Langsung ke konten utama

Warisan Terakhir Dokter Soetomo: "Panjebar Semangat", Riwayatmu Kini

Pengantar Redaksi

Tidak ada kota di Indonesia yang punya sebutan sebanyak Surabaya, kota yang saat ini mendapat kehormatan sebagai tempat Peringatan Hari Pers Nasional dari tanggal 9 hingga 12 Februari 1989. Selain sebagai kota pusat pemerintahan Pemda Jatim, Kodya Dati II, Surabaya juga dikenal sebagai Kota Pahlawan, Kota Buaya, kota tertua di Indonesia, kota industri dan perdagangan, kota kedua terbesar, pusat WTS terbesar di republik ini, serta sejumlah sebutan lain. Lantas soal apa dan bagaimana posisi kota yang begitu besar pengaruhnya atas setengah wilayah Indonesia, kali ini Kompas menurunkan laporan khusus selama beberapa hari. Laporan ini digarap oleh D. J. Pamoedji, Widi Krastawan, Julian Sihombing, Suryopratomo, Basuki Subianto, Irwan Julianto, Sudirman Tebba, Manuel Kaisiepo, Rudi Badil, dan Maruli Tobing. 

MENJELANG peringatan Hari Pers Nasional ke-5 yang besok dipusatkan di kota Surabaya, tak ada jeleknya mengikuti kehidupan majalah mingguan berbahasa Jawa Panjebar Semangat, yang kini tetap bertahan hidup sejak diterbitkan pertama kali hari Sabtu 2 September 1933. Inilah satu-satunya media massa yang didirikan dr Soetomo yang masih tertinggal. Tirasnya (oplahnya) kini sekitar 75.000 eksemplar, dan merupakan majalah bahasa Jawa terbesar di Indonesia, bahkan di dunia! Sebab tak sedikit langganannya adalah warga negara Suriname keturunan Jawa.

Di tengah perkembangan pesat pers nasional saat ini, kehadirannya tetap unik. Oleh para pengasuhnya, PS tetap ditujukan untuk lapisan pembaca menengah bawah yang masih akrab dengan bahasa Jawa. Ini ditandai dengan murahnya harga langganan, per bulan cuma Rp 2.000 (termasuk ongkos kirim), sedang harga eceran Rp 550. Dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat, pembaca dan penulis yang dahulu rajin berlangganan dan mengisi halaman PS, satu demi satu meninggalkannya. "Dahulu Arswendo Atmowiloto dan Pak Harmoko sering mengisi PS. Sekarang mereka kan sudah jadi orang," tutur Ny. Sri Lestari Siahaan, Wakil Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi PS.

PS dilahirkan dengan missi agar masyarakat, terutama yang berada di pedalaman yang tak memahami bahasa Belanda dan Indonesia, masih bisa mengikuti kegiatan perjuangan kemerdekaan. "Sama sekali bukan dimaksudkan untuk memupus fanatisme daerah, sementara saat itu dr Soetomo justru mengkampanyekan paham kebangsaan. Bahasa Jawa dipilih agar pesan dapat sampai lebih efektif, karena ketika PS dilahirkan masyarakat Jawa Timur masih mayoritas berkomunikasi dengan bahasa Jawa," kata Drs Moechtar, sang Wakil Pemimpin Redaksi/Penanggung jawab PS.

Mengapa PS sekarang tetap mempertahankan bahasa Jawa, sementara majalah Darmo Nyoto terbitan Solo malah telah berubah menjadi majalah berbahasa Indonesia, Darma Nyata? Jawaban yang diberikan gampang ditebak: untuk melestarikan bahasa Jawa, terutama di kalangan generasi muda. Tak heran jika cover PS banyak memuat gambar remaja putra-putri. Syukurlah gayung masih bersambut. Ketika tahun lalu PS mengadakan lomba cerita cekak (cerita pendek) untuk siswa-siswi SMP/SMA, dalam tiga bulan tak kurang 98 orang peserta mengirimkan karya mereka. "Semula kami kira cuma bakal masuk sepertiganya," kata Drs Moechtar pula.

***

"SURA Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti". Inilah motto PS sejak terbit pertama kali hingga sekarang. Artinya: segala kekuatan negatif yang ada di dalam masyarakat bisa ditaklukkan dengan sikap lemah lembut dan penuh sopan santun, merendah, dan bijaksana. Motto tersebut dikutip dari kitab Surat Witaradya karya Ronggowarsito.

Motto ini amat jelas merupakan sikap hidup dr Soetomo, yang di kalangan pergerakan pada zaman penjajahan Belanda dikenal sebagai tokoh moderat. Pendiri dan ketua pertama Boedi Oetomo ini oleh Savitri Prastiti Scherer dalam tesis masternya dijuluki Si Juru Damai. Soetomo memang bukan tokoh garis radikal. Ia tak ingin sekadar mencapai Indonesia Merdeka, melainkan Indonesia Mulia. Caranya antara lain dengan memberikan pendidikan massal lewat media massa yang diterbitkannya (Baca profil Dr Soetomo dan Pers Perjuangan di halaman 16).

