Langsung ke konten utama

Diplomasi Kaum Buruh

Sebuah catatan penting dalam sejarah kontemporer Indonesia. Partai Komunis Australia pendukung Indonesia merdeka?

Berkoalisinya dua atau tiga negara sekaligus untuk menghadapi lawan politik, barangkali, merupakan perilaku umum bangsa-bangsa di dunia pada Perang Dunia II.

Australia, memang, memiliki posisi yang sangat strategis bagi Belanda yang kala itu menderita kalah perang melawan Jepang. Strategi militer balik guna menguasai kembali Indonesia, hanya mungkin kalau Belanda memiliki pangkalan militer yang kuat di Australia. Logika inilah yang akhirnya mendasari penempatan para tokoh pemerintahan Hindia Belanda. Pertama kali yang ditunjuk sebagai kepala perwakilan Hindia Belanda adalah Ch. O. van der Plas. Tetapi pada tahun 1943, pemerintah Belanda di pengasingan mengumumkan bahwa Menteri Urusan Koloni waktu itu, H. J. van Mook, akan dipindahkan ke Australia sebagai letnan gubernur jenderal dan sebagai kepala pemerintahan sementara Hindia Belanda.

Kehadiran orang-orang Belanda ini ternyata tidak disambut terlalu ramah oleh pemerintah Australia, yang kala itu kebetulan dikuasai Partai Buruh. Perdana Menteri John Curtin dan Menteri Luar Negeri Dr. H. V. Evatt tampaknya masih memegang komitmen untuk memulihkan pemerintahan kolonial sebelum pecah perang di Asia Tenggara. Hanya saja yang menjadi masalah, Belanda bukanlah sahabat yang andal guna memerangi Jepang jika pasukan yang gemar melakukan kamikaze itu merayap ke daratan Australia.

Sebenarnya, alasan itu bukanlah alasan yang terlalu penting. Karena, memang, masih ada alasan lain yang mendasari sikap Australia kala itu. Yakni, tumbuhnya simpati yang cukup meluas dari orang-orang Australia terhadap nasib para buruh dan tahanan politik Indonesia. Memang, pada bulan Juni 1943, sekitar 300 orang tahanan politik Indonesia beserta 200 orang anggota keluarganya, dipindahkan dari penjara Digul dekat Merauke, Irian Jaya, ke Australia.

Kepada orang-orang Australia, Belanda mengatakan bahwa mereka ini adalah orang-orang Indonesia yang pro Jepang. Untunglah sebagian besar tidak mempercayai berita yang dilansir Belanda itu. Orang Australia, terutama tokoh-tokoh buruh, yakin bahwa mereka yang diangkut kereta api ke pusat tawanan perang di Cowra kawasan New South Wales itu adalah para aktivis yang berjuang untuk mencapai Indonesia Merdeka.

Maka, mulailah gelombang simpati semarak di mana-mana. Para buruh kereta api, kapal laut, dan berbagai pabrik itu secara terus-menerus memberikan dukungan. Apalagi begitu mereka mendengar berita tentang Indonesia Merdeka. Yang menarik dicatat, dukungan pertama terhadap Indonesia Merdeka diberikan oleh Partai Komunis Australia (ACP). Partai ini bahkan secara terus-menerus sejak 21 Agustus 1945 menyebarkan propaganda dukungan ke Indonesia lewat koran The Tribune.

Tokoh buruh asal Indonesia yang cukup dikenal bernama Tukliwon. Dia ini adalah tokoh muda dari Sarikat Pelayaran Indonesia (Sarpelindo), yang berhasil menjalin kerja sama erat dengan E. V. Elliot dari Australian Seamen's Union. Berkat pimpinan Tukliwon, mereka berhasil memboikot 25 kapal Belanda. Termasuk di antaranya, tuntutan kenaikan upah sehingga hampir sama dengan buruh kapal dari Australia. Belanda panik.

Para tahanan eks Digul memanfaatkan kesempatan itu untuk membentuk Central Komite Indonesia Merdeka (Cenkim). Organisasi yang bertugas memberikan dukungan politik kepada Indonesia sekaligus merupakan badan diplomasi ini dipimpin Djamaludin Tamin, tangan kanannya Tan Malaka. Kemudian, salah seorang pengikut setia Sjahrir, yaitu M. Bondan menjabat sekretaris, sedangkan Pemimpin PKI di Australia, Sardjono, sebagai anggota pengurus.

Demikianlah, buku ini menyajikan satu catatan sejarah yang amat penting. Suatu momentum yang hampir dilupakan dalam sejarah kontemporer Indonesia.

Yohanes S. Widada



Sumber: Sinar Nomor 14/Tahun II/11 Februari 1995



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan