Langsung ke konten utama

Menjelang Runtuhnya Pemerintah Hindia Belanda: Agen Rahasia Jepang Disebar ke Asia Selatan

Oleh HARYADI SUADI

Awas djangan omong kosong.
Kabar angin meroesak negeri, bangsa dan awak sendiri
Djangan maoe menjamboeng kabar angin tjerita orang
Kabar angin menolong moesoeh.

SEJAK awal tahun 1941, Pemerintah Hindia Belanda telah menyebarkan surat selebaran ke seluruh pelosok tanah air. Surat selebaran yang berjumlah ribuan itu, memuat kalimat-kalimat yang sama, telah dipasang di tempat-tempat strategis di kota-kota besar. Tindakan ini sebenarnya merupakan upaya pemerintah dalam rangka menetralisasi keadaan.

Pada masa itu situasi dan kondisi di tanah air kita, semakin gawat. Kabar angin tentang bakal tibanya tentara Jepang, kian simpang siur. Apalagi kabar berita isapan jempol yang bersifat menakut-nakuti pemerintah Hindia Belanda, secara teratur disiarkan dari Radio Propaganda Tokyo.

Selain itu surat selebaran dan poster tersebut berfungsi pula sebagai alat untuk mengantisipasi agar masyarakat tetap waspada terhadap hadirnya mata-mata musuh yang berkeliaran di mana-mana. Pemerintah Hindia Belanda agaknya sudah mencium tentang keberadaan agen rahasia Nippon yang ditempatkan di daerah jajahannya.

Dugaan pihak Belanda ini, memang cukup beralasan. Sejak dulu pemerintah Tokyo memang sudah terkenal dengan dinas spionasenya. Ketika "Perang Dunia I" meletus, Jepang sudah memiliki beberapa orang agen rahasianya yang patut dibanggakan. Dua orang di antaranya yang punya nama legendaris, adalah Jenderal Kenji Dolhara dan spion wanita berparas cantik, Yoshiko Kawashima.

Sejak awal tahun 1920-an, mereka berdua telah bekerja sama untuk merebut kawasan Mancuria dan Mancukuo kemudian dimasukkan ke dalam kekuasaan Kekaisaran Jepang. Karena tindakan-tindakannya yang dianggap berani, mereka sempat dijuluki "Lawrence dan Joan of Arc dari Mancuria".

Dalam "Perang Dunia II", nama Dolhara masih tetap tercantum dalam daftar nama-nama para master spy yang ditugaskan di Cina. Tatkala Jepang berminat untuk mengembangkan kekuasaannya ke arah Cina, pemerintah Tokyo juga telah menyebarkan sejumlah agen rahasianya di daerah tersebut. Pada masa itu sering disebut-sebut nama Todoraki Yosako, seorang agen rahasianya yang banyak jasanya terhadap negara.

Tahun 1931, Yosako yang kemudian terkenal dengan nama sandinya "X-7" mulai ditugaskan di daratan Cina. Dia ditempatkan di Kota Shanghai dan hidup berbaur dengan penduduk asli. Namanya pun diganti dengan nama Cina, Cang Too Ci.

Dengan menyamar sebagai orang Cina, agen "X-7" ini telah berhasil meraup informasi penting. Berkat kerjasamanya dengan pacarnya, Lin Pai Cia (adik dari seorang anggota Tentara Nasional Cina yang berpangkat Letnan Kolonel), ia telah berhasil pula memperoleh data-data tentang kekuatan angkatan perang Cina yang dipimpin Ciang Kai Shek.

Informasi-informasi inilah, yang membuat tentara Jepang berhasil menyusup ke daratan Cina. Mula-mula Kota Shanghai berhasil diduduki Angkatan Laut Jepang. Kemudian dalam peristiwa "Peperangan di Wu Cang", Agen "X-7" ini telah berhasil lagi menemukan celah yang tidak dijaga tentara Cina. Dari celah yang terletak di sebelah utara Gunung Wu Cang itulah, akhirnya balatentara Dai Nippon berhasil menerobos sampai ke pedalaman Cina.

Pada waktu yang sama Dinas Spionase Jepang mengirim lagi agen-agennya ke belahan dunia sebelah Barat, yakni Panama dan Brasil. Bahkan di Kota Sao Paulo (Ibukota Brasil), telah didrop puluhan anggota "Naga Hitam", sebuah organisasi rahasia negeri Sakura yang aktif dalam bidang mata-mata. Menurut desas-desus, di kota itu mereka sedang menjajagi kemungkinan Jepang bisa menduduki Amerika.

