Langsung ke konten utama

Banyak Praktek Kejawen yang Sangat Islami

JAKARTA (Suara Karya): Islam dalam refleksi tradisi kejawen dijadikan topik pembahasan dalam silaturahmi ilmiah yang diselenggarakan Serambi Paramadina di Hotel Kartika Chandra, Senin malam (19/8). Dr Bambang Pranowo dari Badan Litbang Departemen Agama dan Dr Nurcholish Madjid tampil sebagai pembicara utama untuk membahas topik tersebut.

Diskusi yang dipandu oleh Dr Komaruddin Hidayat, dosen Pascasarjana IAIN Jakarta itu menyoroti penghayatan keislaman orang Jawa. Dr. Bambang Pranowo, doktor antropologi sosial lulusan Monash University, Australia, menilai bahwa orang Jawa yang mengaku atau disebut abangan pada dasarnya tetaplah menganggap dirinya sebagai orang Islam yang baik, meskipun ia sehari-hari tidak shalat.

Dari hasil observasi lapangan di desa Tegalroso (Tegalrejo-Jatim) Bambang Pranowo banyak melihat praktek Kejawen yang Islami. Seorang dukun, misalnya, akan selalu menghubungkan pengetahuan mistisnya dengan sumber-sumber Islam. Tembang-tembang, wayang, bunyi nasihat orang tua atau pemuka masyarakat banyak mengandung ajaran yang sangat Islami.

Seorang disebut kejawen atau abangan biasanya dikategorikan sebagai orang yang "belum" menjalankan dan bukan "tidak" menjalani ibadah. Bahkan orang Jawa yang "dereng nglampahi" (belum menjalankan) itu pada umumnya juga mengakui kebaikan praktek ibadah seperti sembahyang 5 waktu. Tidak sedikit dari mereka malah tidak puas jika keislaman itu hanya ditekankan pada aspek ritual yang cenderung kepada rutinitas tanpa makna.

Trikotomi Abangan

Dr Nurcholish Madjid, staf peneliti LIPI yang juga dosen Pascasarjana IAIN Jakarta, banyak mendukung pendapat Dr Bambang Pranowo. Menurut Cak Nur, Clifford Geertz yang mempopulerkan trikotomi abangan, santri, dan priyayi pada bukunya The Religion of Java (1960), sebenarnya pada waktu itu tidak tahu tentang Islam. Bantahan terhadap Geerts itu telah banyak muncul baik dari pakar Barat maupun Timur.

Kenyataan bahwa masih banyak orang Jawa disebut abangan atau kejawen, dinilai Nurcholish sebagai suatu hal yang wajar dilihat dari kehadiran agama Islam di bumi Nusantara ini. "Islam ke Indonesia relatif masih baru yaitu sejak abad 15-16 walau di Aceh sudah pada abad pertama hijriyah. Dibanding India yang Islam masuk abad ke-7, maka kita masih dalam proses. Islamisasi kita belum selesai," ucap Cak Nur.

Dilihat dari konteks akulturasi dan sinkretisasi, keislaman orang Jawa bukanlah hal yang unik. Menurut Nurcholish di Iran atau di India pun sangat menonjol ajaran Islam yang diwarnai budaya setempat. Sultan Agung, raja Mataram (1613-1645) disebut Nurcholish sebagai Bapak Sinkretisme, peleburan Jawa dalam Islam atau peleburan Islam dalam Jawa.

Peleburan tersebut bagi Nurcholish bukan suatu hal yang masalah jika Islam dilihat secara universal. "Islam bisa ditinjau dari mana saja. Sebenarnya Islam itu mementingkan isi, bukan medium atau alat. Jika ada yang meributkan keragaman Islam, maka itu gejala tidak melihat substansi," ucapnya. (U-1).


Sumber: Suara Karya, Tanpa tanggal

 


Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan