Langsung ke konten utama

Mengenang 50 Tahun yang Lalu Pecahnya Perang Pasifik

Menjelang fajar hari Minggu tanggal 7 Desember 1941 (waktu Indonesia 8 Desember), deru mesin pesawat terbang memenuhi geladak enam kapal induk Jepang yang berada sekitar 230 mil utara Oahu, Hawaii, di tengah Lautan Pasifik. Pesawat-pesawat itu penuh bermuatan bom, terpedo, amunisi. Kapten Mitsuo Fuchida, komandan Satuan Penyerang Udara Pearl Harbor termasuk salah satu pilot yang memanaskan mesin pesawatnya di subuh buta itu. Mesin dan baling-baling menderu, sementara lampu-lampu di sayap bergetar.

Akhirnya dari alat pendengar di telinga, Fuchida menerima pesan terakhir yang ditunggu-tunggu dari Laksamana Isoroku Yamamoto. "Bangkit atau runtuhnya Kekaisarannya kita sekarang tergantung dari pertempuran ini!" Pesan ini ironis, sebab keluar dari Yamamoto yang sebenarnya menentang perang melawan Amerika Serikat. Yamamoto mengenal benar kekuatan Amerika, karena dia pernah belajar di Harvard dan menjadi atase AL Washington DC. "Jepang tidak akan pernah dapat mengalahkan Amerika Serikat," ucapnya pada serombongan anak sekolah pada tahun 1940.

Tapi sekarang, dia pulalah yang harus merencanakan serangan mendadak terhadap Pearl Harbor, karena keputusan Tokyo untuk berperang sudah jelas. Dan bagi Yamamoto, melumpuhkan Armada AS di Pearl Harbor pada awal peperangan itu adalah suatu keharusan. Sementara itu, lampu-lampu hijau mulai menyala di geladak kapal induk Akagi, dan Kapten Fuchida pun memerintahkan awaknya untuk menyingkirkan penahan roda pesawatnya. Pesawatnya langsung melaju ke depan dan membumbung ke langit yang masih gelap diikuti pesawat-pesawat lainnya. Beberapa waktu kemudian, matahari merah pun muncul di ufuk timur.

Sebuah pesawat amfibi dari kapal penjelajah Chicuma menyelinap diam-diam ke sebelah utara Pearl Harbor. Lalu dikirimnya berita radio ke satuan penyerang Kido Butai. Di pelabuhan ada 9 kapal perang, 1 kapal penjelajah berat, dan 6 kapal penjelajah ringan. Secara rinci dilaporkannya juga kondisi angin dan awan di atas sasaran.

Pada saat itu juga, pesawat dari kapal Tone memberi isyarat: Tidak ada kapal perang Amerika di pelabuhan Lahaina.

Laporan-laporan itu disampaikan ke Kapten Fuchida. Pesawat pembomnya berada tidak sampai 25 mil di sebelah utara P. Oahu. Lewat teropongnya, Fuchida mencoba mengintip pulau itu dari celah-celah awan. Stasiun radio Hawaii, tanpa sadar, memberi informasi cuaca yang tepat sekali kepada lawan.

"Tiba-tiba awan tersibak dan muncullah sebuah garis pantai yang panjang," kenang Fuchida kemudian. "Kami berada di atas Kahuhu Point, ujung utara pulau itu. Sudah saatnya untuk menyebar."

Fuchida memerintah operator radionya memberi isyarat "To, To, To!" (singkatan dari totsugeki yang artinya 'serang'). Pesawatnya seperti berayun sekeliling Barbers Point. Beberapa detik kemudian, pukul 07.53 waktu setempat, bergema sampai 5.000 mil jauhnya: "To Ra, To Ra, To Ra!" Kata sandi itu mengisyaratkan bahwa Fuchida dan kawan-kawan sudah berhasil menyergap lawannya dengan tiba-tiba, tanpa ketahuan.

