Langsung ke konten utama

Makna Kebangkitan Nasional

Oleh Ema Sa'adah AS

KITA semua mafhum, yang kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional adalah saat kelahiran Boedi Oetomo (BO), 20 Mei 1908, yaitu saat dramatis dalam sejarah Indonesia. Pada saat itulah sebuah organisasi "nasional" orang Jawa--yang lebih bersifat kebudayaan daripada politik--untuk pertama kalinya didirikan (Akira Nagazumi, 1986).

BO bukanlah organisasi nasional dalam pengertian yang sebenarnya, namun BO merupakan sebuah organisasi orang Jawa yang bersifat aristokratik, dan karenanya BO menjadi eksklusif. Wajar jika dalam masa jayanya, BO hanya mampu memiliki jumlah anggota sekitar 10 ribu. Jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan anggota Syarikat Islam misalnya, yang pernah mencapai jumlah anggota 450.099 orang pada 1918 (Benhard Dahm, 1987).

Dua kelemahan

Dalam ciri aristokratik dan eksklusifnya, BO memiliki kelemahan sangat mendasar, terutama menyangkut dua hal. 

Pertama, BO cenderung menafikan dan tidak mengakomodasikan pluralitas masyarakat Hindia Belanda, yang terdiri atas berbagai etnik, kaum dan kelas (priyayi-wong cilik).

Kedua, BO merupakan perhimpunan para priyayi yang--dalam batas-batas tertentu--memiliki daya resistensi cukup tinggi terhadap kolonialisme, akibat privileges yang mereka miliki dalam struktur masyarakat kolonial. BO sendiri justru melupakan kaum wong cilik, yang memiliki daya resistensi yang jauh lebih lemah.

Terlepas dari kelemahannya, menjadikan kelahiran BO sebagai tonggak Kebangkitan Nasional tampaknya dapat dipahami dan dimaklumi, setidaknya jika kita memakai cara pendekatan Nagagumi. Secara fair Nagagumi mengupas berbagai kelemahan BO. Namun ia sendiri menilai, bagaimanapun katalisator yang berperan besar dalam mentransisikan model perlawanan dan pergerakan nasional Indonesia dari model tradisional-parsial-irrasional ke arah model integral-rasional.

Beberapa hikmah

Dengan melihat cara pandang yang dikemukakan Nagagumi, sebenarnya kita dapat memetik beberapa hikmah dari makna Kebangkitan Nasional itu sendiri. 

Pertama, sejarah kelahiran BO mengajarkan sebuah kemampuan yang menakjubkan dalam meredefinisikan persoalan bersama yang dihadapi masyarakat dalam sebuah struktur politik yang senjang dan eksploitatif. Para penggagas BO mengemukakan persoalan penginjak-injakkan martabat manusia, sebagai persoalan bersama yang paling fundamental, sebagaimana diperlihatkan oleh dokumen-dokumen yang dikumpulkan dalam Kilasan Petikan Sejarah Budi Utomo (1975). Bagi mereka, struktur politik yang senjang dan eksploitatif, potensial menciptakan kezaliman dalam hal animalisasi (pembinatangan) manusia. Persoalan bersama yang didefinisikan para penggagas BO pun adalah menolak animalisasi, sekaligus memperjuangankan permasalahan manusia.

Kedua, kelahiran BO pun mengajarkan kepada kita tentang kebangkitan universal untuk melawan kezaliman animalisasi manusia. Kezaliman semacam itu hanya akan terhapuskan oleh adanya kebangkitan kesadaran dan perlawanan konkret, dari manusia yang merasa bermartabat. Di bawah ancaman represi kolonial, Soewardi Soerjaningrat--salah seorang pengurus pertama BO--menunjukkan sikap ini ketika pada 1913 ia menulis, "... akan saya nasihatkan semua orang Belanda untuk tidak menyakiti hati rakyat Hindia Belanda--yang sedang bangkit ...--dan tidak membuatnya menjadi kurang ajar. Sungguh saya akan mengajukan protes dengan segala kekuatanku."

Ketiga, BO memperkenalkan cara-cara modern dalam memperjuangkan penegakan martabat manusia di hadapan kekuasaan yang kokoh. Cara-cara berpikir rasional, sistematis, dan langkah-langkah terorganisirlah yang akan mengefektifkan perjuangan itu.

Keempat, BO juga memperkenalkan untuk pertama kalinya proyek-proyek emansipasi. Dalam struktur masyarakat sosial-ekonomi-politik senjang dan eksploitatif, yang dibutuhkan adalah sejumlah proyek emansipasi ke arah penyetaraan martabat manusia dan pembentukan "semangat perlawanan manusia" atas "kebinatangan manusia". Sekalipun di sini BO tampak ambiguous dalam hal pemilahan yang dilakukannya terhadap "orang Jawa" dan "orang bukan Jawa".

