Langsung ke konten utama

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo.

Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk.

Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasang makam yang letaknya di bawah pohon bambu, berdindingkan batu yang ditata tinggi, lebar, dan bagian atasnya berbentuk kelopak bunga. Di dinding itu terdapat potret berukirkan laki-laki mengenakan blangkon, yakni dr Tjipto yang terkenal dengan sebutan dokter Jawa. Lalu lukisan api berkobar, pohon beringin, padi, burung garuda, tahun kelahiran, dan wafatnya. Di bawah potret terdapat tulisan rawe-rawe rantas malang-malang putung, yang berarti: bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.

Menurut Mbok Pawiro Kaslan, 75, pembantu dr Tjipto, makam itu dibangun atas prakarsa Presiden Indonesia yang pertama, almarhum Ir Soekarno ketika bersama Lawalatu dan rombongan berziarah ke makam, tahun 1956. Beliau tidak mau membangun makam itu dengan marmer melainkan dari batu karena beliau mengenal baik dr Tjipto yang terkenal akan kesederhanaannya, berjiwa sosial, dan suka menolong rakyat kebanyakan.

Adapun yang mengerjakan pembangunan itu Joni Soetrisno, Slamet, juga Sumariman. Lukisan-lukisan itu mempunyai makna dan menyiratkan sifat dr Tjipto. Seperti pohon beringin yang berarti sebagai pengayom; padi yang semakin merunduk makin berisi; api yang berkobar menandakan semangat dan keberanian dari Tjipto ketika memerangi penyakit pes. Tapi ada yang keliru dalam lukisan itu, yakni tahun lahir dr Tjipto itu bukan 1889 melainkan tahun 1886.

"Dulu sewaktu Presiden Soekarno berziarah kemari, beliau meminta pada bapak (Pawiro Kaslan, suaminya) untuk merawat makam sebaik mungkin. Beliau juga mengatakan mengenai dr Tjipto yang tak lain juga gurunya. Begini: Iki guruku, PaK. Yen deweke ora sedo sik, deweke sing dadi Presiden, dudu aku. (Ini guruku, Pak. Kalau beliau tidak meninggal duluan, beliau yang menjadi presiden, bukan aku)," kata Mbok Pawiro lagi. Tapi pembangunan itu sempat terhenti ketika meletus G 30 S/PKI. Lalu baru tahun 1985, setelah 20 tahun, pembangunan dilanjutkan lagi.

Kini di makam dr Tjipto yang nampak bersih dan terawat itu pada hari-hari tertentu diadakan upacara, seperti tiap tanggal 10 Nopember. Hal ini sudah menjadi tradisi. Dan ini tentu saja merupakan suatu kewajaran karena dr Tjipto adalah pahlawan bangsa.

Tahun 1886 Tjipto lahir di Desa Pacangakan, Jepara. Putera sulung Pak Mangoekoesoemo yang menjabat kepala SD di Ambarawa ini, setamat SD terus melanjutkan ke Stovia (Sekolah Kedokteran) di Betawi, tahun 1899. Ia dibiayai oleh pemerintah Belanda. Sehingga ketika ia lulus sebagai Inlands arts, yang istilah umumnya: dokter Jawa--Tjipto ditugaskan ke Banjarmasin. Tjpto harus mengikatkan diri paling sedikit lima tahun dalam tugas pemerintahan.

Tjipto yang semasa di Stovia terkenal sebagai pemuda yang cerdas, emosional, dan berani ini--tidak bisa tinggal diam melihat kesewenang-wenangan pemerintahan Belanda. Ia yang sekembalinya dari Banjarmasin lalu dipindahkan ke Demak ini, dan di sana dikenal sebagai dokter Jawa berbendi, karena ia selalu mengenakan blangkon dan berjas hitam yang menjadi ciri khas orang mengendarai bendi. Ia melancarkan kritik yang cukup pedas pada pemerintah di harian De Locomotif, berakibat ia harus keluar dari dinas pemerintahan. Hal ini bagi Tjipto merupakan suatu kesempatan sehingga ia bebas menentukan langkah.

Ketika Tjipto ketemu dengan orang yang sehaluan yakni Douwes Dekker, yang mempunyai harian De Express dan dwi mingguan Het Tijdschrift dan ditawari untuk menjadi redaktur di dua penerbitan itu, Tjipto menyambut baik. Ia lalu melepas jabatan dokter dengan terjun ke bidang politik. Ia ingin memperbaiki nasib rakyat tidak dengan jarum saja, tapi juga dengan pena membangkitkan semangat rakyat. Bahkan ia bersama Douwes Dekker membentuk partai politik yang pertama kali di Hindia Belanda: Indische Partij, tepatnya tanggal 6 September 1912. Tapi partai ini dibubarkan tahun 1913 karena merupakan organisasi terlarang.

Tapi Tjipto pantang takut. Ia kembali membentuk organisasi Komite Bumi Putera bersama Suwardi Suryaningrat. Mereka lalu ditangkap karena kritik yang dilancarkannya ketika mereka memberi ucapan selamat kepada ratu Belanda. Satu di antaranya ditulis Suwardi: Als ik Nederlander was, seandainya saya seorang Belanda. Suwardi diasingkan ke Bangka dan Tjipto ke Banda. Mereka lalu dipindahkan ke Belanda. Karena udara yang dingin dan lembap, Tjipto mulai sakit-sakitan.

Hari-hari Terakhir

Tahun 1919 sekembalinya Tjipto dari Belanda, ia terus memindahkan perjuangannya di Volksraad (Dewan Rakyat) tanpa mempedulikan keadaan tubuhnya yang semakin ringkih. Semangatnya senantiasa membara. Di Dewan Rakyat ini ia memperlihatkan keberanian dan sifat keheroikannya lewat pidato-pidatonya yang terkenal keras sehingga ia kembali diusir. 

