Said Agil Husin Al Munawar pada Prasasti Batutulis terlambat 315 tahun dibanding orang Belanda. Prasasti ini telah menyedot perhatian Sersan Scipiok dari Serikat Dagang Kumpeni (VOC), yang menemukannya pada 1687 ketika sedang menjelajah ke "pedalaman Betawi". Tapi bukan demi memburu harta. Saat itu ia ingin mengetahui makna yang tertulis dalam prasasti itu. Karena belum juga terungkap, tiga tahun berselang Kumpeni mengirimkan ekspedisi kedua di bawah pimpinan Kapiten Adolf Winkler untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasilnya juga kurang memuaskan. Barulah pada 1811, saat Inggris berkuasa di Indonesia, diadakan penelitian ilmiah yang lebih mendalam. Apalagi gubernur jenderalnya, Raffles, sedang getol menulis buku The History of Java . Meski demikian, isi prasasti berhuruf Jawa kuno dengan bahasa Sunda kuno itu sepenuhnya baru dipahami pada awa...

Makam Imam Al-Bukhori

Menarik membaca tulisan Arbain Rambey berjudul "Uzbekistan di Pusaran Sejarah" ( Kompas , 20 Oktober 2019).  Berdasarkan kisah dari pemandu wisata di Tashkent, diceritakan peran Presiden Soekarno memperkenalkan Makam Imam Al-Bukhori di Samarkand yang nyaris terlupakan dalam sejarah. Kisah Soekarno dimulai ketika dalam kunjungan ke Moskwa minta diantar ke makam Imam Al-Bukhori. Menurut buku The Uncensored of Bung Karno, Misteri Kehidupan Sang Presiden  tulisan Abraham Panumbangan (2016, halaman 190-193), "Pada tahun 1961 pemimpin tertinggi partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet Nikita Sergeyevich Khruschev mengundang Bung Karno ke Moskwa. Sebenarnya Kruschev ingin memperlihatkan pada Amerika bahwa Indonesia adalah negara di belakang Uni Soviet".  Karena sudah lama ingin berziarah ke makam Imam Al-Bukhori, Bung Karno mensyaratkan itu sebelum berangkat ke Soviet. Pontang-pantinglah pasukan elite Kruschev mencari makam Imam Al-Bukhori yang lah...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...