Seperti halnya di kawasan Asia Selatan, aksi mereka di Panama pun telah memunculkan nama seorang agen rahasia yang dianggap berani, yakni Inoue. Dikisahkan dalam artikel "Dua Afonturlel Beraksi di Indonesia" (Majalah "Star Weekly 5 Februari 1950), bahwa Inoue kelewat berani dalam menjalankan tugasnya. Sehingga hampir terbuka kedoknya.

Untuk mencegah segala kemungkinan yang tidak diinginkan, dia segera diselundupkan dari Panama ke Mancuria. Di tempat ini pun Inoue telah menunjukkan keberaniannya. Sehingga dia sempat menjadi "anak emas" dari seorang gembong master spy Kenji Dolhara.

Dari Mancuria Inoue kemudian dikirim ke Cina. Tugasnya adalah menghantam kekuatan militer Cina dari dalam. Dengan taktiknya yang licin, dia berhasil menyusup ke tubuh "Kuomintang". ("Kuomintang" adalah organisasi bangsa Cina yang pro Sekutu).

Ketika perang Asia Pasifik mulai meletus, Inoue tiba-tiba berada di Singapura, bergabung dengan kawan seperjuangannya. Menurut artikel "Naga Hitam Mengaduk Brazille" (Star Weekly 6 Oktober 1946), Inoue sempat beraksi sebagai agen spy di Indonesia. Dia mulai muncul di negeri kita bersamaan dengan mendaratnya balatentara Dai Nippon di Sumatera. Ketika itu dia bertugas di daerah Medan sebagai tentara yang berpangkat Letnan Dua.

Mata-mata Jepang berkeliaran di kawasan Hindia Belanda

Dalam rangka mengembangkan sayap kekuasaannya di Asia Selatan, ternyata Jepang telah memusatkan perhatiannya ke negeri kita. Khususnya Pulau Jawa, menurut mereka letaknya amat strategis. Dengan didudukinya pulau ini, maka dengan mudah tentaranya menuju Australia. Seandainya benua ini berhasil mereka rebut, maka Jepang punya harapan besar untuk mewujudkan cita-citanya, yakni membangun negara kesatuan "Asia Timur Raya". Itulah sebabnya dinas rahasia Jepang sejak tahun 1930-an, secara khusus telah merekrut agen-agennya untuk dikirim ke tanah air kita. Sebelum diberangkatkan, mereka terlebih dahulu dibekali dengan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan tanah air kita, seperti bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, situasi politik dsb.

Karena pada masa itu pemerintah Jepang masih punya hubungan baik dengan negara-negara tetangganya, maka para agen tersebut, berdatangan ke Indonesia dengan jalan yang legal. Mereka menetap di negeri kita dengan berkedok sebagai wisatawan, pedagang atau ilmuwan yang sedang menyelidiki tentang fauna flora di tanah air kita.

Di masa itu, di Pulau Jawa sering dijumpai orang-orang Jepang yang berlagak sebagai wisatawan yang selalu membawa kamera, atau pedagang kelontong yang berkeliling dari desa ke desa. Ada pula yang punya "hobi" memancing di tepi laut. Padahal tugas mereka sebenarnya adalah menyelidiki, mencatat, dan memotret sambil mengumpulkan data-data, atau membuat peta. Sebagian lagi ada pula yang menetap di kota besar sambil membuka toko barang kelontong, toko radio, dan foto studio. Nama-nama toko itu, biasanya menggunakan bahasa Jepang, seperti Fujiyama, Sakura, Asahi, Clyoda, Kaneta, Banzal dll.

Konon di belakang tokonya selalu ada kamar rahasia, tempat berkomunikasi dengan pemerintah Tokyo. Dengan menggunakan pemancar radio mini, secara rahasia mereka melaporkan hasil temuannya kepada atasannya. Yang mereka informasikan, adalah pertahanan militer Belanda, situasi politik, ekonomi, orpol, ormas, agama,dan masih banyak lagi. Bahkan hal-hal yang sepele, seperti lagu Indonesia Raya, ramalan Joyoboyo, dsb. tidak luput pula diberitakan ke negerinya. Pendek kata jauh sebelum perang meletus, "isi perut" pemerintah Hindia Belanda dan bangsa kita, sudah diketahui oleh Jepang.

Para agen rahasia ini rata-rata fasih bercakap bahasa Indonesia. Lagi pula mereka bersifat rendah hati, sopan santun, dan pandai bergaul. Dengan sikap-sikap seperti itu, tentu saja dalam waktu cepat mereka bisa menarik hati masyarakat kita dan menjalin persahabatan dengan penduduk asli. Bahkan ada pula yang akrab dengan pejabat tinggi.

