Langsung ke konten utama

Akhirnya P. Jawa Jatuh ke Tangan Jepang

Oleh HARYADI SUADI

DALAM peperangan di Laut Jawa yang meletus pada tanggal 27 Februari 1942, pihak angkatan laut Nippon telah berhasil menenggelamkan sebagian besar kapal milik Sekutu. Hanya dalam waktu sehari semalam, kapal Exeter, Kortenaer, Encounteur, dan Java telah mereka kirim ke dasar laut Jawa. Dan setelah De Ruyter bersama Laksamana Karel Doorman ditenggelamkan pada pukul 23.15 waktu Jawa pada tanggal tersebut, yang tersisa cuma Houston dan Perth. Kedua kapal tersebut memang merupakan kapal terakhir yang dimiliki Sekutu pada saat itu. Sebab di seluruh kawasan Lautan Pasifik, dari mulai Pulau Kuril sampai Semenanjung Malaya, dari ujung Kepulauan Midway hingga pantai Cina, tak satu pun kapal Sekutu yang mampu mengambang di atas laut.

Seperti telah dikisahkan dalam tulisan yang lalu, bahwa kedua kapal ini telah melarikan diri menuju Surabaya. Namun di tengah jalan kedua komandannya merasa bingung, ke mana mereka harus istirahat untuk memperbaiki kerusakan dan mengisi bahan bakar. Sebab kembali ke Surabaya adalah mustahil. Di Tanjung Periuk pun sama gawatnya. Apalagi pada saat itu Jepang sedang mengadakan pendaratan tentaranya secara besar-besaran di pantai utara Jawa yang menggunakan 56 buah kapal. Sedangkan di sekitar Laut Jawa Jepang sudah menyiagakan 2 kapal penjelajah berat dan 1 kapal induk yang memuat sejumlah kapal pembom dan kapal pemburu torpedo.

Dalam keadaan bingung, akhirnya Houston dan Perth pada tanggal 29 Februari pukul 23.00, bergerak ke arah Barat dengan kecepatan 20 knot. Tujuan mereka adalah Selat Sunda. Namun setelah berada di Selat Sunda, Kapten Rooks yang berada di kapal Houston baru menyadari bahwa memasuki perairan ini berarti masuk perangkap Jepang.

Sangkaan mereka ternyata tidak menyalahi. Buktinya tidak lama kemudian, yakni pada pukul 23.45, tiba-tiba bermunculan kapal-kapal Jepang dari segala arah. Pertempuran pun tentunya tidak bisa dielakkan lagi. Mula-mula Perth menembak secara membabi buta ke arah musuh. Kemudian disusul oleh Houston. Sementara itu pihak musuh pun balik membalas dengan meriam dan torpedo secara bertubi-tubi. Dalam peperangan yang tidak seimbang ini, sudah jelas posisi kapal Sekutu semakin terpojok.

Perth yang pertama menjadi korban peluru Jepang dan segera menghilang dari pandangan mata. Dalam pada itu Houston yang badannya sudah compang-camping, terus menerus menembak sambil berkelit dan berzigzag. Karena taktiknya ini, beberapa peluru Jepang konon tanpa disengaja telah menerjang kapal kawannya sendiri.

Pada malam harinya Houston yang tinggal sendirian menghadapi musuh, telah diterjang kembali oleh peluru-peluru musuh. Dalam peristiwa itu, tempat mesin bagian belakang rusak berat dan puluhan awaknya tewas terbakar. Karena dari pihak Houston tidak ada reaksi, maka beberapa kapal Jepang mulai mendekati. Kemudian salah satu kapal Jepang mengarahkan lampu sorotnya ke arah Houston. Di bawah penerangan lampu sorot itu, tampaklah sosok tubuh kapal Sekutu ini yang amat menyedihkan.

Anjungan serta bangunan sebelah atasnya tampak berantakan. Tiang besinya dalam keadaan bengkok dan patah-patah. Sedangkan di mana-mana bergeletakan awak kapalnya yang tewas akibat terbakar dan tertembak. Di dalam beberapa ruangannya tampak api masih berkobar-kobar yang disertai kepulan asap berwarna hitam.

