SEJARAH Islam di Indonesia terlalu kuat orientasinya pada Jawa dan Sumatra, sehingga sedikit saja yang kita ketahui tentang sejarah Islam di kawasan-kawasan lain Indonesia. Baik buku tebal tentang "Sejarah Ummat Islam" yang ditulis Dr. Hamka sampai kepada brosur ukuran sedang yang ditulis oleh Prof. T. H. Ismail Yakub berjudul "Sejarah Islam di Indonesia" terlalu singkat belaka membahas Islam di Kalimantan, terlebih-lebih lagi tentang Kesultanan Islam Kutai Kartanegara di Tenggarong Kalimantan Timur sama sekali tidak ditulis. Sudah barang tentu hal ini merupakan tanggng jawab kita bersama, terutama mereka yang berminat kepada ilmu sejarah untuk menggali sedalam-dalamnya sejarah Islam di seluruh kawasan tanah air.
Kalimantan merupakan pulau yang terbesar di Nusantara dalam sejarahnya mengenal beberapa kesultanan: Kesultanan Islam di Sambas (Kalbar), Kesultanan Banjar (Kalsel), Kesultanan Berunei yang kini dikenal sebagai Negara Brunai Darussalam, dan Kesultanan Islam Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur. Sebagaimana lazimnya kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara, kesultanan Kutai pun merupakan kerajaan maritim. Kesultanan yang berdiri pada sekitar abad ke-14 ini mempunyai istana besar yang dibangun di tepi sungai Mahakam. Pada masa kesultanan ke-19 di masa A. M. Parikesit, istana tersebut oleh Belanda pada tahun 1936 (lihat gambar).
Pengaruh kebudayaan Jawa (Majapahit) cukup terasa pada kesultanan Kutai, beberapa peninggalan masih tersimpan dengan baik di istana tersebut (yang kini telah menjadi museum daerah) semisal Gamelan Gajah Prawoto, Kalung Whisnu, patung Wijra Patmi. Adanya pengaruhan non Islam itu dapat difahami mengingat Kesultanan Islam Kutai Kartanegara merupakan kekuasaan baru yang sebelumnya menggulingkan kekuasaan Hindu Kutai Mulawarman. Museum (bekas istana) yang diberi nama Museum Negeri Kaltim Mulawarman itu ditata cukup baik, peninggalan-peninggalan purbakala itu nampaknya terawat, singgasana raja yang dibuat pada abad ke-19 masih baik, begitupun rehal (meja lipat untuk membaca Al-Qur'an) bentuknya amat unik, karena ukurannya sedikit agak tinggi (kurang lebih 0,5 m) dibandingkan dengan rata-rata rehal yang kita kenal. Bagi peminat sejarah kiranya penting untuk menyimak peninggalan-peninggalan tersebut sebagai bahan untuk melacak lebih jauh tentang tipologi kerajaan maritim di Kutai itu. Seperti kita ketahui masyarakat agraris suku Dayak hinggapun kini masih bertempat tinggal di pedalaman dengan keyakinan/kepercayaan purbawi yang masih dianutnya. Lantas seberapa intenskah pola hubungan antara Kesultanan Islam Kutai Kartanegara dengan masyarakat Dayak itu sepanjang sejarah ratusan tahun? Kiranya cukup menantang untuk dijelajahi. (RS).
Sumber: Panji Masyarakat No. 447, 31 Mei 1987
Komentar
Posting Komentar