Pada waktu itu jarang orang menghiraukan keberadaan mereka, karena penampilannya amat bersahaja, tidak mencurigakan dan tampangnya seperti orang Cina. Demikian hebatnya mereka berkamuflase, sehingga tak seorang pun mengira, bahwa mereka adalah anggota dinas rahasia yang berbahaya.

Ketika balatentara Dai Nippon mendarat di Indonesia, semua agen rahasia ini secara serempak menggabungkan diri dan bertugas sebagai penunjuk jalan. Konon pada masa itu, banyak penduduk yang terkecoh. Mereka tidak percaya menyaksikan "babah-babah" yang semula jadi pedagang yang bertampang sederhana, tiba-tiba berubah menjadi orang-orang yang berwibawa dan garang. Apalagi setelah "seragam pedagang kelontongnya" diganti dengan seragam militer.

Matsumoto "pengusaha muda" yang sukses

Kalau di daratan Mancuria, dan Cina telah muncul nama-nama besar seperti Dolhara, Yoshiko Kawashima, Todoraki Yosako, dan Inoue, maka di kawasan Hindia Belanda pun telah tampil seorang mata-mata yang tidak kalah hebatnya, bernama Matsumoto.

Siapa Matsumoto, pada zaman itu namanya sudah tidak asing lagi bagi para pejabat tinggi Belanda. Dia terkenal sebagai seorang "penguasaha muda" yang sukses dan pandai. Dalam menjalankan tugasnya, agen rahasia ini demikian rapih dan licinnya, sehingga tidak pernah dicurigai oleh siapa pun. Oleh karena itu dengan mudah dia mengadakan kontak dengan orang-orang penting di Pulau Jawa.

Bagi pemerintah Jepang sendiri, Matsumoto punya arti yang amat penting. Dia merupakan satu-satunya mata-mata yang telah berhasil memperoleh dokumen top secret dari Angkatan Perang Hindia Belanda. Demikian pentingnya dokumen tersebut, sehingga Matsumoto sempat disebut-sebut sebagai penyebab runtuhnya Pemerintah Hindia Belanda. Itulah sebabnya namanya selalu disanjung sebagai pahlawan yang paling berjasa dalam perang Jepang melawan Sekutu di tanah air kita.

Matsumoto termasuk ratusan mata-mata yang dikirim ke Indonesia pada sekitar tahun 1930-an. Memang pantas Matsumoto dijadikan agen rahasia. Selain fasih bicara bahasa Melayu, dia pun simpatik, intelek, ramah, dan sopan santun. Di kota tempat dia ditugaskan, Matsumoto telah menyewa sebuah bangunan yang pantas dijadikan tempat menjalankan usahanya.

Sesuai dengan instruksi atasannya, dia mulai beraksi menghubungi orang-orang penting yang bisa disedot informasinya. Karena lancarnya berkomunikasi, maka "pengusaha muda" ini dengan cepat telah berhasil mengakrabi orang-orang kalangan atas.

Pergaulannya pun cukup luas, dari para tokoh politik bangsa kita hingga pejabat tinggi Belanda. Dari pergaulannya itu, dia telah memiliki beberapa orang sahabat kental. Dua orang di antaranya adalah seorang tokoh politik bangsa kita dan seorang wartawan bangsa Yahudi bernama By.

Dari sahabatnya yang disebut pertama, dia berhasil mengumpulkan berbagai informasi penting, seperti situasi politik, perjuangan bangsa kita untuk memperoleh kemerdekaan, dan adat istiadat serta tradisi penduduk setempat.

Namun Matsumoto tampaknya lebih mengakrabi By. Alasannya tentu saja karena By sebagai seorang wartawan, mengetahui banyak seluk beluk yang berkaitan dengan pemerintahannya. Sungguh beruntung, Matsumoto mempunyai sahabat semacam By. Sebab dari sahabatnya inilah, agen rahasia Jepang tersebut sering memperoleh data-data yang penting yang dibutuhkan atasannya.

Pada mulanya Matsumoto tidak terlalu mengharapkan info-info dari By. Namun di luar dugaan, sang wartawan telah memberikan sebuah dokumen top secret milik Angkatan Perang Hindia Belanda kepada Matsumoto.

Karena dokumen itulah, Pemerintah Hindia Belanda yang telah menanamkan kekuasaannya di tanah air kita selama tiga setengah abad, akhirnya bertekuk lutut terhadap Jepang.***



Sumber: Pikiran Rakyat, 28 Februari 1995



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan