Langsung ke konten utama

Kisah-kisah Perjuangan: Nasib Bangsa pada Masa Pendudukan Jepang

Oleh Moh. Hari Soewarno

Hidup di masa pendudukan tentara Jepang antara Februari 1942 hingga Agustus 1945 pada masa Perang Dunia II dalam tekanan sosial-politik dan ekonomi negeri ini buruk sekali.

Bayangkan sejak tentara Jepang masuk, perekonomian negeri ini mandeg tanpa produktivitas industri sama sekali, hingga sabun saja pun sulit dicari. Juga barang-barang kelontong serta kain penutup tubuh yang selalu dibutuhkan manusia. Kain blaco atau pereng yang tak biasa dipakai orang, saat itu merupakan barang luks. Namun demikian, jika kain pereng (hitam) semeter harus diterima petani sebagai pengganti kerbau/sapinya yang dirampas Jepang untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya melawan Sekutu (AS, Inggris dkk), siapa pun pasti akan menangis trenyuh.

Betapa tidak sedih?! Sepasang kerbau mereka mula-mula diambil seekor dan diganti kain pereng/blaco semeter. Lalu seekor lainnya pasti tak dapat digunakan untuk bertani/membajak sawahnya yang kelak akan menghasilkan panenan padi. Benar bahwa di kemudian hari bisa ditemukan akal bergotong royong dengan petani lain yang juga hanya memiliki seekor sapi/kerbau. Tetapi kedua ekor sapi pasangan membajak di tahun berikutnya sudah terdaftar pemerintah militer Jepang agar disetorkan pula ke Kempetai lagi. Betapa hancur leburnya hati sang petani ini.

Untuk menghindari paksaan tentara pendudukan Jepang lagi, kebanyakan kaum petani lalu memilih menyembelih kerbau/sapinya kemudian dagingnya dibrandu oleh penduduk sekitar dengan harga umum. Tapi dengan cara ini tetap saja kaum petani merasa susah bukan kepalang, karena akibatnya mereka tak sanggup bertani/bersawah lagi. Akibat berikutnya, masa panen gagal total dan berakibat lagi kelaparan di mana-mana dalam tahun kedua/ketiga sebelum Jepang takluk kepada Sekutu. Inilah kisah perjuangan hidup petani yang tak berdaya.

Kalau di zaman penjajahan Belanda kaum petani kena upeti/pajak (belasting) yang ditagih oleh penebas pajak masih bisa berkelit, tetapi menghadapi paksaan tentara Jepang bersama lurahnya yang memegang daftar ternak desanya, mereka tak mungkin berbuat sesuatu kecuali menangis gero-gero sambil meremas-remas rambut kepalanya. Ini saya ketahui faktanya meski waktu itu saya masih anak sekolah dasar (14-15 tahun).

Jika ketahuan ternak petani yang terdaftar sudah tak ada lagi karena disembelih diambil manfaat dagingnya oleh penduduk sekitar dengan cara dibrandu tadi, petani ini bisa celaka juga. Ia pasti dibawa ke Kempetai dan di sana akan menerima hukuman dimasukkan blumbang air yang dalam di belakang markas Kempetai. Jika kepalanya muncul di permukaan, oleh sang Jepang yang menunggu di pinggir kolam, terus ditenggelamkan lagi kepalanya, sampai akhirnya ia tewas atau setengah mati dan baru dipulangkan kembali ke kampungnya. Tentu saja rakyat sekitar yang menerima kisah petani yang malang ini akan merasa takut sekali kepada tentara Jepang.

Padahal Jepang waktu datang pertama kali beberapa hari wajahnya nampak berseri-seri kepada rakyat Indonesia, seolah-olah Jepang benar-benar sebagai tentara pembebas atas penjajahan Belanda sebelumnya. Tetapi ternyata persis seperti kelakuan Petruk Jadi Raja dalam gambaran ramalan pujangga Jawa yang dihafal dan dimengerti orang Jawa pada umumnya.

Kaum pejuang Kemerdekaan yang mula-mula diangkat-angkat oleh tentara pendudukan Jepang seperti Bung Karno, Bung Hatta dll, tak berdaya menghadapi sikap Jepang demikian, apa lagi saya, anak sekolah dasar. Meski kita punya rasa anti kepada Jepang saat itu, sebagai anak pejuang (karena ayah saya ikut dalam pergerakan Masyumi), namun rasanya tak dianggap apa-apa oleh pasukan Jepang yang ternyata berhati ganas itu. Inikah yang disebut tentara Cebol kepalang tanggung tentaranya Ratu Kuning yang berasal dari Timur Laut yang benderanya bersimbulkan Matahari Terbit, yang juga disindir ramalan Jawa itu sebagai "Ana dayoh mongso, padha Petruk dadi Ratu" itu? Yang watak dan sepak terjangnya "seperti Penggembala bebek--sapa sira sapa ingsun"!

Juga disindir sebagai "Srengenge madep ngidul, jarang kepang ngubengi pasar (Indonesia)". Jepang ketika menyerbu Asia Tenggara pun diibaratkan/disindir sebagai "tukang judi meluruk menyeberang lautan, hasilnya pok bondho (tidak untung/tidak rugi). Sebab modal perangnya digali dari negara yang diduduki tersebut seperti diadakannya model upeti baru (ranji) berupa ternak rakyat harus disetorkan ke Kempetai demi kemenangan perang Asia Timur Raya di mana Jepang sebagai "saudara tua" yang memimpinnya. Selimut 'saudara tua' itu ternyata sekadar menutupi perbuatan negatifnya yang tak ubahnya seperti penjajah baru pula.

Ketika masa panen pertama dari masa pendudukannya, Jepang minta hasil panen petani separuh lebih disetorkan untuk kepentingan perang Asia Timur Raya juga. Apa imbalannya? Cuma kain pereng! Sang pujangga Jawa menyindir dalam ramalannya sebagai "Ngedumpari ditimbang dewe, nganggo dacin tanpa mata" (membagi padi ditimbang sendiri, tanpa pakai mata dacin). Nah, tentu saja njumplang.

Lihat halaman XII kol. 1
(Sambungan tidak ditemukan)



Sumber: Suara Karya, Tanpa tanggal (est. di atas 1994)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...