Ali Masykur Musa
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama
INDONESIA merupakan bangsa yang mendapatkan rahmat tak terhingga dari Ilahi. Bangsa ini sudah berabad-abad hidup dalam karunia 'kebinekaan'. Perbedaan adat istiadat, bahasa, dan religi merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah terbentuknya bangsa Indonesia. Dalam kemajemukan, Indonesia sebenarnya punya bahan pelajaran yang melimpah untuk hidup bersama dalam kedamaian.
Dalam masyarakat dan bangsa yang majemuk, peran paham kebangsaan dan ideologi negara sebagai dasar kehidupan bernegara amat penting untuk memelihara persatuan dan kesatuan atas dasar kebersamaan dan toleransi. Ideologi negara memayungi dan melindungi semua kepentingan masyarakat yang majemuk. Paham kebangsaan ialah tali pengikat yang kuat untuk terselenggaranya perdamaian budaya. Perdamaian budaya ialah mozaik indah masyarakat dan budaya Indonesia sebagai wujud dari kebinekaan dalam persatuan dan kesatuan nasional. Prinsip dan semangat seperti itulah yang terkandung dalam sumpah pemuda.
Dalam momen Sumpah Pemuda, sebagai anak bangsa, sepatutnya kita meneladani lelaku para pendahulu kita. Sumpah Pemuda ialah contoh jelas bahwa konlik kebangsaan bisa dihindari jika seluruh komponen bangsa bersatu dan sepakat dengan ideologi dan cita-cita bernegara. Kemajemukan bangsa dengan pemaknaan yang jernih akan mampu menjadi modal bagi pembangunan karakter bangsa.
Namun, sungguh sayang, jika kita menengok kembali peristiwa belakangan yang merebak, ternyata bangsa ini sering mengalami konflik. Antarkelompok anak bangsa sering berkelahi dengan membawa nama agama, partai, suku, kampung, hingga nama keluarga. Tak jarang, darah tertumpah dan nyawa melayang sia-sia. Setelah melihat kondisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa penghayatan kita terhadap makna sejati kebinekaan masih belum penuh.
Tanggal 20 Mei 1908, di ujung permulaan abad ke-20, ialah akar dari suatu kebangkitan. Para pemuda Budi Utomo, yang sejumlah anggotanya justru berasal dari keluarga priayi Jawa dan sedang mencicipi sekolah tinggi Barat, dengan semangat bersuara tentang nasib rakyat kecil. Bukan hanya itu, mereka berbicara tentang 'persaudaraan nasional', yaitu sebuah usaha mempersatukan Hindia Belanda tanpa ada perbedaan ras, jenis kelamin, dan kepercayaan.
Keberadaan Budi Utomo melahirkan beberapa organisasi kepemudaan, seperti Tri Koro Darmo (Jong Java), Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, dan Jong Betawi. Organisasi-organisasi itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya Sumpah Pemuda.
Untuk mewujudkan persatuan organisasi-orgaisasi tersebut, mereka melakukan pertemuan dalam rangka mencapai kata mufakat. Pada 15 November 1925, mereka mengadakan kongres pemuda untuk membentuk panitia pelaksanaan kesepakatan bersama. Kemudian, pada 30 April 1926, organisasi-organisasi itu berkumpul dan membentuk rapat besar yang dikenal sebagai Kongres Pemuda I. Dua tahun setelah itu, pada 26-28 Oktober 1929, organisasi-organisasi pemuda, mahasiswa, dan partai politik berkumpul kembali dalam Kongres Pemuda II, dengan agenda utama mempersatukan dan mengobarkan semangat perjuangan dalam diri tiap peserta. Pada hari ketiga kongres, Sumpah Pemuda yang ditulis Muhammad Yamin pada selarik kertas dideklarasikan.
Pada hari itu juga, secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia dan di hari itu pula untuk pertama kalinya WR Supratman memperdengarkan lagu Indonesia Raya melalui gesekan biola yang diiringi alunan piano Dolly, putri Haji Agus Salim. Pijakan dasar tanah air telah dikumandangkan. Pemuda bersatu; gagasan dan cita-cita berjalan untuk diperjuangkan.
