Langsung ke konten utama

Langgar Bubrah, Sebuah Akulturasi Hindu-Islam

Furqon Ulya Himawan

 

Tak hanya Menara Kudus. Ada bukti lain akulturasi budaya Hindu dan Islam di Kudus, dan lebih dahulu berdiri.

LANGGAR Bubrah namanya. Langgar adalah sebuah tempat ibadah umat Islam seperti masjid, tetapi bangunannya lebih kecil sehingga orang Jawa menyebutnya langgar.

Mirip dengan Menara Kudus, bangunannya terdiri dari tumpukan batu bata merah yang tertata. Namun, karena tidak utuh atau hancur, sehingga dinamakan bubrah atau hancur.

Langgar tersebut terletak di desa dan di tengah-tengah rumah warga. Tepatnya di Dusun Tepasan, Desa Demangan, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 8,74x8,40 meter itu memiliki panjang 6,30 meter, lebar 6 meter, dan tinggi 2,75 meter. Adapun luas bangunannya sekitar 37,80 m2.

Pada abad ke-15 Masehi, tepatnya 1546, sebelum Menara Kudus berdiri, para ulama di Kudus terlebih dahulu membangun sebuah bangunan yang difungsikan sebagai masjid.

Menurut Zaimul Azzah, arkeolog Islam dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, Langgar Bubrah dibangun Pangeran Poncowati, senopati dari Sunan Kudus Ja'far Shodiq yang terkenal akan kesaktiannya.

Namun dalam prosesnya, bangunan tersebut tidak selesai karena suatu kondisi. "Dalam ceritanya, bangunan tersebut harus dibangun dalam semalam dan tidak boleh kamanungsan (diketahui) oleh orang lain. Tapi, karena kemanungsan, tidak jadi dan dinamakan Langgar Bubrah," ujar Zaimul Azzah, yang pernah melakukan penelitian tentang bangunan tersebut.

Bentuk Langgar Bubrah, yang pembangunannya dilakukan dalam masa transisi dari Hindu-Buddha ke Islam, sangat terbuka terhadap akulturasi kebudayaan kedua agama tersebut.

Terlebih, dalam penyebaran agama Islam di Kudus, Ja'far Shodiq sangat menghargai perbedaan dan menghormati pemeluk agama lain. "Toleransi terhadap umat beragama yang dimiliki Sunan Kudus sangat besar," ujar Zaimul Azzah.

Dalam Langgar Bubrah, akulturasi itu juga tampak pada mihrab dengan adanya relung di dinding sebelah luar yang dihias dengan motif tumbuh-tumbuhan. Pada dinding sebelah tenggara terdapat relief seorang laki-laki yang rambutnya tertata seperti kepala Buddha berposisi berdiri.


Batu Warisan Hindu

Berdasarkan data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kudus, di lokasi Langgar Bubrah juga terdapat sebuah lumpang batu persegi panjang, dengan ukuran panjang 95 cm, lebar 45 cm, dan tinggi 35 cm.

Bentuk seperti batu pipisan yang berfungsi menghaluskan biji-bijian dan meramu jamu secara tradisional. Dari identifikasi Seksi Sejarah Museum dan Kepurbakalaan bersama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kudus, benda tersebut merupakan hasil budaya Hindu-Buddha sebelum Islam masuk ke Kudus. Batu tersebut merupakan peralatan atau sarana pemujaan.

Selain itu, juga ada batu bundar yang berlubang di bagian tengah. Batu itu disebut juga sebagai yoni. Sebuah lambang kewanitaan atau lambang bumi. Yoni atau lumpang batu itu merupakan pelengkap lingga, sebagai lambang kesuburan.

Di sekitar Langgar Bubrah juga ditemukan sebuah batu lingga dengan ukuran panjang 125 cm, luas lingkaran 155 cm, tinggi 125 cm, dan memiliki garis tengah 45 cm. Lingga tersebut dilambangkan sebagai simbol kesuburan dan merupakan penggambaran Dewa Siwa. Juga sebagai simbol dari kesatuan yang abadi atau simbol dewa yang tak berbentuk.

Menurut kitab agama Hindu, lingga harus ditempatkan di tengah-tengah garbhagrha (bilik utama sebuah candi). Dengan adanya bukti-bukti sejarah tersebut, diperkirakan Langgar Bubrah dulunya merupakan sebuah bangunan candi kecil.

Ketika agama Islam masuk ke Kudus, oleh para wali tempat itu diubah menjadi masjid atau langgar.

Adapun batu-batu yang terdapat di sekitar Langgar Bubrah, yang menjadi bukti keberadaan masa pra-Islam, ialah benda nonpermanen. "Tidak tertutup kemungkinan batu-batu tesebut dipindah dari tempat asal," jelas Zaimul.

Yang pasti, imbuh Zaimul, akulturasi budaya antara Islam dan Hindu memang terjadi pada masa-masa itu. Hal itu terlihat dari cara damai Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam di sana.

Langgar Bubrah merupakan sebuah bukti akulturasi budaya yang ada di Kudus, bahwa kehidupan agama berjalan serasi dan harmonis. Sampai sekarang, di depan jalan gang masuk ke Langgar Bubrah, sekitar 100 meter, masih berdiri kukuh tempat ibadah umat China, Klenteng Hok Ling Bio. 

Namun sayang, kondisi Langgar Bubrah, yang statusnya sekarang sebagai benda cagar budaya, memprihatinkan. Tulisan atau petunjuk saja bahwa itu Masjid Bubar (Langgar Bubrah) juga tidak ada. (M-1)


miweekend

@mediaindonesia.com

 

Sumber: Media Indonesia, 8 Juli 2012



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

"Abangan"

Oleh AJIP ROSIDI I STILAH abangan berasal dari bahasa Jawa, artinya "orang-orang merah", yaitu untuk menyebut orang yang resminya memeluk agama Islam, tetapi tidak pernah melaksanakan syariah seperti salat dan puasa. Istilah itu biasanya digunakan oleh kaum santri  kepada mereka yang resminya orang Islam tetapi tidak taat menjalankan syariah dengan nada agak merendahkan. Sebagai lawan dari istilah abangan  ada istilah putihan , yaitu untuk menyebut orang-orang Islam yang taat melaksanakan syariat. Kalau menyebut orang-orang yang taat menjalankan syariat dengan putihan  dapat kita tebak mungkin karena umumnya mereka suka memakai baju atau jubah putih. Akan tetapi sebutan abangan-- apakah orang-orang itu selalu atau umumnya memakai baju berwarna merah? Rasanya tidak. Sebutan abangan  itu biasanya digunakan oleh orang-orang putihan , karena orang "abangan" sendiri menyebut dirinya "orang Islam". Istilah abangan  menjadi populer sejak digunakan oleh Clifford ...