Oleh Agus Sopian
SEBELUM Indische Partij benar-benar terperosok ke lubang gelap sejarah dan gagal untuk bangkit lagi, benih-benih radikalisme politik tiba-tiba saja bersemi. Terlebih, setelah Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV) berdiri. Nanti, kita akan melihat betapa berhasilnya ISDV menjadikan ideologi Marxisme sebagai pil ecstasy yang membius massa untuk berlaku hiperaktif, untuk bertindak di luar kontrol, untuk melakukan pemberontakan prematur dan irrasional--namun akhirnya down dengan segala nestapa yang mengekorinya.
Sebagai partai politik, ISDV memang piawai dalam menghimpun massa. Dengan ideologi Marxis yang dimilikinya--oleh-oleh HJFM Sneevliet, seorang pemimpin buruh dari Negeri Belanda, yang juga anggota Sociaal Democratische Arbeiderspartij (Partai Buruh Sosial Demokrat) setempat--ISDV dalam tempo relatif cepat panen anggota dan simpatisan. Ketika menyimak prakondisi begitu kondusif untuk memuluskan ambisi politik yang diyakininya, menyebarkan ideologi yang dianutnya, melicinkan jalan menuju tahta kekuasaan yang sangat diidam-idamkannya, para 'pengkhotbah' Marxisme segera mengejawantahkan rencana-rencana strategisnya.
Sneevliet, yang mungkin merasa sebagai pembawa paham itu dan karenanya boleh jadi menganggap sebagai 'empu' Marxisme, tampil di garda depan. Dia memulai mengimplementasikan rencananya dengan membawa Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel (VSTP), sebuah serikat buruh tertua di Indonesia, ke arah yang radikal.
Tak puas dengan itu, Sneevliet memprakarsai pendirian ISDV pada Mei 1914 bersama-sama JA Brandsteder, P Bergsma, dan HW Dekker. Kurang lebih setahun kemudian, untuk menggalang opini publik, ISDV menerbitkan Het Vrije Woord, sebuah majalah yang sarat dengan pelbagai propaganda politik.
Untuk memperbesar pengaruhnya, seperti juga seumumnya organisasi-organisasi yang berhaluan Marxisme, ISDV mengajak kerja sama organisasi-organisasi lain (yang biasanya diputuskan kemudian setelah tujuan-tujuannya tercapai). Lirikan pertama ISDV, tentu saja pada Insulinde yang kebetulan memiliki anggota besar. Pada 1917, Insulinde beranggotakan 6000 kepala. Lalu, SI. Dengan menggunakan taktik infiltrasi--yang dikenal dengan nama "blok di dalam"--ISDV berhasil menyusup ke tubuh SI.
Dalam waktu setahun, Sneevliet cs telah mempunyai pengaruh yang kuat di kalangan anggota-anggota SI. Hebatnya lagi, ISDV mampu menarik keluar pemimpin-pemimpin muda SI yang berbakat dan potensial. Mereka di antaranya Darsono dan Semaun. Nama yang disebut terakhir, setelah eksodus ke Semarang, berhasil membiakkan anggota ISDV dari 1700 menjadi 20.000 orang.
Merasa kuku-kukunya kian menancap di masyarakat, ISDV akhirnya balik menikam SI. Penyerangan-penyerangan terhadap SI konon sama dahsyatnya dengan penyerangan terhadap pemerintah kolonial dan kalangan kapitalis. Kelakuan seperti ini praktis membuat SI tidak lagi percaya pada 'ketulusan dan keikhlasan' ISDV dalam menjalin kerja sama. Maka, tahun 1917, SI memutuskan rantai hubungan dengan ISDV.
Mungkin soal itulah yang menjadi salah satu penyebab kenapa kaum moderat ISDV tiba-tiba memilih keluar dan mendirikan SDAP (organisasi asal Sneevliet--pen) cabang Hindia Belanda. Ketika Revolusi Bolsyewik di Rusia pecah, tubuh ISDV telah bersih dari unsur-unsur yang moderat dan dapat dikatakan bahwa sikapnya telah bersifat komunistis. Semakin komunistis tatkala ISDV menyimak berita kemenangan kaum Bolsyewik. Dan, terilhami oleh kemenangan ini, dengan berapi-api ISDV menyerukan agar revolusi Rusia diimpor ke Hindia Belanda.
