Langsung ke konten utama

Mengungkap Zaman Keemasan Kerajaan Gowa

Arak-arakan budaya yang lengkap dengan tentara berkuda serta pasukan garis depan (tobarani), seperti menampilkan kembali masa keemasan Kerajaan Gowa yang dulu dikenal memiliki pasukan tangguh.

Pawai itu diikuti barisan gendang (pagandrang), pemangku adat dan pengiring wanita (pabaju bodo) serta masyarakat umum yang mengenakan busana tradisional, warna hitam, merah, kuning, dan hijau.

Arak-arakan bergerak dari kantor bupati Gowa ke tempat upacara di lapangan Bungaya, di depan balla lompos (istana) raja Gowa di Sungguminasa yang kini berfungsi sebagai museum.

Pesta budaya itu dimaksudkan untuk memperingati hari jadi ke-671 Gowa, 17 Nopember 1991, dan ini merupakan perayaan yang pertama.

Berdasarkan lontara Makassar dan literatur lainnya yang berhubungan dengan sejarah Gowa, sama sekali tidak ada petunjuk tentang hari, tanggal, bulan berdirinya "daerah" itu.

Akhirnya atas prakarsa Bupati A. Azis Umar, diselenggarakanlah seminar untuk menentukan hari jadi daerah, yang dulu dikenal juga sebagai kerajaan maritim yang besar.

Seminar diikuti para budayawan, cendekiawan, tokoh adat, pemuka masyarakat dan pakar sejarah di Sulawesi Selatan. Pembicara antara lain Prof. Dr. H. A. Mattulada, Dr. P. Parawansa, Dr. Abu Hamid, Dr. Muchlis, Drs. H. H. D. Mangemba dan Dr. Darmawan Mas'ud Rachman MSc. 

Hasil seminar itu oleh tim perumus dijadikan dasar untuk keperluan tersebut.

Disebutkan bahwa penentuan "tanggal 17", dengan pertimbangan bahwa itu merupakan tanggal diundangkannya dalam lembaran negara, Undang-Undang Darurat No. 5/1957 tentang Pembebasan Makassar dan Pembentukan Daerah Gowa, serta tanggal proklamasi Kemerdekaan RI.

Awalnya

Bulan November merupakan bulan sembahyang Jumat pertama di Kerajaan Gowa 1607 M, dan tonggak awal tersebarnya agama Islam di daerah itu, demikian panitia hari jadi Gowa.

November juga merupakan bulan penobatan Tumapakrisi Kallona menjadi raja Gowa kesembilan (1510-1546). Pada masa raja ini, Gowa menikmati masa kejayaannya dan mendapatkan pengakuan internasional. Di bulan yang sama I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin raja Gowa ke-16 (1653-1669) melalui SK Presiden tahun 1973 dianugerahi gelar pahlawan nasional.

Sultan yang mendapat gelar "het haantje van het oosten" atau "ayam jantan dari timur", pernah memproklamirkan Kerajaan Gowa sebagai kerajaan maritim, yang memiliki armada perang tangguh.

Kerajaan memiliki 10 benteng pertahanan yakni benteng Tallo, Ujung Tanah, Ujung Pandang, Mariso, Panakkukang, Barasi, Galesong, Barombong, Anak Gowa dan benteng Kale Gowa.

Gowa, memanfaatkan perairan sebagai lintas perdagangan yang menembus samudera hingga ke Madagaskar.

Tahun 1320 merupakan awal berdirinya kerajaan itu, yang ditandai dengan diterimanya "Tumanurung", seorang wanita sebagai raja pertama. Tetapi seterusnya seluruh raja Gowa hingga raja ke-38 Andi Ijo Karaeng Lalolang (1946-1957), laki-laki.

Jadi, penentuan hari jadi Gowa didasarkan pada perpaduan peristiwa besar dan tonggak sejarah Gowa sebagai kerajaan sampai menjadi daerah tingkat dua di zaman kemerdekaan ini.

Hari jadi akhirnya ditetapkan dengan peraturan daerah Gowa No. 4/1990 dan disahkan gubernur Sulsel melalui SK No. 132/II/1991 dan diundangkan dalam lembaran daerah Kabupaten Gowa No. 3/1991.

Sejarah

Kerajaan Gowa didirikan berdasarkan persetujuan sembilan kelompok kaum, kerajaan-kerajaan kecil yang disebut kasuwiang-kasuwiang, yakni kasuwiang Tombolok, Lakiung, Samata, Parang-parang, Data, Agangjekne, Bissei, Kalling, dan Sero. Di bawah pengawasan hakim pemisah yang disebut "paccalaya", kesembilan kasuwiang itu sepakat mengangkat raja pertama Gowa bernama Tumanurung dengan gelar "sombaya ri Gowa".

Pada masa kerajaan itu tercatat sejumlah peristiwa penting yang amat dibanggakan masyarakat Gowa dan Sulsel umumnya, karena telah menampilkan citra daerah itu ke tingkat nasional. Misalnya zaman raja ke-14 Tumapakrisi Kallona yang berhasil memperluas kerajaan melalui perang, membuat benteng Somba Opu yang kini telah dipugar.

Raja itu mempunyai "tumailang" atau menteri urusan istana/dalam negeri "daeng pamatte" yang merangkap sebagai syahbandar dan berhasil menciptakan aksara Makassar (lontara) yang terdiri atas 18 huruf.

Pada 20 September 1605 I Mangngerangi Daeng Ma'rabbia menerima Islam sebagai agama kerajaan sehingga ia digelari Sultan Alauddin.

Raja Tallo I Malingkaang Daeng Nyonri, adik raja memeluk Islam dengan gelar Sultan Awwalul Islam. Ia mengumumkan shalat Jum'at pertama 9 Nopember 1607, dan berdasarkan lontara rakyat Gowa/Tallo secara resmi dinyatakan masuk Islam. Enam tahun kemudian seluruh kerajaan di Sulsel berhasil diislamkan oleh Datuk Ribandang, Datong Patimang, dan Datuk Ritiro. 

Menyusul Sultan Hasanuddin, penganut perdagangan bebas maritim dan menjadi batu sandungan paling berat bagi VOC, karena beberapa kali pasukan Belanda terpukul dalam peperangan.

Tahun 1652 ia mengirim pasukan berkekuatan 32 perahu membantu rakyat Maluku melawan Kompeni. Belanda minta berdamai tetapi ditolak. Pasukannya kembali memperlihatkan keperkasaannya dengan memukul habis kekuatan Belanda di Buton, berkekuatan 31 kapal perang dengan 2.600 awak. Namun pada 18 Nopember 1667 terpaksa ditandatangani perjanjian Bungaya (Cappaya ri Bungaya). Perjanjian 29 pasal ini amat merugikan Kerajaan Gowa sehingga perang berkobar lagi dan pada 24 Juni 1969 benteng Somba Opu jatuh ke tangan Belanda.

Sultan Hasanuddin tetap tidak sudi bekerja sama dengan Belanda dan ia meletakkan jabatannya sebagai raja setelah 16 tahun berperang.

Pada hari jadi ke-671, Bupati Gowa Azis Umar meresmikan patung Sultan Hasanuddin sedang berkuda di Sungguminasa Gowa untuk memperingati jasa dan kebesaran kerajaan tersebut.

Gubernur Sulsel Prof. H. A. Amiruddin dalam sambutan tertulisnya menyatakan, sejarah tak akan pernah berulang dalam bentuk yang sama, karenanya masyarakat Gowa hendaknya menjadikan kekayaan masa lalu itu sebagai pendorong semangat dalam pembangunan masa kini dan mendatang. (Fredrich C Kum/Anspek).



Sumber: Tidak diketahui, 13 Januari 1992



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

RUNTUHNYA HINDIA BELANDA: Menyerahnya Gubernur Jendral AWL TJARDA dan Letnan Jendral TER POORTEN kepada Letnan Jendral IMMAMURA Panglima Perang Jepang 8 Maret 1942

Generasi kita sekarang, mungkin tidak banyak yang mengetahui terjadinya peristiwa penting di tanah air kita 35 tahun yang lalu, yaitu menyerahnya Gubernur Jenderal dan Panglima Perang Hindia Belanda "Tanpa Syarat" kepada Panglima Perang Jepang yang terjadi di Kalijati Bandung pada tanggal 8 Maret 1942. Peristiwa yang mengandung sejarah di Tanah Air kita ini telah ditulis oleh Tuan S. Miyosi seperti di bawah ini: Pada tanggal 8 Maret 1942 ketika fajar kurang lebih jam 07.00 pagi, kami sedang minum kopi sambil menggosok mata, karena kami baru saja memasuki kota Jakarta, dan malamnya banyak diadakan permusyawaratan. Pada waktu itu datanglah seorang utusan dari Markas Besar Balatentara Jepang untuk menyampaikan berita supaya kami secepat mungkin datang, walaupun tidak berpakaian lengkap sekalipun. Kami bertanya kepada utusan itu, apa sebabnya maka kami disuruh tergesa-gesa? Rupa-rupanya balatentara Hindia Belanda memberi tanda-tanda bahwa peperangan hendak dihentikan! Akan ...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Pemuda Penjuru Bangsa

"Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia". (Ir Soekarno) JAKARTA, KOMPAS -- Pernyataan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, itu menggambarkan betapa pemuda merupakan potensi yang luar biasa, tidak hanya untuk pembangunan bangsa, tetapi juga untuk mengguncangkan dunia. Dalam perkembangan bangsa ini, kaum muda banyak mewarnai sejarah Indonesia. Tidak hanya dimulai dengan digelarnya Kongres Pemuda II tahun 1928, yang menegaskan "bertanah air dan berbangsa yang satu, bangsa Indonesia serta berbahasa persatuan, bahasa Indonesia", tetapi peristiwa pembentukan negeri ini, misalnya lahirnya Boedi Oetomo tahun 1908, pun digagas pemuda. Bahkan, organisasi kebangsaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, tidak bisa dipisahkan dari peranan kaum muda. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang diakui sebagai pemuda adalah warga negara yang m...