Langsung ke konten utama

Peranan Sumpah Pemuda 28 Oktober dalam Perjuangan Bangsa

Oleh : Djamal Marsudi

TANGGAL 28 Oktober 1928 yang merupakan hari Keramat di Jalan Kramat 106 Betawi, yang namanya menjadi Jakarta, karena hari itu adalah hari bersumpahnya para pemuda-pemuda yang datang dari berbagai pelosok kepulauan Indonesia, tidaklah merupakan kejadian sejarah yang berdiri sendiri. Kejadian itu merupakan rentetan semenjak dari kejadian 20 Mei 1908, di mana pada waktu itu dicetuskan secara teratur pergerakan nasional dengan berdirinya Budi Utomo. Cita-cita yang terkandung mulai tahun 1908 itu, kemudian dilanjutkan pada tahun 1928 dan terwujud di tahun 1945, di mana proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dicetuskan dan disiarkan ke seluruh pelosok tanah air dan penjuru dunia.

Itulah sebabnya maka tanggal 18 Oktober 1928 adalah merupakan tonggak sejarah yang penting dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. "Sumpah Pemuda" merupakan jawaban yang tepat dari pemuda terhadap tantangan yang dilemparkan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Pada waktu itu pemuda-pemuda Indonesia harus menjalankan satu lembaran sejarah yang selanjutnya tugas sejarah pada waktu itu ialah di tengah-tengah bergeloranya semangat perjuangan dari rakyat yang tidak mau ketinggalan dalam mempelopori semangat pejuangan itu. Terutama di waktu menghebatnya usaha pemerintah Hindia Belanda untuk lebih mencengkeramkan kuku di Indonesia di bawah Gubernur Jenderal Mr. De Fook. Hasil dari perjuangan pemuda itu telah melahirkan Sumpah yang terkenal sebagai TRILOGIE. "Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa". Bahasa di sini yang dimaksud adalah BAHASA INDONESIA. Istilah Indonesia dalam sejarahnya mulai-mula dipakai dalam kalangan Ilmu Bahasa dan dipergunakan oleh sarjana antropologi berkebangsaan Inggeris di Singapura bernama James Richardson Logan di tahun 1850. Logan merasa perlu adanya satu nama untuk menyebut kepulauan yang terletak antara Benua Asia dan Australia beserta penduduk pribuminya. Kemudian digunakan oleh sarjana Jerman "Adolf Bastian" di sekitar tahun 1889 : INDONESIEN ODERDIE INSELN DES MALAISCHEN ARCHIPEL, untuk menunjukkan persatuan kebudayaan bangsa Indonesia.

Sebelum dikenal istilah Indonesia, sebutan yang lazim dipakai ialah "INSULINDE", "NUSANTARA", "DWIPANTARA", "KOUEN LOWEN", "MALAYSIA", "NAN YANG", "IOBADIOU", "JAWADWIPA", dan "JETIAO". Tapi pihak Belanda tetap mempertahankan nama Indonesia ini Nederlanssch Indische atau Hindia Belanda, sampai pada waktu ia mengakui kedaulatan bangsa Indonesia.

Istilah Nusantara pertama kali dipergunakan oleh Ki Hajar Dewantoro, sedangkan kata Nusantara juga telah digunakan oleh H. M. B. Vlekke sebagai judul bukunya: "NUSANTARA" History of the Indonesia Archipelago. Buku yang mengandung sejarah Indonesia ini pernah diterbitkan di A. S. dan di negeri Belanda.

Situasi politik di Indonesia sekitar tahun 1926-1928 keadaannya sangat gelap. Pada bulan Nopember 1926 terjadi pemberontakan PKI di Banten, Jakarta, dan lain-lain tempat di pulau Jawa. Kemudian pemberontakan ini diikuti oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia, terutama di Silungkang, Sumatera Barat.

Pemerintah Hindia Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Jhr. Mr. A. E. N. de Graeff memadamkan pemberontakan ini dengan tangan besi. Walaupun pemberontakan ini tidak mendapat dukungan dari rakyat, tapi banyak pula rakyat yang tidak berdosa menjadi korban, akibatnya rakyat merasa cemas dan was-was. Kehidupan ekonomi menjadi morat-marit, karena keadaan ekonomi pada umumnya tidak mantap.