Menggugat kebangsaan
Telah 84 tahun berlalu sejak Sumpah Pemuda untuk pertama kalinya disuarakan. Zaman telah mengikis begitu banyak makna dari ikrar sakral itu. Sumpah pemersatu bangsa itu kini terasa kehilangan keramatnya. Pada era milenium ini, pemuda terkesan tidak lagi mempersoalkan ideologi dalam tataran makna. Para pemuda era modern ini lebih berkonsentrasi mengejar prestasi individu ketimbang memikirkan kebersamaan bangsa. Sepertinya, pemuda di era milenium ini lebih menikmati untuk membangun menara kebanggaan di bidang sosial, ekonomi, dan politik.
Lebih dalam, setidaknya ada dua hal mendasar yang bisa kita gugat karena bisa melunturkan gairah kebangsaan. Yang pertama ialah semakin parahnya tingkat pragmatisme politik. Euforia reformasi menenggelamkan semangat demokrasi. Partai politik (parpol) yang tumbuh dan berdiri setelah reformasi belum diikuti proses kematangan budaya politik. Secara kasatmata, parpol masih berfungsi sebagai kendaraan untuk memperoleh kekuasaan politik. Fungsi parpol sebagai penyalur aspirasi dari rakyat kepada pemerintah terlihat putus. Kepemimpinan nasional yang lahir dari parpol dalam proses demokrasi belum seirama dengan kehendak publik.
Kedua, kini nilai kebangsaan Indonesia masih diwarnai penonjolan sikap primordial antardaerah. Pelaksanaan otonomi daerah juga tidak sejalan dengan semangat kebangsaan. Bukti politik identitas primordialisme itu tampak dari semakin merebaknya keinginan daerah untuk berlomba-lomba mengurus diri sendiri, pemekaran wilayah dari tingkat provinsi sampai desa. Eksploitasi besar-besaran dilakukan, termasuk menguras kekayaan rakyat melalui regulasi daerah yang tujuan akhirnya untuk mendapatkan pemasukan uang. Tidak perlu heran jika kelak pada suatu saat nanti terjadi ketimpangan antara daerah yang kaya dan yang miskin karena tipisnya kesadaran kolektif untuk saling menolong.
Padahal, menurut Ernest Renan, 'bangsa adalah suatu nyawa, suatu akal yang terjadi dari dua hal, yaitu rakyat yang harus bersama-sama menjalankan satu riwayat dan rakyat yang kemudian harus mempunyai hasrat dan kemauan hidup untuk menjadi satu'. Renan menyebut bahwa bangsa lahir dari 'hasrat buat bersatu', tapi seperti halnya tiap hasrat, ia tak akan sepenuhnya terpenuhi dan hilang. Hidup tak pernah berhenti, kecuali mati. Keutuhan bangsa ialah bagian erat dari kehidupan kita.
Menggugah kebangsaan
Sejarah Indonesia memberikan kita pelajaran, harapan ialah sesuatu yang sulit diraih, tapi ia tidak akan pernah sirna. Harapan selalu ada. Jika kita membuka lagi lembar demi lembar sejarah, kita mengetahui bangsa Indonesia ini dibangun dari kepingan-kepigan optimisme yang pendek. Meskipun begitu, ia selalu bisa bangkit dan siap bekerja kembali.
Melalui semangat Sumpah Pemuda ini, kita harus menghayati laku para pemuda pelopor kebangkitan negeri ini. Mereka rela melepaskan atribut kedaerahan dan melebur menjadi satu di bawah bendera Indonesia. Setelah ikrar itu terucap, tidak ada lagi sekat-sekat yang sebelumnya menjadi tembok besar dalam mempersatukan bangsa yang memang penuh dengan ragam warna-warni budaya ini.
Kita harus meresapi, apa yang mendorong mereka untuk melebur diri ke dalam Indonesia. Mungkin bagi mereka, tanah air ialah bagian dari bumi dan badan. Raga tergerak karena ada bagian dari tubuh mereka yang lekat dengan bumi: tanah air. Tanah air ialah kenangan yang terpaut dengan raga dan rumah harapan masa depan.
Sumpah Pemuda ialah pertanda setiap manusia tidak berdiri sendiri, ada gerak yang mengubah 'kami' menjadi 'kita'. Sumpah Pemuda membuat kita sadar bahwa bangsa sebenarnya bukan hanyalah sebuah asal. Bangsa adalah harapan, dan di dalamnya terukir cita-cita bersama: kebersamaan, keadilan, dan kesejahteraan. Kita bekerja bersama untuk mewujudkan cita-cita itu. Sungguh tantangan yang menggugah. Bisakah kita mewujudkannya?
Sumber: Media Indonesia, 31 Oktober 2012
Komentar
Posting Komentar