Oleh Agus Sopian
SEBENTAR lagi kita memperingati HUT ke-51 Hari Kemerdekaan Indonesia. Mungkin, ada baiknya kali ini kita menelusuri koridor sejarah yang terdekat dengan masa kemerdekaan itu: (yakni) masa pergerakan, suatu masa yang penuh dengan pergolakan politik, suatu masa yang memperkenalkan bangsa ini kepada medium perjuangan, kepada partai-partai politik. Berbekal sumber utama, Sejarah Nasional Indonesia terbitan Depdikbud (1975) dan sejumlah referensi lain, Agus Sopian, wartawan Bandung Pos yang sehari-harinya banyak meliput masalah politik dan keamanan, mengajak Anda, pembaca, untuk bersama-sama menyimak kiprah partai-partai politik saat itu--terutama sekali Indische Partij, Indische Sociaal-Democratische Partij, dan Partai Nasional Indonesia--yang (kebetulan) acap menimbulkan kontroversi historis hingga hari ini.
Redaksi
Van Dedem, seorang anggota parlemen, berpidato pada 1891. Dia menganjurkan Hindia Belanda agar segera direhabilitasi dari pelbagai macam kebangkrutan akibat politik liberal. Brooschooft, Van Deventer dan Van Kol, segera mendukungnya. Tapi, di sudut lain, tak sedikit pula yang menentangnya.
Selama hampir sepuluh tahun, masyarakat Belanda berdebat mengenai gagasan Van Dedem tadi. Syukurnya, pada 1901, Ratu Wilhelmina angkat bicara--dalam apa yang dikenal dengan Pidato Tahta. Lalu, Politik Etis pun dicanangkan, dengan bidang garapan tiga proyek strategis: irigasi, emigrasi, dan edukasi.
Barangkali benar, bahwa buat bangsa Indonesia, beleid tersebut tidak serta-merta dapat mengembalikan tawa, sukacita, kultur agung, dan harga diri yang telah direnggut begitu saja oleh penjajah sejak ratusan tahun silam, sejak VOC membangun bentengnya di Batavia. Alih-alih tak serta merta membayar nestapa bangsa terjajah, Politik Etis nyatanya bukanlah suatu sistem yang penuh dengan basa-basi. Simak saja perjalanan diakhronisnya.
Sejak digelindingkan hingga akhir Perang Dunia I, Politik Etis disebut-sebut banyak sejarawan telah membawa sapuan besar pada perubahan nasib negara jajahan. Bidang ekonomi, sosial, hukum, dan politik konon mulai mendapat sentuhan kemajuan yang tak bisa dilihat dengan mata terpicing sebelah. Zaman yang ditandai Ethiek, Economie en Orde--itulah predikat yang diterakan Mayer Ranneft kepada era Politik Etis.
Namun, yang paling menonjol tentunya kemajuan di sektor pendidikan. Ini terlihat pada pemunculan sejumlah orang pribumi yang mulai dapat membaca dan menulis latin, sesuai dengan standar kolonial. Hilmar Farid Setiadi (1991) mencatat laporan Volkstelling 1930. Dia memaparkan, sekitar 3,9 persen dari seluruh penduduk Hindia, pada 1920, berhasil membebaskan diri dari cengkeraman buta huruf. Sepuluh tahun kemudian angka ini meningkat menjadi 6,4 persen. Dari jumlah seluruh orang yang dapat membaca, jumlah terbanyak ditemukan di Manado (21,9 persen), disusul Maluku (14,5 persen) dan Sumatera (10,7 persen). Sementara di Jawa dan Madura, hanya 5,5 persen yang dapat membaca.
Berapa pun persentasenya, pendidikan gaya Barat itu lambat-laun menciptakan pelangi yang mempesonakan. Masyarakat, tidak lagi berada pada 'dunia tunggal'. Kemajemukan mulai terlihat. Keanekaragaman visi, suasana batin, cita-cita dan harapan, sepertinya tak dapat lagi ditahan-tahan.