Dalam pada itu akibat dari adanya partai-partai politik yang juga bergerak dalam serikat sekerja, ikut mempengaruhi pemogokan yang dianjurkan oleh PKI, karena pada waktu itu golongan komunis sudah menyelundupkan orang-orangnya ke dalam serikat-serikat sekerja. Kejadian ini diikuti lagi dengan adanya depresi ekonomi dunia yang juga melanda Indonesia, akibatnya pemerintah Hindia Belanda mengadakan pemecatan besar-besaran, yang menimbulkan banyak pengangguran, sehingga jaman itu sering disebut jaman "MALAISE". Tambahan lagi pada tanggal 23 September 1927 empat mahasiswa pemimpin "perhimpunan Indonesia" (P. I.) yaitu Moh. Hatta, R. M. Abdul Madjid Djajadiningrat, dan Nazir Dt. Pamuncak, dan Ali Sastroamidjojo ditangkap dan ditahan dalam penjara di negeri Belanda. Mereka dituduh menghasut rakyat Indonesia untuk mengadakan pemberontakan dengan melalui tulisan-tulisannya yang dimuat dalam majalah Indonesia Merdeka, yang terbit di negeri Belanda.

Kemudian pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 16 Desember 1927 menangkap dan mengasingkan Dr. Tjipto Mangunkusumo ke Pulau Banda Neira. Dr Tjipto dituduh menghasut rakyat untuk melawan pemerintah Hindia Belanda. Semua tindakan pemerintah Belanda di negeri Belanda dan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia langsung dijawab oleh bangsa Indonesia.

Sehari setelah penangkapan Dr. Tjipto Mangunkusumo, maka atas inisiatif dari beberapa partai, didirikanlah "Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia" (P. P. P. K. I.) pada tanggal 17 Desember 1927. Partai Serikat Islam, Budi Utomo, Pasundan, Serikat Sumatra, Kaum Betawi, dan Indonesische Studie Club. Kemudian menyusul Sarekat Madura, Tirto Yasa, dan Perserikatan Celebes. Yang disebut Celebes adalah Sulawesi.

Program dari P. P. P. K. I. adalah :

a. Berusaha untuk mencapai menyamakan arah aksi kebangsaan, memperkuat dengan memperbaiki organisasi dengan kerja sama antara anggota-anggotanya.

b. Menghindarkan perselisihan sesama anggotanya yang hanya bisa melemahkan aksi kebangsaan saja.

Dalam kongresnya yang pertama, yang diadakan di kota Surabaya dari tanggal 30 Agustus sampai tanggal 2 September 1928 telah diambil suatu mosi yang sangat penting. Seluruh pergerakan rakyat Indonesia harus bersatu padu untuk mewujudkan cita-cita nasional Indonesia. Persatuan mutlak sebagai syarat untuk mensukseskan tujuan perjuangan.

Bahkan Budi Utomo menunjukkan sikap yang positif terhadap arus Persatuan ini dan membongkar pagar "Kesukuan". Tindakan Budi Utomo ini adalah sebagai reaksi terhadap penahanan atas 4 mahasiswa Indonesia di negeri Belanda tersebut.

Dalam kongresnya yang ke-2 di kota Solo pada bulan April 1928 Budi Utomo telah mengambil tiga keputusan penting:

1. Mengirim kawat kepada Perhimpunan Indonesia dan memberi selamat atas dibebaskannya 4 mahasiswa tersebut. Budi Utomo mengakui dan menyatakan P. I. sebagai Pos Depan (voorpost) perjuangan kemerdekaan nasional.

2. Mengakui cita-cita persatuan nasional Indonesia (aanvaardt de Indonesische Eenheidgedachte).

3. Merombak tujuan "de harmonische ontwilkling van hand en volk van Jawa, Madura, Bali, Lombok en aan verwante wolkeren, menjadi "streef tnaar" Indonesia Merdeka.