Seruan ISDV mendapat sambutan. Beralasan disambut, sebab kondisi memang sedang kurang menentu, menyusul aura Politik Etis yang tiba-tiba meredup akibat dunia mulai dijangkiti krisis ekonomi. Kurang bersinarnya Politik Etis, langsung telah memperpanjang barisan penganggur dan orang-orang lapar. Busetnya, mereka yang miskin ini, melihat kenyataan berbeda pada diri golongan Eropa dan sebagian Timur Asing. Perusahaan-perusahaan milik mereka mengalami kemajuan pesat, dengan keuntungan berlipat-lipat. Gap yang menyolok mata, segera menjadi pangkal kegelisahan masyarakat.
Kondisi semacam itulah agaknya yang menjadi senjata utama kaum sosialis-marxis untuk berkampanye habis-habisan. Massa ditekuk, ditaklukkan kesadarannya, untuk kemudian dimobilisir dalam suatu kekuatan bersenjata. Dalam waktu tiga bulan, akhir 1917, ISDV konon mampu mengumpulkan sekitar 3000 prajurit untuk dikerahkan dalam gerakan revolusi versinya. Mereka ini, terdiri atas kekuatan rakyat pengangguran, para petani dan golongan buruh, yang dilapis dengan serdadu-serdadu dan pelaut Belanda yang mbalelo. Krisis Nopember pun pecah.
Massa ISDV, ibarat kesurupan, berkelahi dengan polisi-polisi pemerintah kolonial dalam suatu medan demonstrasi berdarah. Pada saat yang sama, penerbitan-penerbitan ISDV menyerang habis-habisan kebijakan-kebijakan suprastruktur. Situasi semakin tidak terkendali manakala SDAP cabang Hindia Belanda, BO, Insulinde dan SI terpancing untuk berteriak. Tuntutannya, pemerintah kolonial Belanda harus segera menyulap Volksraad dengan parlemen pilihan rakyat.
Gubernur Jenderal van Limburg Stirum "mengalah". Dia berjanji akan segera melakukan perubahan-perubahan mendasar seperti yang dituntutkan oleh arus bawah itu. Tampaknya, janji van Limburg Stirum bukan sekadar suatu isapan jempol. Ia mendapat sokongan dari sana-sini, termasuk dari Idenburg, Menteri Jajahan Belanda. Tapi, di pihak lain, gubernur jenderal yang dikenal sangat toleran terhadap perkembangan di Indonesia, itu pun tak urung mendapat tekanan dari pelbagai sisi.
Maka, begitu stabilitas kembali dapat dikendalikan, van Limburg Stirum, tak kuasa lagi untuk mencegah naluri suprasistem kolonial yang memang keras dan liar. Akhirnya, suprasistem itu kembali menyeringaikan gigi-gigi kekuasannya: anggota-anggota militer yang indisipliner langsung diberi 'kartu merah' dengan hukuman yang berat, pegawai negeri yang terlibat kontan dimutasikan, dan para 'pemberontak'--entah itu kaum merah, kaum hijau, kaum kuning, kaum ungu atau entah warna apalagi--ditangkapi.
Sneevliet sendiri, yang selama ini bulan-bulanan dituding sebagai embahnya Marxisme, diusir dari Hindia Belanda. ISDV akhirnya collaps, depresi, kehabisan darah, loyo, dan semaput. Pada 1918, ISDV bisa dibilang nyaris tanpa gerakan.
Tapi, ISDV belum lagi mati. Dengan sisa-sisa kekuatannya, Mei 1920, Semaun cs--dibantu oleh sejumlah aktivis politik Belanda yang berhaluan Marxis--menyulap ISDV menjadi Partai Komunist Hindia. Tujuh bulan kemudian, organisasi itu kembali merubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada organ baru, Semaun bertindak sebagai ketua, Darsono sebagai wakil ketua, Bergsma sebagai sekretaris, dan Dekker sebagai bendahara. Sementara para pengurusnya terdiri atas Baars, Sugono, dan lainnya.
Tuntas berkonsolidasi, PKI mulai melakukan manuver-manuver. Kali ini, mereka tidak terlampau menggenjot dukungan arus bawah, yang terbukti gagal pada 'Krisis Nopember'. Manuver politik PKI itu, berintikan kekuatan taktik "front persatuan dari atas". Sasarannya, berpartisipasi dalam Volksraad.
Untuk melicinkan taktik "musang berbulu ayam" itu, PKI mengajak organisasi-organisasi politik lainnya bergandengan tangan dan membentuk Persatuan Pergerakan Kemerdekaan Rakyat, galib disingkat PPKR.
Sejarah kembali membuktikan bahwa PKI tidak bisa duduk berdampingan secara damai dengan organisasi-organisasi apapun. Belum lagi PPKR bekerja, SI yang membawakan aspirasi Islam, mulai mengecam PKI yang dianggap terlalu menonjolkan unsur internasionalnya, padahal Hindia Belanda perlu persatuan yang berbasiskan keislaman. Tak cuma SI. Insulinde pun, sepertinya tak bisa mentolerir ulah jajaran PKI yang kehilangan semangat nasionalnya. Dan, kerja sama itu akhirnya bubar.
Sialnya, SI sudah keburu tersusupi hingga terpecah dua kubu. Parahnya, salah satu kubu, didominasi oleh mereka yang frustrasi akibat Krisis Nopember. Siapa lagi mereka, kalau bukan barisan penganut Marxisme, yang justru anti-Tuhan. Dus, anti-Islam. Inlah kubu SI kiri, di bawah kolektivitas pimpinan Semaun, Alimin, dan Darsono.
Kehadiran SI kiri jelas menambah kuat kosmologi politik PKI (ISDV). Seperti juga sebelumnya, makin bergigi, golongan radikalis marxis makin kasar dan pongah. Pemerintah kolonial yang tidak nyenyak tidur itu pada akhirnya meng-counter kegiatan-kegiatan mereka, antara lain dengan penangkapan-penangkapan. Dihadapkan dengan situasi ini, nyali Semaun dan tokoh-tokoh PKI lainnya ciut dan melarikan diri ke luar negeri. Segera pimpinan PKI jatuh ke tangan Tan Malaka. Di bawah dirigen Tan Malaka, PKI, dan SI kiri alias SI merah mengaransemen pemogokan-pemogokan, awal 1920. Tahun ini juga Tan Malaka dan Bergsma diringkus. Kepemimpinan PKI kosong. Kevakuman ini mendorong Semaun kembali ke Hindia Belanda. Begitu juga Darsono.
Berkumpulnya mereka, ditambah juga Musso dari PKI Cabang Jakarta, kontan membuat PKI garang lagi. Lebih-lebih setelah mereka secara intensif menggelindingkan propaganda-propaganda sesatnya. Dikatakan sesat lantaran mereka mencampuradukkan pelbagai unsur, sekalipun secara legal-formal, obyektif-faktual memuat perbedaan wacana secara diametral: ya tentang mitos Ratu Adil, ramalan Joyoboyo, ya juga petikan hadits palsu. Bahkan, ayat-ayat suci Al-Quran mereka pelesetkan pula untuk keberhasilan propagandanya. Cespleng. Massa masuk perangkap kesadaran palsu. Dan, Pemberontakan 1926 pun meletus. Ujung-ujungnya, sistem perpolitikan kacau, rakyat menderita. Puluhan ribu ditangkap, dipenjarakan, malah ada yang dibuang ke Digul.
Kita sepakat bila mendefinisikan pemberontakan yang gagal itu sebagai usaha yang avonturistis, sia-sia. Kita, dan sejarah, tidak memiliki kebanggaan apa-apa karenanya. Bahkan, sejarah bisa mengutuknya sebagai pemberontakan yang membawa malapetaka. Malapetaka buat rakyat seumumnya, malapetaka buat organisasi-organisasi pergerakan sesudahnya--yang terkena "jam malam" kolonial dengan segala tindakan represifnya. (bersambung)
* Agus Sopian, wartawan Bandung Pos yang banyak meliput masalah politik dan hankam.
Sumber: Bandung Pos, 15 Agustus 1996
Komentar
Posting Komentar