Langsung ke konten utama

Ziarah di Serang Banten

SEPERTI juga pada tahun-tahun lampau, pada Hari Raya Idul Fitri tahun ini pun, banyak wisatawan baik lokal maupun regional, yang menziarahi tempat-tempat keramat yang terdapat di Kabupaten Serang. 

Di antara objek wisata yang jadi tempat tumpuan pengunjung ialah Mesjid Agung Banten, yang merupakan mesjid terbesar yang terdapat di daerah Banten.

Mesjid bersejarah itu didirikan pada tahun 1566 M, pada bulan Julhijah tahun 966 H. Pendirinya ialah Sultan Maulana Yusuf, putra Sultan Banten yang agung, Maulana Hasanudin.

Mesjid yang telah banyak dikunjungi banyak wisatawan, baik Wisnu (Wisatawan Nusantara), maupun Wisman (Wisatawan Mancanegara) tesebut, pada tahun sekitar 1885 M telah mengalami beberapa perubahan. Sementara itu, sebelum Mesjid Agung itu didrikan, pernah mesjid lain yang lebih sederhana bentuknya didirikan, yang kini hanya tinggal sisanya di Pecinan Tinggi.

Mesjid Agung Banten, di samping nilai sejarahnya, juga memiliki beberapa keistimewaan,yang membangkitkan perhatian orang.

Pertama, atapnya yang beerbentuk bujur sangkar, merupakan atap tumpang dengan susunan semakin ke atas, semakin kecil. Yang paling atas berbentuk limas. Atap tersebut keseluruhannya berjumlah lima susun.

Kedua, sebuah menara di halaman mesjid yang didirikan setelah pendirian mesjid tersebut. Menara itu mempunyai ketinggian sekitar 39 meter, yang sampai kini masih dalam keadaan utuh. Didirikan sekitar tahun 1620 H atau 1026 H semasa pemerintahan Kesultanan Banten dipegang Sultan Abdul Mufakir.

Menara banyak menarik perhatian Wisnu dan Wisman, di samping nilai sejarahnya, juga kerena bentuk dan hiasan-hiasannya.

Ketiga, letak mesjid tersebut, di bekas Ibukota Kesultanan Banten, ialah di halaman depan Keraton dan Banten, Surosowan.

Keempat, di sebelah Utara dan Selatan mesjid, berdiri bangunan yang bersatu dengan mesjid. Bangunan tersebut adalah pemakaman para Sultan Banten dan keluarganya, yang setiap musim lebaran menjadi tumpuan para penziarah.

Adapun rangkaian makam yang terdapat di bagian Utara mesjid, antara lain makam: Sultan Abdul Fathah atau yang lebih terkenal dengan julukan Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Maulana Muhamad Nazaruddin, Pangeran Ratu (istri Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan Abdul Fatah, Permaisuri Sultan Abdul Fadhal, Sultan Abun Nazir Abdul Kohar (Sultan Haji).

Di sebelah Selatan Mesjid Agung, dalam suatu bangunan khusus terdapat deretan makam (dari kiri dan kanan), tak jelas, Pangeran Aria, Sultan Maulana Muhammad, Sultan Muchyi, Sultan Abdul Mufakir, Sultan Zainul Arifin, Sultan Zainal Asikin, Sultan Syarifudin, Ratu Salamah, dan Ratu Nasmudah.

Sebuah bangunan di samping mesjid sebelah Selatan yang berdiri dengan wibawanya, yang dilihat dari segi arsitektur dalam keasliannya serupa dengan rumah-rumah di negeri Belanda pada abad pertengahan.

Tidak akan kaget, jika kita mengetahui bangunan tersebut yang disebut TIAMAH, dibuat pertama-tama oleh seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang beragama Islam, bernama Hendrick Lucas Cardees. Karena jasa dan pengabdiannya, ia oleh Sultan Banten dianugerahi gelar Pangeran Wiraguna.

Penelitian menujukkan adanya kemungkinan bangunan tersebut pada tempo dulu, merupakan suatu tempat berkumpulnya para alim-ulama dalam rangka mempelajari atau memecahkan masalah-masalah mengenai keagamaan.

Bangunan tersebut kini dipergunakan sebagai Musium Banten, tempat menyimpan benda-benda kuno peninggalan para Sultan Banten.

Adapun barang-barang peninggalan para Sultan itu, antara lain: Payung Kerajaan, Alquran yang ditulis dengan tangan, alat Debus, yaitu alat-alat suatu jenis kesenian yang dibuat dari bambu berbentuk bulat yang diberi tangkai besi yang runcing. Bulatan yang terbuat dari kayu keras, sebagai pangkalnya, diberi bingkai besi yang beranting-ranting, yang berbunyi gemerincing jika ia digoyangkan.

Jenis kesenian tersebut, sampai dewasa ini masih berkembang serta digemari masyarakat Banten, dan menjadi salah satu atraksi wisata budaya yang mempesona.

Di dalam musium tersebut, disimpan pula: keris kuno, tombak, gong kecil, serta kendang. Demikian pula barang pecah belah serta lampu setelop.

Bangunan tersebut akan sangat menarik para akhli seni bangunan karena andai keseluruhannya diteliti akan menunjukkan adanya perpaduan seni bangunan dari Islam, Eropa, serta Cina.

Sementara itu, menara yang terletak di halaman mesjid serta banyak menarik perhatian orang, konon dibangun oleh seorang arsitek Cina yang beragama Islam bernama Cek Ban Cut pada tahun 1620 M. Atas karyanya tesebut, oleh Sultan Abdul Mufakir, ia dianugerahi gelar Pangeran Wiradiguna. 

Sementara itu makam-makam Ratu Asyiah, Tubagus Mukhyidin, Tubagus Suta, Sekh Abdul Syukur Anem, pangeran Aria Cuding, Tubagus Urip, yang terletak di Mesjid Kasunyatan, sekitar 7 km dari kota Serang, pada Hari Raya Idul Fitri banyak dikunjungi para penziarah.

Makam-makam tersebut adalah makam mereka yang berjasa bagi agama dan pembangunan pada zamannya. (Djoni Hidayat)***



Sumber: Tidak diketahui, Tanpa tanggal



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...