Letnan Commander (Laksamana) Isoroku Yamamoto, bekas atase AL Jepang di Washington yang kini menjadi komandan Armada Gabungan, menerima berita itu ketika sedang bermain shogi (catur Jepang) dengan kepala stafnya. Yamamoto lah yang bersikeras menyerang Pearl Harbor. Hanya dengan serangan mendadak AS tidak berdaya menggerecoki mereka merebut dan memeras sumber-sumber alam Asia Tenggara (termasuk Indonesia).

Laksamana itu tenang saja menjalankan biji-biji shogi di papan yang berpetak-petak. Lain dengan pilot-pilotnya. Dengan penuh semangat mereka membom kapal-kapal dan pangkalan-pangkalan AU di antara ladang-ladang tebu serta nanas di Hawaii. Ladang-ladang itu juga berpetak-petak seperti papan shogi, cuma warnanya hijau zamrud.

Menggebrak meja senator


Hari itu Minggu, 7 Desember 1941, pukul 13.50 waktu Washington atau 8.20 waktu Hawaii, berita tentang serangan udara mendadak terhadap Pearl Harbor tiba ke Kepala Staf Knox. "Mustahil!" seru Knox. "Mestinya Filipina yang mereka serang."


Diteleponnya Presiden Franklin Delano Roosevelt yang sedang makan di ruang kerjanya. Roosevelt pun mulanya tidak percaya. Pukul 14.50 Roosevelt memanggil Menteri Luar Negeri Cordell Hull yang akan menerima dua orang diplomat Jepang: Saburo Kurusu dan Kichisaburo Nomura. Roosevelt berpesan agar kedua diplomat itu diterima saja dengan formal dan dingin, lalu dipersilahkan pergi. Namun Hull tidak tahan. Begitu berhadapan dengan kedua orang itu, ia memaki-maki mereka dan pemerintah Jepang yang dikatakannya licik.

Roosevelt pun menelepon Menteri Peperangan Henry L. Stimson yang sedang makan siang pula. "Anda sudah mendengar?" tanya Roosevelt. "Perihal Jepang menuju Teluk Siam?" jawab Stimson. "Bukan! Mereka menyerang Hawaii diumumkan lewat radio, disusul berita pemboman atas Manila di Filipina.

Pukul 20.20 waktu setempat di Washington, anggota-anggota kabinet mulai berdatangan ke Gedung Putih. Mereka duduk membentuk setengah lingkaran di Ruang Oval. Menteri AL Knox dengan wajah pucat berbisik kepada Menteri Peperangan Stimson. Ia memberi tahu bahwa mereka sudah kehilangan tujuh kapal perang.

Akibat serangan udara yang mendadak itu, akhirnya 18 kapal tenggelam atau rusak berat, 188 pesawat rusak (96 milik AD, 92 milik AL). Dari 2.304 korban yang tewas, 2.008 berasal dari AL, 109 Marinir, 218 AD dan 68 sipil. Hampir setengah dari awak Arizona tewas.

Presiden Roosevelt betul-betul terguncang. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan dan menceritakan semua yang diketahuinya. Kemudian muncul rombongan tokoh-tokoh kongres. Presiden mengulangi ceritanya. Setelah itu suasana hening.

Tiba-tiba Senator Tom Conally dengan wajah merah melompat dari kursinya. Ia menggebrak meja dan berseru, "How did they catch us with our pants down, Mr. President?" (Bagaimana mungkin mereka menangkap kita pada saat celana kita sedang merosot, Pak Presiden? = Bagaimana mungkin kita bisa selengah itu, Pak Presiden?).

Presiden menunduk lalu bergumam, "Saya sungguh tidak tahu, Tom. Saya sungguh tidak tahu."

Semua orang di Ruang Oval, termasuk Roosevelt, tahu bahwa mereka harus segera menemukan siapa yang bersalah. Washington, Hawaii, atau keduanya? Bulan Januari 1942, Komandan Armada Pasifik, Laksamana Husband E. Kimmel dan komandan kekuatan darat serta laut milik AD di Hawaii, Letnan Jenderal Walter C. Short, mengundurkan diri.

Walaupun perkara ini sudah dibawa ke pengadilan, walaupun sudah diadakan pelbagai penyelidikan, sampai sekarang orang belum sepakat, siapa yang bersalah. Mengapa Amerika bisa mengalami hal itu? Marilah kita menengok ke belakang.

Tidak digubris


Sabtu pagi tanggal 6 Desember 1941, Ny. Dorothy Edgers, seorang penerjemah Seksi Sekuriti Intel pada Pusat Komunikasi AL di Washington menghubungi pimpinannya karena menemukan berita mencurigakan. Berita itu dikirim oleh Konsul Jenderal Jepang di Honolulu, Nagao Kita, ke Tokyo tiga hari sebelumnya. Konjen memberi tahu gerak-gerik dan posisi tepat kapal-kapal perang dan kapal induk AS di Pearl Harbor.


Karena pemimpin penerjemah sudah buru-buru ingin berakhir minggu, ia acuh tidak acuh saja. Ny. Edgers penasaran. Ia menunggu kedatangan Kepala Seksi Penerjemahan, Letkol. Laut Alwin Kramer. Sebenarnya Kramer orang yang teliti, tetapi ketika itu ada yang lebih menarik perhatiannya daripada berita yang ditulis dalam kode konsuler itu. Perhatian Kramer sedang dipusatkan pada penerjemahan sebuah pesan panjang dari Tokyo yang ditulis dalam sistem sandi yang paling rahasia, yaitu yang dipakai oleh Tokyo untuk bertukar informasi dengan kedubes-kedubesnya. Dari pesan panjang itu, Presiden Roosevelt menarik kesimpulan: Jepang ingin berperang dengan Amerika.

Atasan Ny. Edgers malah menyuruhnya pulang saja. Padahal dalam berita Konsul Jenderal Kita itu disebutkan bahwa kapal-kapal Jepang yang bersembunyi di lepas pantai, akan mendapat isyarat dari sebuah rumah tertentu di P. Oahu.

Washington tidak memberi tahu penemuan Ny. Edgers itu kepada Komandan Armada Pasifik yang berpangkalan di Pearl Harbor, Laksamana Husband E. Kimmel. Kimmel bahkan tidak diberi fasilitas untuk 'membaca' pertukaran pesan antara Washington dengan Tokyo yang makin lama makin panas.

Banyak petunjuk

Pesan yang diterjemahkan Ny. Edgers itu tadinya ditangkap oleh stasiun monitor khusus milik AD di Fort Shafter, Hawaii. Stasiun yang disebut MS-5 itu cuma bisa menangkap saja, tetapi tidak memiliki fasilitas pembacaan berita sandi. Semua pesan yang tertangkap, harus dikirimkan ke Washington dalam bentuk orisinilnya. Keberadaan stasiun itu pun tidak diberitahukan kepada Letnan Jenderal Walter Short, Komandan AD di Hawaii.

Dua bulan sebelumnya ada indikasi lain yang sangat mencurigakan S. I. S. (Signal Intelligence Service) milik AD, menangkap berita yang dikirim dari Tokyo untuk Konjen Nagao Kita. Perairan Pearl Harbor dibagi menjadi 5 area. Tokyo meminta Kita menunjukkan lokasi tepat kapal-kapal perang dan kapal induk yang berada di bawah Kimmel. Saat itu perwira-perwira intel AD maupun AL di Washington sudah menduga bahwa keterangan ini diperlukan untuk melakukan pemboman dari udara. Sebagian dari mereka mendesak agar Kimmel dan Short diberi tahu. Entah apa sebabnya, atasan-atasan mereka tidak setuju.

