Langsung ke konten utama

Jalan Kebangkitan Bangsa

Oleh YONKY KARMAN

Satu dari tiga program politik balas budi (Politik Etis) penguasa kolonial adalah perluasan kesempatan belajar bagi pribumi di Hindia Belanda.

Dari situ muncul elite intelektual pribumi dengan kesadaran baru bahwa masa depan rakyat terjajah berada di tangan mereka. Pendidikan telah membuat mereka berkenalan dengan gagasan sosialis yang memberi energi intelektual melepaskan diri dari cengkeraman kuku imperialisme kapitalisme. Kecerdasan kritis itu mewujud dalam Kebangkitan Nasional, tonggak pertama sejarah Indonesia modern.

Lalu muncul sekolah swasta independen yang menggabungkan kurikulum Barat dan unsur-unsur kebudayaan lokal: Muhammadiyah (1912) dan Taman Siswa (1922). Kesadaran berbangsa modern yang mengatasi keterkotakan primodial mewujud dalam Sumpah Pemuda, tonggak sejarah berikutnya. Puncaknya: Proklamasi Kemerdekaan.

Roh Kebangkitan hilang

Namun, memori kolektif kita tentang kemerdekaan bukanlah diplomasi perjuangan para aktor intelektual kemerdekaan. Citra kemerdekaan kita bambu runcing, slogan "merdeka atau mati", heroisme perjuangan yang mengandalkan otot. Republik bak kehilangan intelektualitasnya. Selanjutnya pendidikan tak mendapat tempat di era politik sebagai panglima. Demikian pula di era ekonomi sebagai panglima.

Daripada sebagai ujung tombak pencerdas bangsa, barisan guru dijadikan bagian mesin politik yang melanggengkan status quo. Kaum birokrat terdidik (teknokrat) tak mampu menyelamatkan Indonesia dari perangkap korupsi. Akhirnya, Indonesia sempat bangkrut.

Lalu malam hari 20 Mei 1998 Soeharto memutuskan lengser. Yang bangkit adalah demokrasi politik multipartai dan primordialisme agama. Sempat muncul takut korupsi di awal reformasi, tetapi momentum itu lewat tanpa reformasi birokrasi. Sampai kini birokrasi tetap gemuk: beban pembangunan dan sumber korupsi.

Beberapa bulan sesudah Soeharto turun, Ali Sadikin mengomentari politisasi agama sebagai "awal kehancuran agama karena dimanfaatkan untuk tujuan politik" (Time, 30/11/1998). Agama dianut, dibela, dan jadi pangkal perselisihan, tetapi tanpa kekuatan membentuk kesalehan sosial, mencegah kemunafikan, menurunkan indeks korupsi bangsa, serta melawan pesona materialisme dan hedonisme.

Jalan kebangkitan bangsa-bangsa di Asia pada paruh kedua abad ke-20 tak terpisah dari pendidikan dan kebudayaan. Awalnya mereka menoleh ke Barat, tidak untuk mengemis alih teknologi, tetapi untuk menguasainya. Investasi asing berarti transfer teknologi. Kaum muda mereka dikirim belajar ke negara maju dan, setelah kembali, disediakan fasilitas menerapkan dan mengembangkan ilmunya.

Jepang, Korea Selatan, India, dan China mengalami percepatan penguasaan teknologi. Mereka kuasai idiom puncak peradaban Barat, memperbaiki mutu bangsa dengan jalan pendidikan. Kebarat-kebaratan ditangkal dengan warisan kultural bangsa. Di era globalisasi mereka bangkit dengan identitas kultural mereka.

Pemerintah China sadar bahwa keunikan musik tradisional akan begitu-begitu saja, bahkan cenderung tergusur. Sambil memopulerkan pendidikan musik klasik Barat dan memajukan orkes simfoni, komposisi dan instrumen musik tradisional China dihadirkan dalam notasi musik yang siap dikonsumsi masyarakat Barat. Alhasil, alat musik gesek bersenar dua (erhu) mampu memainkan karya sulit Flight of the Bumblebee (Rimsky-Korsakov).