Perlahan-lahan, kata Nirwan Dewanto (1991), monopoli kosmologis pun dipatahkan. Massifikasi surat kabar, tuturnya kemudian, mempertebal keadaan tadi. "Para pembaca tidak lagi mendengar monofoni sabda pendita ratu tetapi polifoni: berita-berita, tajuk rencana, karikatur, pojok, kolom, advertensi. Polifoni mendesak monofoni.
"Surat kabar memberitakan dunia, selalu berganti, bersirkulasi, bisa didapat di kios-kios. Dunia bergerak, mereka bergerak, mereka berjarak dengan dunia, mengubah dunia. Dan, lahirlah neologisme yang membanggakan, pergerakan. Terlibat dalam pergerakan, berarti sadar. Bagi mereka yang lahir pada 1885-1915, kehormatan tertinggi adalah menjadi orang pergerakan."
Boleh jadi, itulah yang dapat dijadikan salah satu asumsi sementara kenapa partai-partai politik di awal abad ke-20 tiba-tiba mewabah--setelah organisasi sosial kemasyarakatan semacam Boedi Oetomo (BO) dan Sarekat Islam (SI) berdiri. Lewat partai politik, sebagian bangsa kita, mencoba mengaktualisasikan dirinya setelah BO dan SI dinilai lamban dalam melakukan bargaining position untuk suatu perubahan.
Bicara partai politik di masa pergerakan, mau tak mau, ingatan historis kita akan tertuju pada Indische Partij (IP), yang berdiri pada 6 September 1912. Sang penggagas, EFE Douwes Dekker--yang kelak dikenal juga dengan nama Danudirdja Setyabudhi--mungkin tidak sedang cari popularitas ketika memproklamirkan pendirian partai tersebut.
Para pakar sejarah yang jeli seolah bisa meraba alam batin dan atmosfir intelektualitas seorang Dekker, yang katanya, betapa prihatinnya Dekker dengan keadaan sekelilingnya, yang carut-marut, yang centrang-prenang--hasil akhir yang sempurna dari 'kebijakan nasional' kala itu, yang berhulu-hilir pada pola anut diskriminatif.
Pandangan dan pengalaman politik Douwes Dekker kian luas dan lebar. Melalui karangan-karangannya dalam Het Tijdschrift dan De Express, Dekker terus melancarkan propagandanya--yang antara lain meliputi pelaksanaan program politik yang sehat dan menyadarkan golongan Indo serta kaum pribumi, bahwa masa depan mereka terancam oleh bahaya yang sama: (yakni) eksploitasi kolonial.
Di sela-sela perjalanan propagandanya di Pulau Jawa, pada 3 Oktober 1912, Dekker bertemu dengan Tjipto Mangunkusumo. Dalam wacana pergerakan nasional, Tjipto dikenal sebagai penganut unsur-unsur radikal dan politis, sejak masih bercokol di BO. Nirwan Dewanto--penyair muda pengkritik grand narratives--sempat menuturkan bagaimana garangnya Tjipto ketika berpolemik dengan Radjiman Wediodiningrat pada Kongres Jong Java pada 5 Oktober 1908.
Radjiman, kala itu, dengan berbahasa Jawa, menyarankan langkah bertahap dalam mencapai kemajuan dengan mengikuti jenjang penguasa. Sedangkan Tjipto, dengan berbahasa Melayu, mengusulkan pendobrakan masyarakat kolonial dan tradisional. Bagi Tjipto, Jawa sudah hilang kedaulatan, dan sebagai entitas baru adalah Indonesia yang perlu memanfaatkan pengetahuan Barat dan unsur-unsur budaya lain untuk memperbaiki tingkat kehidupannya. Namun, sebelum masalah-masalah kebudayaan dapat dipecahkan, pelbagai kesukaran dan hambatan harus dipecahkan lebih dahulu melalui aksi politik.
Perjumpaan Tjipto dan Dekker segera melahirkan badai pendapat baru, yang memperbesar tekad mereka untuk berpolitik di tengah-tengah cengkeraman kolonial.