Tiga pesan lain menunjukkan minat Jepang yang luar biasa terhadap Pearl Harbor. Pesan yang satu menginstruksikan Letnan Muda Takeo Yoshikawa untuk melaporkan gerak-gerik kapal di Pearl Harbor, dua kali seminggu. Yoshikawa adalah mata-mata AL yang pura-pura ditugaskan sebagai salah seorang asisten Kita.

Pesan kedua memerintahkan Yoshikawa mengamati dengan luar biasa cermatnya pangkalan-pangkalan udara di P. Oahu. Pesan ketiga yang dikirimkan tanggal 8 November 1941, meminta diberi tahu titik-titik strategis sekitar Honolulu.

Tidak satu pun pesan itu disampaikan kepada Short maupun Kimmel. Sebenarnya masih ada 8 telegram lagi yang memberi petunjuk, tetapi belum sempat dipecahkan oleh pihak AS yang sibuk. Dua di antaranya dikirimkan oleh Yoshikawa tanggal 6 Desember. Ia memberi tahu kelemahan pertahanan udara dan laut di Pearl Harbor. Kedua kawat itu ditangkap MS-5 di Fort Shafter dan lewat pos udara yang tidak langsung, tiba di Washington sesudah nasi menjadi bubur. Padahal sudah dua kali anggota-anggota intel AL di Washington mendesak atasan mereka agar perwira-perwira intel di bawah Kimmel diberi fasilitas yang memungkinkan mereka membaca pesan-pesan konsuler yang ditangkap MS-5. Kedua-dua kali desakan itu ditolak, dengan alasan: bukan urusan Kimmel.

Salah tangkap

Apa yang diketahui oleh Kimmel dan Short pada tanggal 6 Desember 1941, sehari sebelum Pearl Harbor menjadi sasaran bom pesawat-pesawat Jepang?

Tanggal 27 November, Menlu Cordel Hull menolak syarat-syarat yang diajukan Jepang dalam mempertahankan perdamaian di kawasan Pasifik. Kepala Staf AD Jenderal George Marshall dan Kepala Staf AL, Laksamana Harold Strak mengirim pesan kepada para komandan mereka di Filipina, Terusan Panama, dan Hawaii. Semua diperintahkan agar bersiaga.

Jenderal Douglas MacArthur di Filipina dan Jenderal Walter Short di Hawaii menerima pesan yang sama. Perundingan dengan Jepang sudah berakhir. Kecil kemungkinan Jepang akan mengajak berunding lagi. Tindakan Jepang tidak bisa diramalkan. Serangan bisa terjadi setiap saat. Kalau perang tidak bisa dihindarkan, AS berharap Jepang yang menyerang terlebih dulu.

Pesan Jenderal Short ditambah perintah agar jangan berbuat sesuatu yang bisa menggelisahkan penduduk sipil. Short kurang menangkap inti pesan. Ia menafsirkannya lebih sebagai peringatan agar berhati-hati terhadap sabotase. Jawaban Short rupanya kurang disimak, sehingga tidak ada yang memberi tahu bahwa ia tidak menangkap inti pesan.

Kimmel dan Komandan Armada Asia di Filipina, Laksamana Thomas C. Hart, menerima pesan yang serupa. Mereka diminta agar menganggap pesan itu sebagai peringatan akan terjadinya perang. Perundingan perdamaian di Pasifik dengan Jepang tampaknya menghadapi jalan buntu. Agresi Jepang bisa terjadi beberapa hari lagi. Jumlah, peralatan tentara Jepang dan organisasi satuan tugas AL menunjukkan mereka akan melakukan ekspedisi amfibi, entah ke Filipina, Thailand, Semenanjung Malaya, atau mungkin Kalimantan. Pihak AS diminta menyiapkan pertahanan yang diperlukan dan siap melaksanakan tugas yang sudah digariskan dalam rencana perang.

Tidak ada peringatan lain yang diterima oleh Kimmel dan Short, sehingga mereka menduga perundingan dengan Jepang berjalan lagi.