Terhadap keputusan Kongres Budi Utomo ini pemerintah Hindia Belanda bersikap keras. Gubernur Jenderal de Graeef dalam pidatonya di Volksraad (Dewan Rakyat) tanggal 5 Mei 1928 mencoba memecahkan persatuan dan perjuangan bangsa Indonesia. Ia membagi perjuangan bangsa Indonesia dalam 2 golongan :

1. Golongan yang moderat sebagai golongan yang sehat, dan pemerintah Hindia Belanda perlu mengajak mereka untuk bekerja sama.

2. Golongan yang dianggap revolusioner yang dicap sebagai golongan jahat dan golongan ini harus dihancurkan oleh pemerinah Hindia Belanda.

Budi Utomo tidak gentar menghadapi tantangan pemerintah Hindia Belanda itu. Pada tanggal 30 Mei 1928 Budi Utomo malahan mengeluarkan pernyataan menentang dan memprotes pidato Gubernur Jenderal de Graeef. Budi Utomo mengajak supaya kita tetap kompak jangan sampai mau digolongkan kelompok yang sehat dan jahat.

Di samping itu Partai Serikat Islam Indonesia (P. S. I. I.) meningkatkan perjuangannya menghadapi pemerintah Hindia Belanda, sesudah partai ini membersihkan dirinya dari unsur-unsur dan pengaruh komunis, karena sebelumnya banyak orang-orang komunis telah menyelundup ke dalam Serikat Islam.

P. S. I. I. melancarkan politik non koperasi terhadap pemerintah Hindia Belanda, dan menganggap Volksraad tidak berguna lagi bagi perjuangan rakyat Indonesia.

Semua kejadian-kejadian itu menunjukkan betapa beratnya keadaan, akan adanya suatu iklim yang baik untuk bersatu. Persatuan makin lama makin kompak, pukulan-pukulan dari pemerintah Hindia Belanda ternyata mendapat sambutan yang positif dari kalangan pemimpin Indonesia baik angkatan tua maupun dari angkatan mudanya.

Situasi telah matang untuk menciptakan persatuan, terutama di kalangan pemuda-pemudanya. Persatuan yang telah diidam-idamkan telah tiba, dan telah tercapai, saatnya telah tiba untuk menggalang persatuan yang lebih kuat lagi.

Pemuda-pemuda kita dari tahun 1928 boleh dikatakan pemuda idealis--mereka mempunyai cita-cita yang tinggi, padahal situasi dan kondisi waktu itu sama sekali belum membayangkan adanya kemungkinan untuk mencapai tujuan kemerdekaan bagi Indonesia.

Pemuda kita terutama di Kramat 106 Jakarta, yang datang dari keluarga yang tidak kaya dalam arti materiel, ternyata banyak di antaranya yang mempunyai keberanian yang tinggi. Secara perorangan pemuda-pemuda itu juga mempounyai rasa tidak mau kalah dengan pemuda-pemuda Belanda yang di kala itu mendapat predikat sinyo. Mereka itu giat belajar sehingga sering kali mendapat nilai yang lebih tinggi dari sinyo-sinyo Belanda.

Sebelum dicetuskannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, para pemuda telah mengadakan persiapan yang matang.

Yang mengambil inisiatip untuk menyelenggarakan Kongres Pemuda II ialah pemuda-pemuda P. P. P. I. Personalia pengurusnya ialah : Ketua Sugondo Djojopuspito (P. P. P. I.); Wakil Ketua: Djoko Marsaid alias Tirtodiningrat (Yong Java); Sekretaris: Mohamad Yamin (Yong Sumatranen Bond); Bendahara: Amir Sjarifuddin (Yong Bataks Bond); Pembantu I: Djohan Mohamad Tjai (Yong Islamiten Bond); Pembantu II: Kontjosungkono (Pemuda Indonesia); Pembantu III: Senduk (Yong Celebes); Pembantu IV: Leimena (Yong Ambon); Pembantu V: Rohjadi (Pemuda Kaum Betawi).

Putusan Kongres.