Kelima, setelah terjadi reinterpretasi sejarah kelahiran BO dari tafsir yang menekankan peran tokoh tua Wahidin Soedirohoesodo ke arah peran tokoh muda Soetomo dan kawan-kawan seangkatannya--sejarah BO pun mengajari kita tentang adanya inisiatif kaum muda yang tidak pernah berhenti berpikir untuk bangsanya. Kaum muda yang senantiasa menganggap bangsanya dalam keadaan kritis, karenanya setiap waktu dibutuhkan perubahan dan perbaikan. Bahkan Juwono Sudarsono, dalam sebuah diskusi, menyebutkan kaum muda sebagaimana Soetomo dan kawan-kawannya itu sebagai "kaum muda demokrat".

Kebangkitan kedua

Dalam Pidato Kenegaraan, 16 Agustus 1990, Presiden Soeharto memperkenalkan konsep "Kebangkitan Nasional Kedua" yang diartikan sebagai periode untuk melanjutkan, meningkatkan, memperluas, dan memperdalam makna pembangunan. Saat itu presiden menunjuk bahwa 1993 merupakan langkah awal kebangkitan nasional kedua tersebut. Kini konsep tersebut sudah berjalan selama empat tahun. Bagaimana kita mendefinisikan secara operasional makna kebangkitan nasional kedua itu? Jawaban dari pertanyaan ini, akan menentukan apakah konsep itu sekadar retorika politik ataukah benar-benar konsep empirik yang dapat diverifikasi ke dalam kenyataan politik. Dengan mengenal esensi dari perjalanan sejarah kelahiran Kebangkitan Nasional Pertama (1908), definisi dari "Kebangkitan Nasional Kedua" itu pun dengan sendirinya akan tersibak. Realisasi konsep Kebangkitan Nasional Kedua, adalah sebuah beban sejarah yang tidak ringan. Jauh lebih berat daripada sekadar meretorikakan konsep tersebut untuk konsumsi politik sesaat.

Kearifan dan kapabilitas kita sebagai bangsa, akan terukur oleh sejauh mana kita mampu memperpendek jarak antara retorika politik kebangkitan nasional kedua dengan berbagai program konkretisasinya. Di samping itu, bagaimana kita membumikan nilai-nilai historis kebangkitan nasional tersebut ke dalam kenyataan masa kini?

Dalam hal ini kita harus memberi definisi operasional pada kebangkitan nasional kedua, dalam artian merefleksikan beberapa pelajaran sejarah kebangkitan nasional tersebut ke dalam konteks pembangunan kita. Kebangkitan nasional kedua itu pun mengandung pengertian sebagai berikut.

Pertama, meningkatkan kualitas pembangunan sebagai upaya memanusiakan manusia, yakni pembangunan martabat manusia (Robert P. Clark, 1989). Di dalamnya terdapat sejumlah kebutuhan aktual menuju pembentukan pembangunan martabat manusia, sebagai konkretisasi kebangkitan nasional kedua.

Kedua, kebangkitan nasional kedua berarti mengatasi krisis disintegrasi yang dimungkinkan terjadi oleh kebangkitan primordialisme dan politik aliran. Kebangkitan nasional kedua merupakan masa ketika kita harus melakukan proyek konkret untuk mempertahankan kesatuan negara bangsa. 

Ketiga, kebangkitan nasional kedua dapat juga didefinisikan sebagai satu periode kebangkitan kesadaran melawan kezaliman zaman kita.

Apalagi pada setiap zaman, kezaliman itu selalu muncul di tengah-tengah kita. Kezaliman pada saat kita berada sekarang ini, adalah terjadinya praktek unfair economic and political games yang membawa kita pada berbagai bentuk kesenjangan dan keterbelakangan.

Keempat, kebutuhan operasional lain yang melekat dalam kebangkitan nasional kedua adalah kebutuhan memodernkan cara kita menghampiri pesoalan-persoalan pembangunan.

Dalam konteks ini, kebangkitan nasional kedua berarti proses transisi pendekatan pembangunan, yang di dalamnya terdapat dua agenda operasional. Pertama, mentransisikan pendekatan keamanan ke arah pendekatan kesejahteraan. Kedua, mengubah apa yang disebut oleh David C. Korten (1989) sebagai model pembangunan yang berpusat pada negara dan bertumpukan pada peran rekayasa negara (state centered development) ke arah model yang lebih menekankan peran inisiatif masyarakat (people centered development).

Akhirnya, kebutuhan yang dicuatkan kebangkitan nasional kedua adalah mentransisikan struktur dan proses politik kita yang cenderung masih digerakkan oleh "orang tua" (gerontokratif) menjadi struktur dan proses yang memberi tempat pada posisi dan peran kaum muda. Dengan demikian, kebangkitan nasional kedua berarti memberi tempat pada "generasi peralihan" dan "generasi baru" untuk mengembangkan diri dan menjalankan pembaharuan politik versi mereka.*


* Ema Sa'adah AS., aktivitas Perkumpulan Wanita Membangun Bangsa (Pertabangsa,), tinggal di Majalaya, Bandung.


Sumber: Bandung Pos, 26 Mei 1997


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...