Kita yang jauh lebih lama bersentuhan dengan peradaban Barat belum berhasil mempromosikan seruling ke tingkat dunia. Pemerintah kita tak memiliki visi internasionalisasi musik dan instrumen tradisional. Sebaliknya, kita mudah terombang-ambing hegemoni kultur asing, dari yang pop sampai radikal. Pendidikan kita berlangsung tanpa akar budaya bangsa.

Tujuan pendidikan nasional tak fokus dengan memasukkan peningkatan keimanan dan ketakwaan. Padahal, pelajaran agama hanya dua jam per minggu. Namun, sekolah negeri jadi lebih berciri keagamaan daripada kebangsaan. Fungsi agama dan tanggung jawab keluarga diambil alih pendidikan umum. Fokus pendidikan bergeser dari mencerdaskan bangsa.

Reifikasi pendidikan

Karena orientasi target kelulusan, UN menimbulkan gelombang ketakjujuran secara sistematis. Bukan lagi siswa yang tak jujur, melainkan sekolah memfasilitasi ketakjujuran. Polisi dilibatkan selama UN. Guru mata ajar yang terkait UN naik pamor. Spanduk promosi bimbingan belajar terbentang di pintu gerbang sekolah negeri. Pembimbing belajar dari luar lebih kompeten daripada guru bersertifikasi kompetensi.

Tiap tahun UN menjadi hantu menakutkan bagi siswa dan harus dihalau dengan doa bersama. Selama bersekolah siswa tergoda fokus pada pelajaran terkait UN. Pendidikan sastra yang memperhalus budi jadi tak penting, juga pendidikan pembentuk tanggung jawab sebagai warga negara.

Pendidikan berkualitas disederhanakan dengan memopulerkan bahasa Inggris. Petinggi kita menutup mata terhadap fakta gamblang bahwa banyak dari generasi pra-RSBI mampu menempuh pendidikan tinggi di luar negeri, bahkan ada yang berprestasi gemilang. Pemerintah lupa bahwa tujuan akhir pendidikan: memanusiakan manusia muda, mengasah kecerdasan dan budi siswa.

Andai saja dana APBN untuk proyek jalan pintas pendidikan dialokasikan meningkatkan kemampuan guru ajar bahasa Inggris, meningkatkan kesejahteraan guru honorer, memperbaiki infrastruktur sekolah, dan memperkuat SMK yang potensinya ternyata membesarkan hati, niscaya lebih banyak anak negeri menerima layanan pendidikan bermutu. Lebih sedikit siswa terlibat tawuran dan narkoba.

Pemerintah seharusnya membebaskan pendidikan kita dari jebakan paradigma transfer pengetahuan. Jauh sebelum kemerdekaan, Sjahrir melihat mentalitas bumiputra yang memperlakukan ilmu pengetahuan sebagai barang mati, bukan sesuatu yang hidup, berkembang, dan harus dipupuk (Renungan dan Perjuangan, 5-6). Belajar belum dilihat sebagai cara membentuk watak disiplin dan pengendalian diri.

Persoalan kita tak selesai dengan wajib belajar, tetapi juga bagaimana siswa tak merasa terpenjara dalam proses belajar yang menjemukan, yang sedikit-sedikit harus sesuai dengan buku pegangan. Pendidikan kita harus membangkitkan rasa ingin tahu, sikap kritis, semangat menyelidiki, dan inovasi.

Sesudah lebih seabad Kebangkitan Nasional dan hampir 70 tahun merdeka, Indonesia belum juga berdaulat atas sumber energi, pangan, dan keuangannya. Penguasa dan politisi kita kurang amanah memelihara kekayaan sumber alam negeri, yang dieksploitasi untuk menyejahterakan bangsa asing. Pertumbuhan ekonomi kita yang cukup tinggi masih bertumpu pada sumber daya alam dan miskin inovasi.

Secara individual siswa kita menoreh prestasi di kancah internasional. Namun, kebangkitan bangsa bukan hasil kerja individual ataupun swasta. Itu hasil kerja pemerintah yang visioner dan pemimpin bangsa yang serius memberdayakan rakyat. Yang disebut terakhir ini belum hadir.