Tekad semakin menebal setelah mereka bertemu Suwardi Suryaningrat dan Abdul Muis, di Bandung. Dua yang disebut terakhir ini, sebelumnya juga dikenal sebagai 'orang pergerakan' yang memimpin cabang Sarekat Islam Bandung, yang juga dikenal sebagai bagian dari kaum garis keras.
Propaganda IP yang berlangsung di mana-mana, kontan mendapat dukungan pelbagal pihak. Di Yogya, IP mendapat sambutan dari pengurus BO. Redaktur-redaktur surat kabar Jawa Tengah di Semarang dan Tjahaja Timoer di Malang, juga menyokong berdirinya IP.
Bahwa IP mendapat sambutan luas, itu barangkali pula terlihat dari pendirian 30 cabang, dengan anggota sekitar 7300 orang. Menyaksikan fenomena ini, seorang sahabat Douwes Dekker sempat berkomentar bahwa aksi Dekker "bagaikan sebuah tornado yang meninggalkan emosi-emosi yang meluap di kota-kota, yang tidak pernah terjadi sebelumnya".
Perjalanan yang mendapat sambutan di sana-sini, bunyi propaganda yang 'makin keterlaluan dan kurang ajar' itu, pada gilirannya telah memposisikan IP sebagai organisasi yang dicurigai. Pemerintah Hindia Belanda, dengan pelbagai jala hukum yang dimilikinya, berusaha memadamkan pengaruh dan pamor IP.
Itu barangkali sebabnya, ketika IP mengajukan permohonan sebagai organisasi berbadan hukum pada 4 Maret 1913, pemerintah Hindia Belanda menolaknya. Alasannya, IP, organisasi politik itu, dapat merusak keamanan umum.
Maka, IP pun tetap menjadi partai terlarang, sekalipun pimpinannya sempat beraudiensi dengan Gubernur Jenderal sekaligus mengubah anggaran dasarnya, terutama pasal 2.
Rentetan penolakan itu tentu saja memberikan kesan kuat pada jajaran IP bahwa kemerdekaan itu tidak dapat diterima sebagai hadiah dari pemerintah kolonial. Kemerdekaan itu haruslah direbut--yang menurut Douwes Dekker, "pengertian pemerintah Hindia haruslah dipandang sebagai salah satu daripada partai yang bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan. Pemerintah yang berkuasa di suatu tanah jajahan, bukanlah pemimpin namanya, melainkan penindas. Dan, penindas itu adalah musuh yang sebesar-sebesarnya bagi kesejahteraan rakyat, lebih berbahaya daripada pemberontakan yang meminta perubahan pemerintahan (revolusi)."
Sikapnya yang antikolonial, membawa IP ke pembentukan "Komite Bumiputra" yang terkenal itu. Komite ini sempat hendak mengirimkan telegram kepada Ratu Belanda. Intinya, meminta pencabutan pasal ketiga Reglement op het beleid der Regeering, dibentuknya majelis perwakilan rakyat yang sejati dan ketegasan adanya kebebasan berpendapat di daerah jajahan. Kecuali itu, salah seorang pemimpin komite tadi, Suwardi Suryaningrat, menulis sebuah risalah pedas: Als ik eens Nederlander was, suatu sindiran tajam atas ketidakadilan di daerah jajahan.
Buntutnya tidak enak: kegiatan komite ini dipandang berbahaya. Maka, pada Agustus 1913, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat dijatuhi hukuman buangan. Mereka, memilih negeri Belanda.
Kepergian ketiga pemimpin ini, membawa pengaruh besar pada kegiatan IP, hingga akhirnya menyulap diri menjadi Partai Insulinde. Namun, karena pengaruh SI kembali menguat, Partai Insulinde menjadi semakin lemah. Keadaan tidak tertolong lagi, meski Douwes Dekker--yang baru kembali dari Belanda--mengubah Partai Insulinde menjadi Nationaal Indische Partij.
(bersambung)
Sumber: Bandung Pos, 14 Agustus 1996
Komentar
Posting Komentar