Tjipto yang senantiasa ringan tangan demi kemanusiaan itulah yang membuat Belanda semakin takut. Tjipto pandai menarik simpati rakyat. Juga karena sepak terjangnya yang berani. Maka ketika terjadi kerusuhan di Jatinegara oleh pasukan KNIL, Tjipto difitnah, dituduh memberi uang pada salah seorang anggota KNIL. Ia ditangkap lalu diasingkan ke Banda untuk kedua kali.

Tjipto yang terkucil dan jauh dari teman-teman itu merasa amat tertekan jiwanya. Penyakitnya semakin parah. Bersama Hatta dan Syahrir, Tjipto dipindahkan ke Sukabumi. Waktu itu menjelang keruntuhan Belanda. Tapi setelah Jepang berkuasa, ia dengan berat hati menolak ajakan Bung Karno, Ki Hajar, Bung Hatta, dan KH Mas Mansyur untuk memimpin rakyat, karena kesehatannya yang tidak memungkinkan. Hingga akhirnya ia masuk ke RS Yang Seng Ie (Husada, sekarang). Tanggal 8 Maret 1943 ia mengembuskan napas; bertepatan dengan runtuhnya pemerintah Belanda. Ia dimakamkan di Ambarawa. Meski beliau sudah tiada, tapi jasa-jasanya akan senantiasa dikenang. Semangat dan jiwa kepatriotismeannya terus bergelora di masa pembangunan ini. Dan bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu menghargai jasa-jasa pahlawannya. (ska). ---



Sumber: Tidak diketahui, Tanpa tanggal



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Arek-arek Soerobojo Hadang Sekutu

Mengungkap pertempuran bersejarah 10 Nopember 1945 sebagai mata rantai sejarah kemerdekaan Indonesia, pada hakekatnya peristiwa itu tidaklah berdiri sendiri. Ia merupakan titik klimaks dari rentetan insiden, peristiwa dan proses sejarah kebangkitan rakyat Jawa Timur untuk tetap melawan penjajah yang ingin mencoba mencengkeramkan kembali kukunya di wilayah Indonesia merdeka. Pertempuran 10 Nopember 1945--tidak saja merupakan sikap spontan rakyat Indonesia, khususnya Jawa Timur tetapi juga merupakan sikap tak mengenal menyerah untuk mempertahankan Ibu Pertiwi dari nafsu kolonialis, betapapun mereka memiliki kekuatan militer yang jauh lebih sempurna. Rentetan sejarah yang sudah mulai membakar suasana, sejak Proklamasi dikumandangkan oleh Proklamator Indonesia: Soekarno dan Hatta tgl 17 Agustus 1945. Rakyat Jawa Timur yang militan berusaha membangun daerahnya di bawah Gubernur I-nya: RMTA Soeryo. Pemboman Kota Hiroshima dan Nagasaki menjadikan bala tentara Jepang harus bertekuk lutut pada ...

Misteri Jangkar Raksasa Laksamana Cheng Ho: Kabut Sejarah di Perairan Cirebon

TINGGINYA menjulang sekitar 4,5 sampai 5 meter. Bentuknya sebagaimana jangkar sebuah kapal, terbuat dari besi baja yang padat dan kokoh. Bagian tengahnya lurus serta di bawahnya berupa busur dengan kedua ujung yang lancip. J ANGKAR kapal berukuran besar itu sampai kini diletakkan di ruangan sebelah utara dari balairung utama Vihara Dewi Welas Asih. Dengan berat yang mencapai lebih dari tiga ton, benda bersejarah itu disimpan dalam posisi berdiri dan disandarkan di tembok pembatas serambi utara dengan balairung utama yang menjadi pusat pemujaan terhadap Dewi Kwan Im, dewi kasih sayang.  Tempat peribadatan warga keturunan Tionghoa pemeluk agama Buddha ini terletak di areal kota tua di pesisir utara Kota Cirebon. Bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya sejak 2011 ini didirikan pada awal pertengahan abad ke-16, tepatnya tahun 1559 Masehi. Letaknya berada di pesisir pantai, persis bersebelahan dengan Pelabuhan Kota Cirebon. Kelenteng ini berada di antara gedung-gedung tua m...

Hari Pahlawan: MENGENANG 10 NOPEMBER 1945

Majalah Inggeris "Army Quarterly" yang terbit pada tanggal 30 Januari 1948 telah memuat tulisan seorang Mayor Inggeris bernama R. B. Houston dari kesatuan "10 th Gurkha Raffles", yang ikut serta dalam pertempuran di Indonesia sekitar tahun 1945/1946. Selain tentang bentrokan senjata antara kita dengan pihak Tentara Inggeris, Jepang dan Belanda di sekitar kota Jakarta, di Semarang, Ambarawa, Magelang dan lain-lain lagi. Maka Mayor R. B. Houston menulis juga tentang pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di Surabaya. Perlu kita ingatkan kembali, maka perlu dikemukakan di sini, bahwa telah terjadi dua kali pertempuran antara Tentara Inggeris dan Rakyat Surabaya. Yang pertama selama 3 malam dan dua hari, yaitu kurang lebih 60 jam lamanya dimulai pada tanggal 28 Oktober 1945 sore, dan dihentikan pada tanggal 30 Oktober 1945 jauh di tengah malam. Dan yang kedua dimulai pada tanggal 10 Nopember 1945 pagi sampai permulaan bulan Desember 1945, jadi lebih dari 21 har...