Langsung ke konten utama

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali

PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan.

Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama juga telah terjadi. Dan dalam tahun 1935-1936 Takdir Alisjahbana dan para penentangnya--antara lain Sanusi Pane, Dr Soetomo, Dr Poerbatjaraka, Tjindarbumi, Ki Hadjar Dewantara serta lainnya--melanjutkan tradisi perdebatan ini.

Perdebatan Soetatmo-Tjipto ini kita pilih dalam diskusi ini adalah karena substansi perdebatan itu membuka peluang prospektif yang lebih luas untuk memahami dinamik psikososial pada waktu itu--yang menelurkan pemikiran nasionalisme tertentu--maupun untuk meraba pengaruh lebih lanjut dasar-dasar pemikiran Tjipto dan Soetatmo dalam konteks keindonesiaan dewasa ini. Dalam arti kata lain, apakah pemikiran Tjipto yang lebih menekankan nasionalisme Hindia, lebih berpengaruh atas situasi pemikiran politik dan kebangsaan dewasa ini, atau justru sebaliknya, yakni pemikiran Soetatmo, yang lebih menekankan nasionalisme kultural? Dan yang lebih penting lagi, andaikata terjadi konvergensi antara keduanya, apakah konvergensi itu bersifat murni atau dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lebih bersifat struktural.

Tidak ada salahnya juga kalau di awal tulisan ini, kita coba kemukakan beberapa hipotesa tentatif, sekadar menjaga konsistensi pembahasan dalam diskusi nasionalisme kultural dan Hindia ini. Bahwa munculnya pemikiran nasionalisme di kalangan elit masyarakat Indonesia, dalam dekade pertama dan ketiga abad ini, lebih dipengaruhi oleh proses reorganisasi struktur sosial masyarakat kolonial yang relatif belum mantap, terutama dalam struktur masyarakat pribumi; bahwa pembangunanisme (developmentalism) yang berkembang di masa Indonesia Orde Baru ini, merupakan kelanjutan konvergensi yang tidak terlalu sempurna, karena terdapatnya beberapa faktor struktural yang mempengaruhi perkembangan konvergensi itu.

Nasionalisme kultural dan nasionalisme Hindia

Debat Soetatmo-Tjipto, seperti disebut di atas sebenarnya muncul menyambut pembukaan sidang pertama Volksraad, yang menurut Takashi Shiraishi, menandai munculnya zaman baru, dalam mana relevansi politik dan budaya Jawa mulai dipertanyakan kembali. Perdebatan ini kemudian dilanjutkan dalam Kongres Pengembangan Kebudayaan Jawa yang dilaksanakan di Surakarta pada bulan Juli sehubungan dengan rapat tahunan Boedi Oetomo, Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB), serta persatuan bekas murid OSVIA. 

Sesungguhnya, perdebatan ini menunjukkan suatu gejala yang agak aneh di dalam masyarakat kolonial pada masa itu. Keanehan ini terletak pada suasana yang kontradiktif. Atau seperti disebut oleh Savitri Prastiti Scherer, kebangkitan nasionalisme itu justru terjadi ketika pemerintah Hindia Belanda telah menyatu menjadi suatu pemerintahan yang nyata, sementara pada saat yang sama, nasionalisme Indonesia sedang bangkit menentang pemerintahan itu.

Keanehan ini, akan semakin terhayati, apabila kita melihatnya dalam konteks yang lebih kultural. Budaya Jawa, suatu budaya yang relatif telah menemukan bentuknya yang tetap di masa prakolonial, begitu terguncang berhadapan dengan supremasi budaya dan kebudayaan Barat. Tetapi dalam keguncangan itu pula, budaya itu menggeliat, bangkit. Dan tokoh-tokoh nasionalis pada masa itu--kembali kita kutip Savitri--adalah tokoh-tokoh yang mewakili elit Jawa, yang pada waktu yang bersamaan juga bukanlah perseorangan-perseorangan yang khas dari masyarakat zamannya. Mereka adalah orang yang terasing dari tempatnya, dalam lingkungan masyarakat Jawa, tetapi juga mempunyai akar yang dalam, dalam kancah nilai tradisional dari lingkungan sosial dan kebudayaan mereka. Mereka tergolong pada masyarakat priyayi Jawa. Sekalipun demikian, mereka tidak benar-benar cocok diidentifikasikan ke dalam golongan itu.

