Langsung ke konten utama

Tengkorak yang Bikin Heboh

Tengkorak manusia purba, yang diperkirakan berumur 1 juta tahun, temuan Donald Tylor di Sangiran, dihebohkan ahli-ahli antropologi kita. Mengapa?

BERADA di tengah para koleganya sesama ahli purbakala, Donald E. Tylor, 39 tahun, seperti merasa terasing. Ahli antropologi ragawi dari Universitas Idaho itu lebih suka menyendiri selama tiga hari konferensi internasional tentang paleoekologi manusia di Gedung Widya Graha Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, pekan lalu.

Padahal, Tylor baru saja "menemukan" fosil tengkorak manusia Jawa purba yang ditaksir berumur 1 juta tahun. Tapi, di mata peserta konferensi, penemuan itu dianggap tidak ada. "Selama persoalannya belum dijernihkan, penemuannya tidak perlu dibicarakan di forum ilmiah," kata Prof. R. Pandji Soejono, arkeolog kawakan dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas), Jakarta.

Penemuan tengkorak purba itu, di Desa Manyarejo, Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, memang mengandung perkara. Para ahli purbakala lokal menudingnya melakukan ekskavasi ilegal. Tylor dianggap tak berhak mengatasnamakan dirinya sebagai penemu, dan tak punya wewenang membawa fosil itu ke luar lokasi. Untuk memboyong fosil itu ke luar daerah, menurut aturan yang berlaku, Tylor harus mengantongi rekomendasi dari Arkenas dan Direktorat Jenderal Kebudayaan. "Tapi kami tak tahu-menahu soal penelitian Tylor," ujar Soejono.

Kontroversi tengkorak manusia Jawa purba itu bermula dari konferensi pers yang diadakan Tylor di Hotel Ambarrukmo, Yogyakarta, Jumat dua pekan lalu. Tylor bercerita tengkorak tua itu ditemukannya secara tak sengaja di pekarangan rumah penduduk, tidak jauh dari kawasan situs arkeologi Sangiran.

Tylor merasa beruntung karena fosil itu dinilainya jauh lebih utuh ketimbang tempurung fosil Pithecanthropus erectus yang ditemukan Eugene Dubois di Trinil, tak jauh dari Sangiran, 100 tahun silam. Bahkan Tylor berani mengatakan fosil temuannya itu paling utuh dari 10 temuan sebelumnya. "Tengkorak itu hampir lengkap," ujar Tylor, yang mengaku menyimpan tengkorak itu di Bandung.

Kedatangan Tylor ke Sangiran semula cuma untuk mengukur kapling yang akan dipakai sebagai areal penggalian oleh tim dari Universitas Idaho, ITB, dan Universitas Padjajaran, Bandung. Namun, ketika mendengar ada penduduk sedang menggali meratakan tanah untuk rumah, Tylor datang dengan harapan bisa menemukan sesuatu. Ia minta penduduk melakukannya dengan mengikuti cara penggalian arkeologis.

Hasilnya tak sia-sia. "Kami menemukan tengkorak," ujar Tylor. Lalu, ia menyerahkan sejumlah uang, konon hampir Rp 3 juta, kepada petani tadi. "Sesuai dengan perjanjian, fosil itu jadi milik kami," tuturnya. Peristiwa itu terjadi 7 Oktober 1993.

Namun, cerita Tylor itu dibantah Subur, yang membantu Tylor selama di Sangiran. Subur mengaku membeli fosil itu dari Sugimin, yang mendapatkannya saat memapas tebing setinggi 3,5 meter untuk rumah. Sebagai penduduk Sangiran, Sugimin tahu tengkorak itu barang berharga, bisa dijual. Lalu tengkorak yang ditemukan 17 September itu ditawarkannya ke Subur, dan kemudian terjadi transaksi senilai Rp 425.000.

Subur, yang dikenal sebagai makelar segala macam barang itu, tentu membeli bukan untuk dikoleksi. Ketika tahu Tylor datang ke Sangiran, fosil itu diserahkannya. "Tentu, saya mengharap imbalan," ujar Subur. Bahwa temuan itu jatuh ke Tylor, Subur punya kilah. "Dia peneliti yang bekerja untuk Pemerintah. Saya kasih ke dia atau ke Arkenas, ya, sama saja," tuturnya. Yang membuatnya jengkel, ia mengaku belum menerima uang jasa dari Tylor.

Jual-beli fosil di Sangiran rupanya bukan soal aneh. Dua tahun lalu, seorang warga sempat menjual rahang badak dan moncong babi purba ke seorang turis Thailand. Tapi transaksi batal karena keburu ketahuan. "Di kalangan peneliti, jual-beli macam itu di Sangiran memang soal biasa," ujar Dr. Yahdi Zaim, dari Laboratorium Paleontologi ITB, yang sering melakukan penggalian di Sangiran.

Maka, bagi Yahdi, fosil yang dibeli dari penduduk tak berkurang nilai ilmiahnya, sejauh lokasi penemuannya bisa diketahui secara pasti. Ia pun tak keberatan bila periset yang membeli fosil itu mengatasnamakan dirinya sebagai penemu. "Tugas utama peneliti adalah memberikan nilai ilmiah bagi barang temuannya," ujar dosen Geologi Sejarah ITB itu.

Boleh jadi, Tylor mafhum soal permainan di Sangiran itu. Ia mengaku telah lima kali ke Indonesia. Mei lalu, ia ikut dalam tim Prof. S. Sartono dari ITB ke Sangiran. Ketika itu, tim ini bisa memboyong sebuah tengkorak ke Bandung, dan menyimpannya di Puslitbang Geologi. Konon, penemuan itu belum dilaporkan ke Arkenas, pihak yang dianggap berwenang dalam urusan fosil.

Tidak aneh kalau Tylor mendapat kesan bahwa urusan fosil di Indonesia soal gampang, sehingga ia mudah saja "membeli" fosil dan membawanya pergi dari lokasi. Padahal, menurut aturan yang baku, perlu proses panjang bagi peneliti asing melakukan ekskavasi. Mula-mula peneliti itu harus mengajukan proposal ke LIPI. Bila LIPI setuju, ia mesti ke Arkenas dan ke Direktorat Jenderal Kebudayaan. Rekomendasi instansi-instansi itu adalah bekal untuk mengetuk pintu kantor gubernur, kepala desa, serta Balai Arkeologi dan Kantor Suaka Purbakala yang membawahkan daerah penelitian.

Hampir semua rambu itu, menurut Tylor, telah dilewatinya. Tapi, yang membuat para ahli dari Indonesia gemas, fosil itu tak jelas dibawa ke mana. Laboratorium Paleontologi ITB dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung merasa tak menyimpannya. "Ini pelecehan terhadap dunia ilmiah kita," ujar Prof. T. Yacob, ahli antropologi ragawi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Apa iya?

Putut Trihusodo, Sri Pudyastuti, dan M. Faried Cahyono (Yogya)



Sumber: Tempo Nomor 34 Tahun XXIII - 23 Oktober 1993



Ralat

Dalam TEMPO 23 Oktober, Ilmu & Teknologi, tercantum nama Prof. Donald E. Taylor. Mestinya, Prof. Donald E. Tyler. Lalu, kalimat pertama alinea terakhir: ... menurut Taylor, telah dilewatinya. Yang benar: ... menurut Tyler, telah ditabraknya - Red.



Sumber: Tempo Nomor 35 Tahun XXIII - 30 Oktober 1993

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...