Sudah berbulan-bulan keduanya insyaf bahwa perang dengan Jepang bukan cuma mungkin terjadi, tetapi pasti akan terjadi. Karena itulah keduanya menyiapkan tentara mereka sebaik-baiknya untuk berperang. Short seperti halnya dengan Jenderal George Marshall yang memimpin AD Amerika, terkenal sangat efisien. Kemampuannya berdiplomasi pun diakui orang. Kimmel, salah seorang dari sedikit saja laksamana berbintang 4 di AS, terkenal cemerlang, bersemangat dan pekerja keras. Anak buahnya tahu Kimmel bekerja sama kerasnya dengan mereka. Supaya bisa mencurahkan perhatian pada tentaranya, ia meninggalkan istrinya di daratan Amerika. Kedua orang pimpinan itu berhasil membuat tentara mereka bersemangat tinggi untuk berperang.

Kapal-kapal induk siluman

Tanggung jawab Short adalah mempertahankan P. Oahu dari serangan udara dan darat, serta melakukan pengintaian jarak dekat. Pengintaian jarak jauh adalah tugas Kimmel. Sudah beberapa bulan keduanya mengeluh kekurangan tenaga, pesawat dan radar. Namun perhatian Washington sedang dicurahkan ke Samudra Atlantik.

Peralatan perang Amerika diangkut ke Inggris, untuk membantu negara itu yang sedang kembang-kempis menghadapi Hitler. Lebih parah lagi: sebagian besar pesawat pembom B-29 Flying Fortress yang mestinya membantu Kimmel melakukan pengintaian jarak jauh, dikirimkan ke Filipina.

Kimmel dan Short tahu, kapal-kapal induk utama Jepang telah meninggalkan perairan negara itu, lalu menghilang mulai akhir November. Diperkirakan mereka pergi ke selatan, menuju Filipina, Thailand, atau Kra di Semenanjung Malaya. Tanggal 2 Desember, Kimmel diberi tahu perwira intelnya bahwa kapal-kapal induk itu tetap tidak diketahui di mana rimbanya.

"Berarti mereka bisa tiba-tiba muncul di Diamond Head tanpa kita tahu, dong!" kata Kimmel. Diamond Head adalah tanah yang menjorok ke laut di selatan P. Oahu.

Walaupun demikian, Kimmel tidak kelihatan risau. Tak seorang pun di Hawaii menganggap serius kemungkinan serangan terhadap mereka.

Ancaman dari balik kabut

Padahal pada saat itu enam kapal induk Jepang dengan kapal-kapal perang yang bisa bergerak cepat, dua kapal penjelajah berat, sebuah kapal penjelajah ringan, dan delapan kapal perusak beriring-iringan menuju Hawaii, dibuntuti tiga kapal tanki dan kapal perbekalan. Kekuatan yang dahsyat itu, Kido Butai, direncanakan akan menghantam pangkalan-pangkalan udara milik AD dan AL Amerika, juga menyapu habis pelabuhan Pearl Harbor. Mereka memilih waktu serangan pada saat fajar menyingsing, tanggal 8 Desember waktu Tokyo.

Tanggal 3 Desember, Kido Butai menerima pesan dalam sandi baru: "Panjat Gunung Niikita 1208". Artinya: "Serangan menurut rencana tanggal 8 Desember." Tanggal 8 Desember di Tokyo adalah tanggal 7 Desember di Hawaii.

Kido Butai berlayar ke timur dengan kecepatan cuma 14 knot, untuk menghemat bahan bakar. Mereka melaju dalam formasi cincin, didahului oleh tiga kapal selam yang mengawasi kalau-kalau ada kapal dagang yang netral. Seandainya bertemu, kapal itu mesti mereka kuasai. Namun bagaimana kalau mereka dipergoki kapal milik Armada Pasifik? Masalahnya tidak akan sederhana. Karena itulah mereka sangat mengandalkan kerahasiaan. Laksamana Chuichi Nagumo memerintahkan semua nakhoda kapalnya berlayar tanpa lampu.

Kemudian Nagumo memerintahkan agar semua awak pesawat diberi tahu bahwa mereka akan menyerbu Pearl Harbor. Semangat awak segera bangkit. Menjelang siang keesokan harinya mereka tiba di 42 derajat lintang utara dan 170 derajat bujur timur. Semua kapal mengisi bahan bakar.

Tanggal 6 Desember, Kido Butai belum juga kepergok. Mereka menerjang gelombang yang ganas dengan kecepatan 20 knot. Beberapa petugas pengawas yang kelelahan tersapu gelombang dan terdampar ke dalam samudra. Kabut begitu tebalnya, sampai melihat kapal di depan pun sulit.

Seribu jahitan

Malam itu 13 dari 14 bagian pesan dari Tokyo untuk Dubes Nomura tiba ke tangan Presiden Roosevelt. Dalam pesan panjang itu Tokyo mengisyaratkan agar Dubes Nomura bersiap-siap menerima jawaban Jepang terhadap Amerika, yang menolak syarat-syarat yang ditawarkan Jepang. Kepala Intelijen AS, Laksamana Theodore Wilkinson yang kebetulan sedang makan malam bersama Kepala Intelijen AD, Jenderal Sherman Miles, mendapat juga pesan itu. Namun Jenderal Marshall dan Stark tidak bisa ditemukan.

Di Hawaii, Short berada di Kelab Perwira, sedangkan Kimmel berniat naik ke ranjang. Mereka berdua berjanji akan main golf esok pagi.

Kido Butai ngebut 20 knot menuju titik tempat mereka akan meluncurkan pesawat-pesawat, yaitu 200 mil di utara Pearl Harbor. Tanggal 7 Desember itu pukul 03.30 waktu setempat para awak pesawat sudah dibangunkan dari tempat tidur susun mereka. Dengan mengenakan cawat bersih dan ikat pinggang "seribu jahitan" untuk mengundang nasib baik, mereka sarapan nasi merah dan ikan merah.

Di Washington saat itu pukul 09.00 pagi. Bagian ke-14 pesan Tokyo sudah tiga dan dialihkan dari bahasa sandi. Isinya menyatakan: sudah tidak mungkin lagi dicapai persetujuan lewat perundingan.

Seluruh pesan itu disampaikan kepada Laksamana Wilkinson dan Stark. Ketika keduanya sedang merundingkan apa yang harus dilakukan, tiba lagi pesan dari Tokyo yang menginstruksikan Nomura agar menyerahkan pesan 14 pokok itu kepada Menteri Luar Negeri Cordell Hull pada tanggal 7 Desember 1941, pukul 13.00 waktu setempat.

"Kenapa anda tidak menelepon Kimmel?" tanya Wilkinson. Stark mengangkat telepon, tetapi baru pada pukul 10.45 waktu Washington. Kimmel belum bangun sebab di Hawaii masih pukul 05.15. Jadi Stark menelepon Presiden, tetapi telepon Presiden sedang dipakai.

Sudah terlambat

Kolonel Rufus Bratton, seorang perwira intel AD, dengan susah payah mencari Jenderal Marshall yang menghilang entah ke mana sejak Sabtu malam. Perintah Tokyo kepada Nomura agar menyerahkan pesan pukul 13.00 menimbulkan kecurigaan. Jangan-jangan Jepang akan menyerang salah sebuah instalasi Amerika. Bratton sampai berlari-lari ke kantor Jenderal Milles, tetapi sang jenderal tidak ngantor pada hari Minggu. Dicobanya mencari Marshall dari markas dekat Fort Myer. Petugas juga memberi tahu bahwa pak jenderal baru saja berangkat menunggang kuda. Ketika akhirnya Marshall bisa dihubungi, hari sudah pukul 11.25 waktu Washington. Kido Butai sudah berada di tempat meluncurkan pesawat-pesawatnya. 