Dalam suasana yang semacam inilah, Soetatmo dan Tjipto berusaha merumuskan kembali arah perjalanan nasionalisme. Tidak seperti Tjipto, Soetatmo melihat perkembangan baru ini dengan rasa curiga. Walaupun ia bersama-sama dengan Tjipto, Suwardi Surjaningrat, pada tahun 1912 ikut bergabung ke dalam Indische Partij, dan Komite Bumi Putera setahun kemudian (1913), namun lima tahun kemudian (1918) ia tidak melihat ada gunanya mendukung gagasan nasionalisme Hindia yang didengungkan Douwes Dekker dan Tjipto. Nasionalisme Hindia--daerah pemerintahan kolonial yang kemudian disebut Indonesia--dalam pandangannya, tidak mempunyai landasan kebudayaan, atau paling-paling merupakan produk pemerintah kolonial Belanda.

Karena itu, nasionalisme Hindia, tidak lebih dari reaksi terhadap penjajahan. Tidak demikian halnya dengan nasionalisme Jawa. Menurutnya, suatu bangsa seharusnya dapat dan dibangun atas landasan kebudayaan dan bahasa. Nasionalisme Jawa mempunyai landasan bahasa, kebudayaan serta sejarah yang sama dari suku Jawa. Tidak seperti nasionalisme lainnya, nasionalisme Jawa merupakan alat ekspresi diri bagi orang Jawa. Oleh karena itu, Soetatmo menyatakan bahwa hanya nasionalisme Jawa yang memiliki landasan kuat, tempat orang Jawa membangun masyarakat politiknya di masa depan.

Seperti telah kita sebutkan di atas, Tjipto keberatan dengan pemikiran Soetatmo yang lebih bersifat kultural, dan mengagungkan masa lalu Jawa. Ia bahkan menganjurkan agar orang Jawa belajar dari pengalaman-pengalaman sejarah orang Eropa, mengingat pembentukan bangsa di Hindia akan mengikuti arah itu. Dalam konteks itu ia menekankan bahwa biar bagaimanapun, orang Jawa telah berbaur dengan suku-suku lain di bawah pemerintahan kolonial. Dan yang lebih penting lagi, dalam perbauran itu, golongan Jawa telah kehilangan kedaulatannya dan hanya merupakan bagian dari Hindia yang dijajah. Berdasarkan kenyataan ini, tokoh nasionalis radikal tersebut menegaskan sikapnya: "Sekarang tanah air orang Jawa bukanlah Pulau Jawa semata, tetapi seluruh Hindia Belanda dan tugas yang dipikul oleh para pemimpin sekarang adalah bekerja untuk nasionalime Hindia tersebut."