Jauh malam Kongres mengambil keputusan sebagai berikut: Kerapatan Pemuda-pemuda Indonesia yang diadakan oleh perkumpulan-perkumpulan pemuda Indonesia yang berdasarkan kebangsaan dengan namanya Yong Yava, Yong Sumatranen Bond, Pemuda Indonesia, Sekar Rukun, Yong Islamieten Bond, Yong Celebes, Pemuda Kaum Betawi, dan Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia; membuka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 di Jakarta. Sesudah mendengar pidato-pidato dan pembicaraan diadakan dalam kerapatan tadi.

Sesudah menimbang segala isi pidato-pidato dan pembicaraan ini, Kerapatan lalu mengambil keputusan :

Pertama : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.

Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.

Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Setelah mendengar keputusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan azas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan-perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengeluarkan keyakinan diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuannya; kemauan, sejarah hukum adat, pendidikan dan kepanduan. Selanjutnya mengeluarkan pengharapan supaya putusan ini disiarkan dalam segala surat kabar dan dibicarakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan yang ada di Indonesia.

Dalam menanggapi Kongres Pemuda, surat kabar "KENG PO" yang terbit pada hari Senin 19 Oktober 1928, dalam ejaan aslinya telah menulis sebagai berikut : "dalam tiga kali beroentoen kerapatan itoe, di gedoeng kerapatan penoeh dengan publik dan boekan sadja pihak lelaki tetapi pihak kaoem isteri boleh dibilang tidak sedikit djoemlahnja".

Kongres Pemuda di bulan Oktober 1928 itupun tidak bebas daripada pengawasan yang sangat ketat. Dalam tajuk rencana surat kabar "KENG PO" antara lain telah menulis: bahwa polisi banyak campur tangan dan melarang pembicaraan-pembicaraan yang bercorak politik. Pawai Persatuan Antara Pandu-Pandu Indonesia (PAPI) yang sedianya direncanakan untuk turut memeriahkan kongres, sampai dibatalkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Diberitakan lebih lanjut, karena adanya kesulitan untuk menarik garis pemisah yang tegas antara pembicaraan-pembicaraan yang bercorak politis dan yang bersifat umum, akhirnya polisi (P. I. D.) menentukan bahwa kata "KEMERDEKAAN" tidak boleh diucapkan dalam pidato-pidato. Namun berkat ketua sidang yang berlangsung dengan tertib, pemuda Soegondo, yang penuh dengan kebijaksanaan itu mendapat pujian dari para hadirin.

Dalam kongres itupun untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya berkumandang, yang dibawakan oleh penggubahnya sendiri W. R. Soepratman, yang akhirnya lagu itu mengenang berdirinya Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.



Sumber: KORPRI, Tanpa tanggal



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Bagaimana Wali Mengislamkan Nusantara?

Sebuah seminar unik, akhir pekan lalu, berlangsung di Surabaya. Temanya Sejarah Perjuangan Sunan Drajat dalam Jaringan Penyebaran Islam di Nusantara. Pembukaan seminar ilmiah ini dibuka dengan tari, gamelan, dan Dandang Gulo  dan Piwulang . "Ini seminar yang gayeng  (semarak, red)," ujar seorang peserta dari Jakarta. Panitia yang dimotori Bupati Lamongan HM Faried SH, tampaknya merancang pertemuan para pakar dan ulama dengan dua pendekatan, budaya dan ilmiah. Suasana itu membuat Gubernur Jatim Basofi Sudirman dan Dr Roeslan Abdulgani turut melantunkan Dandang Gulo dan Piwulang (ajaran), yang berisi wejangan dari Sunan Drajat. Tari Sekar Giri dan Kenduran  diiringi tembang Tombo Ati  dan Lir Ilir  membikin suasana kian semarak. Penyair asal Madura, D. Zawawi Imran, lantas membaca puisinya, Episode Gelombang , bertutur tentang kiprah para wali dalam menyebarkan Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Toh, pengantar yang 'meriah' tak membuat acara tersebut kehilanga

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Sebuah Potensi Wisata Islami di Singaraja

B ali bagi kebanyakan wisatawan domestik maupun mancanegara selalu identik dengan kepariwisataannya seperti Ubud, Sangeh, Pantai Kuta, Danau Batur, dan banyak lagi. Itu semua berkat adanya dukungan masyarakat dan pemerintah untuk menjadikan Bali kawasan terkemuka di bidang pariwisata, tidak hanya regional tapi juga internasional. Tak aneh jika orang asing disuruh menunjuk 'hidung' Indonesia maka yang mereka sebut hampir selalu Bali. Dari sekian potensi wisata yang ada, tampaknya ada juga potensi yang mungkin terabaikan atau perlu diperhatikan. Ketika melakukan kunjungan penelitian beberapa waktu lalu ke sana, penulis menemui beberapa settlement  pemukiman muslim yang konon telah eksis beberapa abad lamanya. Betapa eksisnya masyarakat Muslim itu di tengah-tengah hegemoni masyarakat Hindu Bali terlihat pada data-data arsitektur dan arkeologis berupa bangunan masjid, manuskrip Alquran dan kitab-kitab kuno. Di Singaraja, penulis menemui tokoh Islam setempat bernama Haji Abdullah Ma

Masuknya Islam di Jawa Kikis Kebesaran Majapahit

Berkibarnya bendera Islam di sepanjang pesisir Selat Malaka menjadi faktor yang mendorong masyarakat di daerah itu, termasuk di Jawa, berbondong memeluk Islam. Bahkan kerajaan Hindu-Majapahit pun tak kuasa membendung proses Islamisasi yang terus merasuk dalam setiap celah kehidupan masyarakat ini, terutama di pesisir pantai Jatim. C erita, hikayat, maupun folklore-folklore seputar hubungan kerajaan di Jawa--terutama Majapahit--dengan pusat penyebaran Islam di daerah itu sebenarnya banyak tersirat pada berbagai tulisan seputar peran Pasai dan Malaka dalam proses Islamisasi di Nusantara. Namun beberapa petikan saja mungkin sudah cukup menjadi petunjuk guna memahami masuknya Islam ke setiap jengkal tanah Jawa yang subur. Mengenai hubungan Jawa dengan Samudra Pasai misalnya, banyak hikayat yang menggambarkan bahwa soal itu terutama bertaut dengan perniagaan. Bahwa para pedagang Jawa harus mampir ke Malaka dan Pasai sebelum melanjutkan perjalanan, itu sudah pasti. Namun soal penyerangan

Saat Tanah dan Nusa India Jadi Nyata

Kongres Pemuda 1928 tak hanya melahirkan obsesi dan imajinasi pemuda tentang tanah dan Indonesia, tetapi juga kesadaran dan kerinduan sebagai identitas bangsa merdeka. Apa maknanya setelah 90 tahun? P ada Kongres Pemuda II, di Batavia, 28 Oktober 1928, tercatat ada dua pemuda berusia 25 tahun yang mengekspresikan "tanah" dan "Indonesia" dalam sebuah karya seni. Adalah Wage Rudolf Soepratman, sang komposer "Indonesia Raya", yang untuk pertama kalinya mengumandangkan "Indonesia Raya". Dengan gesekan biolanya, Wage melantunkan nada-nada yang kemudian menjadi lagu kebangsaan Indonesia. "Indonesia Raya" pun mengalun tanpa lirik karena menghindari tuduhan menghasut rakyat oleh pemerintah kolonial Belanda yang bisa berujung pada pembubaran kongres dan rencana deklarasi Sumpah Pemuda. Hanya lantun biola, tanpa suara manusia, "Indonesia Raya" mengalun karena teksnya hanya tersimpan di kantong Wage. Selang beberapa hari kemudian, Wage m

1928: Kongres Perempuan Indonesia I

PARA pejuang wanita mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I. Kongres dimulai pada 22 Desember 1928. Kongres yang diadakan di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, Yogyakarta itu berakhir pada 25 Desember 1928.  Kongres dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra. Hasil kongres tersebut, salah satunya ialah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah senusantara berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Penetapan 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada 1938. Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No 316/1959 bahwa 22 Desember ialah Hari Ibu. Sumber: Tidak diketahui, Tanpa tanggal