YONKY KARMAN
Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta



Sumber: Kompas, 24 Mei 2012



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Hari Pahlawan: MENGENANG 10 NOPEMBER 1945

Majalah Inggeris "Army Quarterly" yang terbit pada tanggal 30 Januari 1948 telah memuat tulisan seorang Mayor Inggeris bernama R. B. Houston dari kesatuan "10 th Gurkha Raffles", yang ikut serta dalam pertempuran di Indonesia sekitar tahun 1945/1946. Selain tentang bentrokan senjata antara kita dengan pihak Tentara Inggeris, Jepang dan Belanda di sekitar kota Jakarta, di Semarang, Ambarawa, Magelang dan lain-lain lagi. Maka Mayor R. B. Houston menulis juga tentang pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di Surabaya. Perlu kita ingatkan kembali, maka perlu dikemukakan di sini, bahwa telah terjadi dua kali pertempuran antara Tentara Inggeris dan Rakyat Surabaya. Yang pertama selama 3 malam dan dua hari, yaitu kurang lebih 60 jam lamanya dimulai pada tanggal 28 Oktober 1945 sore, dan dihentikan pada tanggal 30 Oktober 1945 jauh di tengah malam. Dan yang kedua dimulai pada tanggal 10 Nopember 1945 pagi sampai permulaan bulan Desember 1945, jadi lebih dari 21 har...

TRAGEDI HIROSHIMA: Maaf Itu Tidak Pernah Terucapkan ....

Di mata rakyat Jepang, nama Paul Warfield Tibbet Jr menyisakan kenangan pedih. Dialah orang yang meluluhlantakkan Kota Hiroshima dalam sekejap pada 6 Agustus 1945 lalu. Yang lebih pedih lagi, Tibbets, seperti juga pemerintah Amerika Serikat, tidak pernah mau meminta maaf atas perbuatannya itu. Akibat bom atom 'Little Boy' berbobot 9.000 pon (4 ton lebih) yang dijatuhkan dari pesawat pengebom B-29 bernama Enola Gay, 140 ribu warga Hiroshima harus meregang nyawa seketika dan 80 ribu lainnya menyusul kemudian dengan penderitaan luar biasa. Sebuah kejadian yang menjadi catatan tersendiri dalam sejarah perang yang pernah ada di muka bumi. Hingga kini seluruh rakyat Jepang masih menanti kata 'maaf' dari pemerintah AS atas perbuatan mereka 62 tahun silam itu. Paling tidak, Tibbets secara pribadi mau menyampaikan penyesalannya. "Tapi ia tidak pernah meminta maaf. Seperti juga pemerintah AS, ia justru beralasan bom itu telah menyelamatkan jutaan orang Amerika dan Jepa...

Jiwa Bandung Lautan Api

Ingan Djaja Barus Staf Khusus di Dinas Sejarah Angkatan Darat Ingat anak-anakku  sekalian. Temanmu,  saudaramu malahan ada  pula keluargamu yang mati  sebagai pahlawan yang tidak  dapat kita lupakan selama- lamanya. Jasa pahlawan kita  telah tertulis dalam buku  sejarah Indonesia. Kamu  sekalian sebagai putra  Indonesia wajib turut mengisi  buku sejarah itu - Pak Dirman, 9 April 1946 T ANGGAL  24 Maret 1946, terjadi sebuah peristiwa penting dalam sejarah perjuangan kita, yaitu Bandung Lautan Api. Suatu peristiwa patriotik yang gemanya abadi di setiap hati. Tak hanya bagi mereka yang pernah hidup dalam masa berlangsungnya peristiwa itu, tetapi juga bagi mereka yang lahir lebih kemudian. Pada hakikatnya peristiwa "Bandung Lautan Api" merupakan manifestasi kebulatan tekad berjuang dan prinsip "Merdeka atau Mati" TNI AD (Tentara Republik Indonesia/-TRI waktu itu) bersama para pemuda pejuang dan rakyat Jawa Barat. Mereka bergerak melawan...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...