Pemikiran nasionalisme Tjipto mendapatkan jejaknya pada kenyataan-kenyataan baru produk kolonial. Baginya, produk ini adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dielakkan. Karena itu, ia berusaha memenggal hubungan lampau Jawa--yang dalam konteks St. Takdir, disebut "pra-Indonesia"--dan merindukan suatu masyarakat "pasca-Jawa". Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian ia berkata: "Kebudayaan Jawa akan memperoleh sifatnya yang sama sekali baru, apabila orang Jawa ingin menjelma menjadi orang Hindu dan dalam proses transformasi itu, kebudayaan Jawa, terutama unsur-unsur yang kini menjadi hambatan kemajuan rakyat, akan lenyap, karena Hinduisme tradisional pada orang Jawa-lah, terutama sistem kelas atau kasta sebagai perwujudan institusionalnya, yang mematikan kreativitas dan prakarsa rakyat serta membawa kematian dan keruntuhan moral." Lalu ia menambahkan, "pembebasan manusia dari cengkeraman keruntuhan moral baru bisa terwujud hanya kalau kebudayaan Jawa lenyap dan orang Jawa menjelma menjadi manusia Hindia." Manusia dan masyarakat Hindia inilah mungkin, yang dirindukan Tjipto sebagai masyarakat "pasca-Jawa". Atau seperti diungkapkan sendiri: "suatu masyarakat, terdiri dari individu-individu yang secara politis independen atau merupakan pribadi demokrat sejati."

Tapi dalam masa perubahan--yang dalam kacamata Soetatmo dilihatnya sebagai zaman edan, sesuatu yang telah lebih dulu disinyalir oleh Ranggawarsita dalam syairnya terkenal, Serat Kala Tida (Syair Masa Kegelapan)--itu, Soetatmo justru tidak terlalu menyukai demokrasi, karena dianggap mengandung bahaya. Konsep demokrasi, yang pada waktu itu diterjemahkan dengan slogan sama rasa-sama rata--berasal dari sajak Mas Marco, aktivis SI yang dibuat di penjara--bagi Soetatmo merupakan khayalan belaka.

Menurut Shiraishi, dalam konteks inilah terletak perbedaan mendasar antara Tjipto dan Soetatmo. Soetatmo memandang demokrasi sebagai khayalan didasarkan pada prinsip pandangannya tentang masyarakat Jawa di dalam konteks yang lebih kultural. Dalam arti bahwa sekalipun realitas telah berubah, masyarakat Jawa harus dipandang dari sudut nilai yang pernah berlaku. Rakyat tidak pernah bisa dewasa tanpa bimbingan sang Pandito, pemimpin yang arief dalam menyelenggarakan kekuasaan. Edannya masa pergerakan kala itu, tidak dihayatinya sebagai suatu proses reorganisasi sosial yang kemudian menimbulkan kekacauan, melainkan karena ketidakhadiran sang Pandito Ratoe. Tanpa sang Pandito, demokrasi adalah kekacauan, atau bahkan anarkis. Anarkisme sosial ini, dapat dilihat dari perumpamaannya terhadap negara kapitalis sebagai sebuah keluarga yang centang-perenang. "Di mana sang ayah berada di bawah telapak kaki sang ibu, yang sibuk mempercantik diri dan melupakan kewajiban terhadap anak-anaknya."

Situasi inilah yang dianggap anarkis. Sebab dalam situasi itu, bentrokan antara ayah dan ibu pasti tak terhindarkan. Akibatnya, anak-anak akan berontak menghancurkan sistem yang berlaku di dalam keluarga. Kemenangan anak-anak akan menimbulkan situasi berbalik, di mana orang tua akan mengikuti saja kehendak anak-anaknya. Keadaan keluarga semacam inilah yang dilihat Soetatmo sebagai sistem demokrasi. Suatu situasi yang kacau-balau.

Dan justru karena itulah, mungkin, Soetatmo tidak melihat nasionalisme Hindia dengan sistem demokrasinya sebagai alternatif bagi masa depan orang-orang Jawa. Dia, bersama-sama dengan Komite Nasionalisme Jawa, termasuk juga Muhlenfeld--seorang Indo-Belanda berpaham nasionalisme Jawa--yakin bahwa mereka telah menemukan jalan keluar, guna menangkis kemungkinan kekacauan itu. Yaitu menghadirkan kembali tata pikir dan susunan masyarakat lampau, di mana rakyat berkembang dan hidup di bawah bimbingan seorang Pandito, pemimpin yang arif dan bijaksana. Ide inilah yang ingin direalisasikan dalam sistem pendidikan masyarakat. Yang dalam intinya, menghidupkan kembali hubungan atasan-bawahan, kawula-gusti, dalam zaman pergerakan.