Begitu fajar mulai menyingsing di timur, 43 pesawat pemburu mulai meninggalkan keenam kapal induk. Mereka disusul 49 pesawat pembom datar. Kemudian berangkat pula 51 pesawat pembom tukik dan 40 pesawat pelempar torpedo.

Jenderal Marshall membaca pesan 14 pokok yang panjang itu, dan juga tambahan tentang saat penyerahannya. Cepat-cepat ia mengirim pesan kepada para komandannya di Pasifik, memberi tahu bahwa Jepang akan menyampaikan ultimatum pukul 13.00 Eastern Standard Time (waktu di pantai timur AS). Ia meminta mereka siap dan siaga. Setelah itu diteleponnya Stark, yang menawarkan fasilitas transmisi AL untuk mengirim peringatan tadi. Permintaan itu ditolak, padahal dengan memanfaatkannya, pesan bisa lebih cepat sampai.

Menurunkan pangkat sendiri

Pukul 13.23 Washington atau pukul 7.53 di Hawaii, pesawat-pesawat Zero milik Jepang mendekati Pearl Harbor. Pada saat itu Laksamana Chuichi Nagumo menerima pesan radio dari komandan penerbang Fuchida: "TO RA, TO RA, TO RA!" Dua menit kemudian, pesawat torpedo mulai menukik.

Beberapa saat sebelumnya, ketika dikabari bahwa kapal perusak Ward menenggelamkan sebuah kapal selam tidak dikenal, Laksamana Kimmel segera mengenakan seragam putihnya. Belum lagi ia selesai berpakaian, didengarnya ledakan-ledakan di kejauhan. Ia berlari keluar dan melihat pesawat-pesawat terbang berseliweran di angkasa. Di sayap mesin-mesin terbang itu dilihatnya gambar matahari terbit. Mereka berputar-putar lalu menukik ke arah kapal-kapal di pelabuhan.

"Arizona hancur!" seru tetangga di sebelahnya rumahnya. Laksamana itu tidak menjawab. Wajahnya pucat, seputih seragamnya.

Kimmel melompat ke sebuah kendaraan yang lewat di depan rumahnya. Beberapa saat kemudian ia tiba di pangkalan kapal selam, yang merupakan markas sementaranya di pantai. Dari jendela tingkat atas ia menyaksikan serangan terhadap kapal-kapalnya. Kimmel tidak bisa lain daripada kagum. Betapa matangnya rencana yang dibuat Jepang untuk menyerang ini!

Tiba-tiba sebuah peluru kaliber 50 yang sudah terpakai, mental ke dada kiri seragamnya. Benda itu menghantam tempat kacamata sang laksamana lalu jatuh ke lantai. Kimmel memungutnya, dan memasukkannya ke saku.

"Betapa saya mengharapkan peluru ini membunuh saya," katanya. Ia tahu kariernya sudah habis. Mestinya ia sanggup mencegah kejadian yang berlangsung di depan matanya. Dengan tetap tenang, Kimmel yang tegar itu masuk ke ruang dalam. Ketika ia muncul kembali beberapa menit kemudian, sekretarisnya melihat bintang di pundak sang laksamana tinggal dua. Kimmel menurunkan pangkatnya sendiri dari laksamana penuh (pangkat sementaranya), ke laksamana muda (pangkat tetapnya). "Oh, no Admiral," (Jangan, Laksamana), seru seorang ajudannya yang masih muda.

"Hell, yes, son." (Sudah semestinya, Nak.) Keesokan siangnya Presiden Franklin D. Roosevelt mendapat dukungan penuh dari Kongres untuk menyatakan perang terhadap Jepang. (Djamal Marsudi)



Sumber: KORPRI 183, Januari 1992



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan