Langsung ke konten utama

JEJAK NASIONALISME DI BOVEN DIGOEL (2) Saksi Perjuangan yang Tak Terawat

Boven Digoel atau Digoel Atas yang kini terletak di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua, menjadi tempat pembuangan yang mengerikan. Sedikitnya dua tokoh pejuang bangsa yang sempat diasingkan ke sana ialah Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta. 

Oleh KORANO NICOLASH LMS

Tempat pengasingan yang dibangun Belanda dan kemudian digunakan secara resmi mulai 10 Desember 1926 tersebut terdiri atas empat bagian. Bagian pertama disebut Penjara Tana Tinggi.

"Penjara Tana Tinggi itu saat ini terletak di Distrik Kou. Posisi penjara yang berbentuk goa tersebut persis di pinggir Sungai Digoel yang dulunya masih banyak dihuni buaya," kata Adrianus Moromon, sarjana sejarah Universitas Cenderawasih, Papua, yang penelitian akhirnya mengenai Boven Digoel.

Persis di tepi Sungai Digoel dibuat pintu terali besi yang bisa dibuka setiap saat. "Dengan begitu, bila ada tahanan yang sudah dianggap tidak bisa dikendalikan, tinggal dimasukkan ke penjara tersebut agar berhadapan langsung dengan pemangsa alam Sungai Digoel itu," tutur Andi, begitu panggilan akrab Adrianus Moromon. 

Itu sebabnya hampir sebagian besar dari 42 pejuang perintis kemerdekaan yang dimakamkan di Makam Pahlawan Perintis Kemerdekaan Boven Digoel itu tidak lagi utuh tubuhnya. 

"Ada yang hanya jari-jari tangan atau telapak kaki saja. Ada juga yang kepala saja. Pemakamannya pun seadanya saja. Itu sebabnya, kalau dilihat sekarang, sudah jauh berbeda. Dulu letak makamnya masih berantakan, baru kemudian ditata sebagaimana layaknya makam pahlawan lainnya," kata Andi.

Namun, penjara Tana Tinggi yang lebih mudah ditempuh dari Tana Mera, Ibu Kota Kabupaten Boven Digoel, sekitar empat jam menggunakan perahu jonson, pintu terali besinya sudah mulai tak terawat.

Panjang goa yang terletak di wilayah tanah adat suku Wambon atau biasa disebut suku Mandobo itu pun mulai berkurang akibat abrasi Sungai Digoel selama hampir 86 tahun ini.

Tak berbekas

Bagian kedua dari tempat pembuangan Boven Digoel ini ialah permukiman terbatas yang disebut Petak. Ada Petak 1 hingga Petak 10. Semua petak terletak di kawasan Kampung Sokanggo yang hanya sepelemparan batu dari Tana Mera. 

Sesuai nomornya, Petak 1 hingga Petak 2 letaknya lebih dekat dengan Tana Mera, tempat di mana perangkat Pemerintah Hindia Belanda dan polisi bermukim. "Yang dekat-dekat itu biasanya menjadi tempat tahanan mereka yang kooperatif dengan Belanda," kata Andi.

Petak yang makin jauh dari Tana Mera penghuninya semakin tidak kooperatif. Hingga sampai Tanah Tinggi, yang menjadi tempat pembuangan mereka ialah yang benar-benar membangkang terhadap Belanda. 

Namun, jangan dibayangkan seperti permukiman umumnya. Sebagai tempat pembuangan dan pengasingan, semua tempat yang dijadikan penjara sama sekali tidak berlantai dan beratap. "Jadi, kalau mau permukimannya beratap, ya, usaha sendiri," tambah Thimoteus Anuk, staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Boven Digoel.

"Bung Hatta menempati salah satu hunian di Petak 6 yang juga masih berada di kawasan Kampung Sokanggo, Distrik Mandobo. Hanya memang bangunan tempat tinggalnya pada 1935 hingga 1936 tersebut kini sudah tak berbekas," kata Andi.

Selain permukiman yang disebut petak, ada lagi yang disebut kamp. Permukiman kamp ini hanya ada Kamp A, B, dan Kamp C. "Ini merupakan permukiman yang terdekat dengan Tana Mera. Sekalipun hunian ini untuk mereka yang kooperatif dengan Belanda, tetapi tetap saja tak beratap," katanya.

Mereka yang jadi penghuni di kamp merupakan tahanan yang dipekerjakan Belanda untuk membantu berbagai jenis pekerjaan. "Mulai dari hanya mengurus rerumputan hingga pekerjaan administrasi di penjara," ujar Thimoteus.

Dan, bagian terakhir adalah bangunan Penjara Boven Digoel di Tana Mera. Penjara ini digunakan tidak hanya untuk membuat jera para tahanan, tetapi juga dapat mengguncang mental para tahanan. Sutan Syahrir sempat menikmati Penjara Boven Digoel ini setelah ditangkap Belanda karena menjadi penggerak perjuangan.

Salah satu sel tahanan yang paling terkenal dari Penjara Boven Digoel ini ialah sel bawah tanah. Sel ini dipastikan bisa membuat trauma penghuninya. Sebab, selain masuk dalam keadaan bugil tanpa batas waktu yang pasti, dalam kondisi gelap harus menghadapi serangan nyamuk malaria.

"Itu sebabnya, mereka yang keluar dari sel ini tidak hanya mengalami tekanan fisik, tetapi lebih banyak mengalami kelainan mental berkepanjangan," kata Thimoteus yang kini juga aktif di Dewan Kesenian Boven Digoel.

Berbeda dengan tahanan politik pada Perang Dunia II ketika Jerman di era Nazi dengan sengaja membuat penjara pembantaian. "Di Boven Digoel, yang jadi penyebab kematian itu adalah alamnya," tutur Andi.

Setelah puluhan tahun silam, kondisi tempat pengasingan yang jadi saksi penderitaan dan perjuangan bangsa itu kurang terawat. Jika dibandingkan dengan 1995, memang kondisinya agak lebih baik, tetapi tetap saja belum terawat baik.

Padahal, saat ini puluhan pegawai Boven Digoel tengah pergi ke Belanda untuk menjual sejarah Boven Digoel. Kalau tidak dirawat dan ditata dengan baik, apanya yang mau dijual?

Runyamnya, hampir semua bangunan cagar budaya yang berada di dekat Penjara Boven Digoel berubah fungsi jadi hunian polisi. "Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tidak bisa begitu saja melayangkan surat permintaan agar polres menarik keluar anggotanya yang mendiami semua bangunan cagar budaya," kata Thimoteus.

Di Boven Digoel saat ini, jangankan tempat bersejarah itu, bahkan gedung-gedung dan fasilitas lainnya juga kurang terawat.



Sumber: Kompas, 25 Mei 2012 (est.)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Arek-arek Soerobojo Hadang Sekutu

Mengungkap pertempuran bersejarah 10 Nopember 1945 sebagai mata rantai sejarah kemerdekaan Indonesia, pada hakekatnya peristiwa itu tidaklah berdiri sendiri. Ia merupakan titik klimaks dari rentetan insiden, peristiwa dan proses sejarah kebangkitan rakyat Jawa Timur untuk tetap melawan penjajah yang ingin mencoba mencengkeramkan kembali kukunya di wilayah Indonesia merdeka. Pertempuran 10 Nopember 1945--tidak saja merupakan sikap spontan rakyat Indonesia, khususnya Jawa Timur tetapi juga merupakan sikap tak mengenal menyerah untuk mempertahankan Ibu Pertiwi dari nafsu kolonialis, betapapun mereka memiliki kekuatan militer yang jauh lebih sempurna. Rentetan sejarah yang sudah mulai membakar suasana, sejak Proklamasi dikumandangkan oleh Proklamator Indonesia: Soekarno dan Hatta tgl 17 Agustus 1945. Rakyat Jawa Timur yang militan berusaha membangun daerahnya di bawah Gubernur I-nya: RMTA Soeryo. Pemboman Kota Hiroshima dan Nagasaki menjadikan bala tentara Jepang harus bertekuk lutut pada ...

Misteri Jangkar Raksasa Laksamana Cheng Ho: Kabut Sejarah di Perairan Cirebon

TINGGINYA menjulang sekitar 4,5 sampai 5 meter. Bentuknya sebagaimana jangkar sebuah kapal, terbuat dari besi baja yang padat dan kokoh. Bagian tengahnya lurus serta di bawahnya berupa busur dengan kedua ujung yang lancip. J ANGKAR kapal berukuran besar itu sampai kini diletakkan di ruangan sebelah utara dari balairung utama Vihara Dewi Welas Asih. Dengan berat yang mencapai lebih dari tiga ton, benda bersejarah itu disimpan dalam posisi berdiri dan disandarkan di tembok pembatas serambi utara dengan balairung utama yang menjadi pusat pemujaan terhadap Dewi Kwan Im, dewi kasih sayang.  Tempat peribadatan warga keturunan Tionghoa pemeluk agama Buddha ini terletak di areal kota tua di pesisir utara Kota Cirebon. Bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya sejak 2011 ini didirikan pada awal pertengahan abad ke-16, tepatnya tahun 1559 Masehi. Letaknya berada di pesisir pantai, persis bersebelahan dengan Pelabuhan Kota Cirebon. Kelenteng ini berada di antara gedung-gedung tua m...

Hari Pahlawan: MENGENANG 10 NOPEMBER 1945

Majalah Inggeris "Army Quarterly" yang terbit pada tanggal 30 Januari 1948 telah memuat tulisan seorang Mayor Inggeris bernama R. B. Houston dari kesatuan "10 th Gurkha Raffles", yang ikut serta dalam pertempuran di Indonesia sekitar tahun 1945/1946. Selain tentang bentrokan senjata antara kita dengan pihak Tentara Inggeris, Jepang dan Belanda di sekitar kota Jakarta, di Semarang, Ambarawa, Magelang dan lain-lain lagi. Maka Mayor R. B. Houston menulis juga tentang pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di Surabaya. Perlu kita ingatkan kembali, maka perlu dikemukakan di sini, bahwa telah terjadi dua kali pertempuran antara Tentara Inggeris dan Rakyat Surabaya. Yang pertama selama 3 malam dan dua hari, yaitu kurang lebih 60 jam lamanya dimulai pada tanggal 28 Oktober 1945 sore, dan dihentikan pada tanggal 30 Oktober 1945 jauh di tengah malam. Dan yang kedua dimulai pada tanggal 10 Nopember 1945 pagi sampai permulaan bulan Desember 1945, jadi lebih dari 21 har...