Dalam hal ini, Takashi Shiraishi menyimpulkan pemikiran Soetatmo, terutama dari kalimatnya: "Demokrasi tanpa kearifan adalah bencana bagi kita semua," bahwa dalam pandangan Soetatmo, rakyat merupakan sasaran akhir politik. Rakyat seharusnya dipimpin oleh pemimpin. Dengan kata lain, rakyat hanya dapat menjadi motor penggerak zaman dalam usaha mewujudkan zaman emas, apabila mereka bersatu di bawah pimpinan seorang Pandita Ratoe. 

Tjipto sesungguhnya menggunakan jargon kultural yang sama. Identifikasinya yang kuat pada citra ksatrya, yang untuk ini dianggap terjelma dalam sosok Pangeran Diponegoro, merupakan bukti akan kecenderungan ini. Akan tetapi, yang terpenting dalam pandangan Tjipto adalah bahwa masyarakat telah berubah. Mungkin betul, dalam masa Jawa lampau, rakyat hanyalah pengikut para gusti dan juga pandito. Akan tetapi sekarang zaman telah berubah. Ia tidak melihat masa pergerakan sekarang, sebagai zaman edan atau masa kegelapan. Apabila Soetatmo melihat rakyat adalah kawula dari mereka yang mengaku Pandito Ratoe, maka menurut Tjipto, justru dalam masa pergerakan itulah rakyat telah menemtukan dirinya sendiri. Mereka bukanlah pengikut, melainkan motor penggerak dari zamannya. "Rakyat", ujar Tjipto, "kini tidak hanya menunggu kepemimpinan dari Pandito, melainkan, pergerakan itu sendirilah yang telah mengisyaratkan datangnya zaman terang. Dalam arti kata lain, rakyat bukan lagi berfungsi sebagai obyek, melainkan telah menjadi subyek. Bahkan tidaklah mustahil, justru dari rakyatlah akan lahir pemimpin-pemimpin bangsa di masa depan.***


* Fachry Ali, peneliti pada LP3ES


Sumber: Kompas, Tanpa tanggal


Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Bagaimana Wali Mengislamkan Nusantara?

Sebuah seminar unik, akhir pekan lalu, berlangsung di Surabaya. Temanya Sejarah Perjuangan Sunan Drajat dalam Jaringan Penyebaran Islam di Nusantara. Pembukaan seminar ilmiah ini dibuka dengan tari, gamelan, dan Dandang Gulo  dan Piwulang . "Ini seminar yang gayeng  (semarak, red)," ujar seorang peserta dari Jakarta. Panitia yang dimotori Bupati Lamongan HM Faried SH, tampaknya merancang pertemuan para pakar dan ulama dengan dua pendekatan, budaya dan ilmiah. Suasana itu membuat Gubernur Jatim Basofi Sudirman dan Dr Roeslan Abdulgani turut melantunkan Dandang Gulo dan Piwulang (ajaran), yang berisi wejangan dari Sunan Drajat. Tari Sekar Giri dan Kenduran  diiringi tembang Tombo Ati  dan Lir Ilir  membikin suasana kian semarak. Penyair asal Madura, D. Zawawi Imran, lantas membaca puisinya, Episode Gelombang , bertutur tentang kiprah para wali dalam menyebarkan Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Toh, pengantar yang 'meriah' tak membuat acara tersebut kehilanga

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Sebuah Potensi Wisata Islami di Singaraja

B ali bagi kebanyakan wisatawan domestik maupun mancanegara selalu identik dengan kepariwisataannya seperti Ubud, Sangeh, Pantai Kuta, Danau Batur, dan banyak lagi. Itu semua berkat adanya dukungan masyarakat dan pemerintah untuk menjadikan Bali kawasan terkemuka di bidang pariwisata, tidak hanya regional tapi juga internasional. Tak aneh jika orang asing disuruh menunjuk 'hidung' Indonesia maka yang mereka sebut hampir selalu Bali. Dari sekian potensi wisata yang ada, tampaknya ada juga potensi yang mungkin terabaikan atau perlu diperhatikan. Ketika melakukan kunjungan penelitian beberapa waktu lalu ke sana, penulis menemui beberapa settlement  pemukiman muslim yang konon telah eksis beberapa abad lamanya. Betapa eksisnya masyarakat Muslim itu di tengah-tengah hegemoni masyarakat Hindu Bali terlihat pada data-data arsitektur dan arkeologis berupa bangunan masjid, manuskrip Alquran dan kitab-kitab kuno. Di Singaraja, penulis menemui tokoh Islam setempat bernama Haji Abdullah Ma

Masuknya Islam di Jawa Kikis Kebesaran Majapahit

Berkibarnya bendera Islam di sepanjang pesisir Selat Malaka menjadi faktor yang mendorong masyarakat di daerah itu, termasuk di Jawa, berbondong memeluk Islam. Bahkan kerajaan Hindu-Majapahit pun tak kuasa membendung proses Islamisasi yang terus merasuk dalam setiap celah kehidupan masyarakat ini, terutama di pesisir pantai Jatim. C erita, hikayat, maupun folklore-folklore seputar hubungan kerajaan di Jawa--terutama Majapahit--dengan pusat penyebaran Islam di daerah itu sebenarnya banyak tersirat pada berbagai tulisan seputar peran Pasai dan Malaka dalam proses Islamisasi di Nusantara. Namun beberapa petikan saja mungkin sudah cukup menjadi petunjuk guna memahami masuknya Islam ke setiap jengkal tanah Jawa yang subur. Mengenai hubungan Jawa dengan Samudra Pasai misalnya, banyak hikayat yang menggambarkan bahwa soal itu terutama bertaut dengan perniagaan. Bahwa para pedagang Jawa harus mampir ke Malaka dan Pasai sebelum melanjutkan perjalanan, itu sudah pasti. Namun soal penyerangan

Saat Tanah dan Nusa India Jadi Nyata

Kongres Pemuda 1928 tak hanya melahirkan obsesi dan imajinasi pemuda tentang tanah dan Indonesia, tetapi juga kesadaran dan kerinduan sebagai identitas bangsa merdeka. Apa maknanya setelah 90 tahun? P ada Kongres Pemuda II, di Batavia, 28 Oktober 1928, tercatat ada dua pemuda berusia 25 tahun yang mengekspresikan "tanah" dan "Indonesia" dalam sebuah karya seni. Adalah Wage Rudolf Soepratman, sang komposer "Indonesia Raya", yang untuk pertama kalinya mengumandangkan "Indonesia Raya". Dengan gesekan biolanya, Wage melantunkan nada-nada yang kemudian menjadi lagu kebangsaan Indonesia. "Indonesia Raya" pun mengalun tanpa lirik karena menghindari tuduhan menghasut rakyat oleh pemerintah kolonial Belanda yang bisa berujung pada pembubaran kongres dan rencana deklarasi Sumpah Pemuda. Hanya lantun biola, tanpa suara manusia, "Indonesia Raya" mengalun karena teksnya hanya tersimpan di kantong Wage. Selang beberapa hari kemudian, Wage m

1928: Kongres Perempuan Indonesia I

PARA pejuang wanita mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I. Kongres dimulai pada 22 Desember 1928. Kongres yang diadakan di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, Yogyakarta itu berakhir pada 25 Desember 1928.  Kongres dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra. Hasil kongres tersebut, salah satunya ialah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah senusantara berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Penetapan 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada 1938. Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No 316/1959 bahwa 22 Desember ialah Hari Ibu. Sumber: Tidak diketahui, Tanpa tanggal