Sekalipun sudah dalam keadaan demikian menderitanya, Houston masih sempat membalas menembak dengan meriamnya. Rupanya sorotan lampu yang menerangi keadaan sekelilingnya itu, telah dimanfaatkan oleh para awaknya untuk menghantam kapal-kapal Jepang yang berada di pantai. Dan hasilnya 4 buah kapal Jepang telah hancur. Dan kabarnya dalam serangan yang tidak diduga-duga itu, telah merusakkan kapal yang dinaiki oleh Jenderal Hitoshi Imamura.

Bahwasanya kondisi Houston yang sudah dalam keadaan sekarat itu masih mampu memberikan perlawanan, sudah pasti cukup mengejutkan Jepang. Oleh karena itu, Jepang segera mengatur posisi. Semua kapalnya diperintahkan membentuk lingkaran untuk mengepung Houston. Kapal Amerika yang maklum akan taktik Jepang ini segera pula mengatur siasat dan memperlambat jalannya.

Pukul 00.25, Houston yang sudah tinggal reruntuk itu, mulai diserang lagi dari segala penjuru dengan menggunakan berbagai macam jenis senjata dan ukuran yang dimiliki Jepang. Akibat serangan itu, menaranya yang sudah miring, meleleh dimakan api.

Kemudian sebuah torpedo menghantam sisi kanannya dan merusakkan ruang peta. Sementara itu ruang mesiu sudah terendam air. Kendati demikian, para awaknya masih tetap bersemangat. Dengan senjata yang masih bisa dipergunakan, mereka terus berupaya untuk mempertahankan diri. Bahkan Laksamana Rooks masih sempat memerintahkan kepada anak buahnya agar segera meninggalkan kapal. Boleh jadi itulah perintahnya yang terakhir, sebab tidak lama kemudian anjungan tempat dia memberikan perintah tersebut, tiba-tiba diterjang peluru musuh.

Tetapi perintah pemimpinnya itu tidak mereka laksanakan, karena ternyata Houston masih bisa bergerak untuk mengatur posisi. Dan tidak sedikit pula awak kapalnya yang masih mampu menggunakan senjata serta memadamkan kobaran api.

Sampai sekitar pukul 00.33 tembakan balasan dari Houston masih tetap berlangsung. Padahal kapal itu sudah dalam keadaan porak-poranda dan hampir separuh badannya sudah tergenang air. Namun beberapa menit kemudian Houston mulai tidak bisa bergerak. Tembakan dari awaknya pun sudah tidak terdengar lagi.

Pada saat itu yang tampak hanya menara dan tiang-tiang yang bengkok dan patah-patah. Sedangkan sebagian besar badannya sudah berada di bawah permukaan air. Dalam keadaan yang sudah tidak berdaya, Jepang masih terus menembakinya. Dan akhirnya pada tanggal 1 Maret 1942 pukul 00.45, tengah malam, secara perlahan-lahan Houston tenggelam ke dasar laut di perairan Selat Sunda.

Yang sudah pasti tewas dalam peristiwa itu adalah Kapten Rooks beserta para perwira stafnya. Dan dari 500 awaknya, 150 orang diperkirakan turut tenggelam bersama kapalnya atau tewas ketika berupaya berenang mencapai pantai Jawa. Dan sisanya yang sekitar 300 orang selamat kemudian ditawan Jepang.

Dengan tamatnya riwayat Houston, maka berakhir pula drama peperangan di Laut Jawa ini. Pihak Sekutu maupun Jepang mengakui, bahwa pertempuran ini merupakan kisah paling dahsyat dalam sejarah Perang Dunia ke-2 yang terjadi di belahan dunia sebelah Timur. Sebab kedua belah pihak sama-sama berupaya sekuat-kuatnya untuk mencapai kemenangan.

Tentara Jepang harus berjuang keras dalam menghadapi seluruh kekuatan Sekutu yang dipusatkan di Pulau Jawa. Sedang pihak Sekutu sekalipun menyadari akan kelemahannya, namun mereka masih senantiasa dengan gigih mempertahankan nyawanya sampai titik darah penghabisan.

Pemerintah Amerika sendiri secara resmi telah mempersembahkan piagam penghargaan untuk keberanian yang luar biasa dari Laksamana Rooks beserta anak buahnya dalam mempertahankan nama bangsa dan tanah airnya.

Tentang drama peperangan di Selat Sunda ini, seorang penulis yang bernama Samuel Elliot Morison dalam bukunya, The Rising Sun in the Pacific, mengatakan sebagai berikut: "Perlawanan Houston terhadap musuh yang kondisinya jauh lebih kuat, selama setengah jam yang terakhir ini, sesungguhnya merupakan peperangan yang paling gagah berani dalam sejarah Angkatan Laut Amerika."

Taktik "gelombang yang mendesak ke pantai"

Dalam artikel "Taktik Mereboet Poelau Djawa" yang ditulis oleh Letnan Kelas Satu T. Maruyama (Majalah Pandji Poestaka nomor 9-10 Maret 2603), diungkapkan bahwa pihak Pemerintah Tokyo mempunyai kesan tersendiri terhadap peperangan yang terjadi di Laut Jawa ini. Dikatakan dalam artikel tersebut, bahwa peperangan ini merupakan peperangan terakhir yang dilakukan Jepang di kawasan Indonesia.

Sekalipun Jepang akhirnya meraih kemenangan, namun pihaknya telah memeras tenaga dan pikiran untuk mencapai kemenangan tersebut. Betapa tidak, Jepang harus mengerahkan segenap kekuatannya untuk merobohkan pertahanan militer Amerika, Inggris, dan Belanda yang dipusatkan di Asia Timur.

Merebut pangkalan-pangkalan militer Sekutu di wilayah ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Selanjutnya Maruyama menekankan, bahwa mengungkapkan kembali jalannya peperangan di Jawa, baik yang terjadi di lautan maupun di daratan, bukanlah untuk menyombongkan diri, namun semata-mata agar orang mengetahui, bahwa betapa sulitnya Jepang mengatur siasat dan strategi dalam peperangan tersebut ..... Boekan sedikit kesoekaran-kesoekaran serta kesoelitan jang dihadapi oleh Persatoean Markas Besar Angkatan Darat dan Laoet Nippon (Dahonei) jang melakoekan segala persediaan oentoek melakoekan peperangan ini ... demikian tulis Maruyama.

Dalam tulisannya kemudian Maruyama mengisahkan pula tentang siasat dan taktik tentara Nippon menduduki Pulau Jawa. Dikatakan, bahwa tiga hari seusainya perang di Selat Sunda, akhirnya balatentara Dai Nippon dengan mulus mendarat di pantai Utara Jawa.

Sekalipun kekuatan Angkatan Laut Sekutu sudah mereka tumpas, namun mereka masih tetap harus waspada. Masalahnya para pembesar Angkatan Darat Pemerintah Hindia Belanda seperti Jenderal Ter Poorten, dan Gubernur Jenderal Tjarda bersama ribuan tentaranya masih bercokol di Jawa.

Tanggal 2 Maret 1942, beribu-ribu tentara Jepang secara serentak mendarat di tiga tempat di pantai utara Jawa, yakni di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Menurut Maruyama, yang juga turut ambil bagian dalam operasi merebut Pulau Jawa ini, pendaratan itu sungguh merupakan peristiwa yang tidak bisa terlupakan dan tetap terlukis dalam riwayat Perang Asia Timur Raya.

Pada subuh yang dingin itu, tampak pantai Jawa dalam keadaan lengang. Waktu itu langit masih gelap, karena matahari belum memperlihatkan dirinya. Pada saat itulah dia menyaksikan secara samar-samar beribu-ribu tentara Nippon meloncat dari kapal kemudian berhamburan ke pantai.

Dengan dilatarbelakangi oleh matahari yang baru muncul dari permukaan laut, para prajurit Jepang itu kemudian berkumpul membentuk barisan. Kemudian mereka diperintahkan bergerak untuk mengepung Pulau Jawa.

Sementara itu tentara Jepang yang mendarat di pantai Jawa Barat pada tanggal tersebut, telah menduduki daerah Merak, Banten, dan Eretan (Indramayu). Sebagian tentaranya yang mendarat di Merak, segera menuju Bogor. Juga yang berada di Banten diperintahkan bertolak menuju Jakarta.

Karena sulitnya sarana angkutan, hanya dengan mengendarai sepeda atau berjalan, mereka baru sampai di ibukota pada tanggal 5 Maret. Pada waktu yang sama pasukan yang berada di Eretan, telah sampai di Kalijati.

Setelah berhasil merebut pangkalan udara di kota itu, mereka meneruskan perjalanannya menuju Purwakarta dan Subang. Dalam perjalanan menuju Bandung, mereka telah melumpuhkan pula benteng pertahanan Belanda yang terletak di Ciater.

Dari kota itu, selanjutnya mereka bergerak lagi dengan tujuan mengepung Kota Bandung. Dengan didudukinya Kota Bogor, pangkalan udara Kalijati dan benteng Ciater, maka dengan sendirinya Bandung pun berhasil mereka kuasai. Ini artinya sebagian besar Jawa Barat sudah berada di tangan Jepang.

Tatkala tentara Jepang menyerbu ke pedalaman Jawa Barat, ternyata dari pihak Belanda hampir tidak ada reaksi. Agaknya mental tentara Jenderal Ter Poorten ini sudah jatuh. Selain persenjataannya yang minim, tampaknya mereka pun sudah pasrah. Oleh karena itu, tentara Jepang dengan mudah menangkapi mereka.

Di masa itulah, sering dijumpai barisan tentara Belanda dengan kondisinya yang memilukan, sedang digiring tentara Jepang menuju kamp tawanan. Setelah dilucuti senjatanya, biasanya mereka disuruh telanjang dada dan tangannya diletakkan di atas kepalanya. Dan terkadang sambil berbaris mereka dipaksa menyerukan kata "Dai Nippon Banzai" sambil mengacungkan ibu jarinya.

Dalam pada itu balatentara Jepang yang didaratkan di Pantai Utara Jawa Tengah diinstruksikan untuk menduduki Semarang, Yogya, Solo, Cilacap, dan Magelang.

Di wilayah ini pun Belanda nyaris tidak mengadakan perlawanan. Dengan menggunakan taktik "Gelombang yang mendesak ke pantai" (demikian menurut istilah Maruyama), kota-kota tersebut dengan mudah bisa dikuasai. Taktik ini menurut Maruyama gunanya adalah untuk memotong jalan musuh agar tidak bisa meloloskan diri.

Dalam waktu yang sama daerah Jawa Timur pun telah mereka kuasai. Setelah Surabaya, benteng terakhir kaum Sekutu, direbut tentara Jepang pada tanggal 6 Maret, maka seluruh Pulau Jawa benar-benar sudah berada dalam kekuasaan Nippon. Ini artinya selesailah sudah perjuangan tentara Jepang dalam merebut Pulau Jawa.***



Sumber: Pikiran Rakyat, 19 April 1995



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

"Abangan"

Oleh AJIP ROSIDI I STILAH abangan berasal dari bahasa Jawa, artinya "orang-orang merah", yaitu untuk menyebut orang yang resminya memeluk agama Islam, tetapi tidak pernah melaksanakan syariah seperti salat dan puasa. Istilah itu biasanya digunakan oleh kaum santri  kepada mereka yang resminya orang Islam tetapi tidak taat menjalankan syariah dengan nada agak merendahkan. Sebagai lawan dari istilah abangan  ada istilah putihan , yaitu untuk menyebut orang-orang Islam yang taat melaksanakan syariat. Kalau menyebut orang-orang yang taat menjalankan syariat dengan putihan  dapat kita tebak mungkin karena umumnya mereka suka memakai baju atau jubah putih. Akan tetapi sebutan abangan-- apakah orang-orang itu selalu atau umumnya memakai baju berwarna merah? Rasanya tidak. Sebutan abangan  itu biasanya digunakan oleh orang-orang putihan , karena orang "abangan" sendiri menyebut dirinya "orang Islam". Istilah abangan  menjadi populer sejak digunakan oleh Clifford ...