Ketika terbit pertama kali berupa lembaran pleno diliput, dengan bahasa Jawa Ngoko. Menurut dr Soetomo, ini disengaja olehnya justru untuk menghilangkan feodalisme. Harapannya, rakyat desa mau ikut bicara masalah yang sedang aktual tanpa canggung. Menurut laporan tim penulis Sejarah Pers di Jawa Timur yang rencananya segera diterbitkan oleh SPS Jawa Timur, majalah ini terbit pertama kali sebanyak 3.000 eksemplar. Tapi tiga tahun kemudian sudah mencapai 6.000 eksemplar dan memiliki mesin cetak sendiri, termasuk dua buah mesin intertype. Bahkan PS bisa membiayai dan mensubsidi "kakak kandungnya", harian Soeara Oemoem

Tokoh pergerakan yang sering menulis di majalah ini selain dr Soetomo sendiri, adalah Maria Ulfah Soebadio, Siti Sundari, dan S. K. Trimurti. Pembaca surat kabar minggu berbahasa Jawa ini walaupun mencantumkan keterangan "Weekblad Oentoek Oemoem" terutama adalah anggota-anggota Boedi Oetomo dan PBI (Persatoean Bangsa Indonesia yang kemudian menjadi Partai Bangsa Indonesia). Dengan bergabungnya Boedi Oetomo dan PBI serta beberapa organisasi kedaerahan lainnya menjadi Parindra (Partai Indonesia Raya), maka pembaca majalah ini kian meluas. Apalagi mingguan Koemandanging Ra'jat yang berafiliasi dengan Boedi Oetomo kemudian menyatu dengan PS.

Pada usia lima tahun, PS genap memiliki langganan 10.000 orang. Hal ini tertera pada PS No. 1 Tahun VI tanggal 3 September 1958. Hingga 29 April 1939 oplah PS meningkat seribu eksemplar lagi. Sampai pecahnya Perang Pasifik, PS merupakan mingguan yang mempunyai oplah paling besar di Indonesia, selain Panji Poestaka dan Kedjawen yang diterbitkan oleh Balai Poestaka. Waktu itu oplah PS sekitar 12.500 eksemplar. Menurut Drs Moechtar, bagi pers pribumi untuk dapat mencapai oplah setinggi itu di masa itu sungguh merupakan prestasi yang luar biasa.

Sayang begitu tentara pendudukan Jepang masuk ke Indonesia, semua media massa berbahasa daerah dilarang terbit. PS menjadi korbannya. Mesin-mesin set intertype dan percetakannya yang berhasil dibeli dengan segala susah payah, disita oleh tentara Jepang. Tujuh tahun lamanya PS terpaksa lenyap dari peredaran. Baru bulan Juli 1949 PS terbit lagi, berkat usaha keras tanpa putus asa pemimpinnya, Imam Soepardi. Sementara dr Soetomo telah meninggal dunia pada tanggal 30 Juli 1938, menjelang genap berusia 50 tahun.

***

TERNYATA kebangkitan kembali PS mendapat sambutan luar biasa dari kalangan masyarakat pencintanya. Sambutan ini sebelumnya sama sekali tak diduga oleh para pengasuhnya. Pesanan berdatangan bukan hanya dari masyarakat berbahasa Jawa di Tanah Air, tapi juga dari mereka yang bermukim di Suriname, Kaledonia Baru, dan Thailand. Oplah PS kian hari kian meningkat, pada tahun 1960-an mencapai 85.000 eksemplar.

Setelah mencapai pasang naik itu, PS mengalami masa surut ketika keadaan perekonomian masyarakat amat sulit menjelang meletusnya pemberontakan PKI tahun 1965. Sementara itu kondisi teknis percetakan sudah tidak memenuhi syarat lagi sehingga menambah parah keadaan. Oplah PS pada tahun 1966 hanya tinggal sekitar 18.000 eksemplar saja. Meninggalnya Imam Soepardi, seorang guru di Lumajang yang direkrut dr Soetomo karena rajin menulis di Harian Soeara Oemoem, pada tanggal 25 Juli 1963 ikut menurunkan daya tahan PS pada masa kritis itu.

Perlahan-lahan PS merangkak lagi di bawah pimpinan Mohammad Ali, adik kandung Imam Soepardi. Tahun 1970 menjadi 22.500 eksemplar, tahun 1979 meningkat menjadi 59.000 eksemplar, dan tahun 1985 mencapai puncaknya dengan 66.000 eksemplar. Tapi tahun 1986 merosot lagi tinggal 60.000 eksemplar, mungkin karena dampak resesi ekonomi dunia. Tapi kini PS dengan sampul berwarnanya bertahan dengan oplah sekitar 75.000 eksemplar. Lebih dari 50 persen dikonsumsi oleh masyarakat Jawa Tengah.

"PS memang dicintai oleh masyarakat Jawa Tengah, yang justru dikatakannya menjadi pusat kebudayaan Jawa. Penulis-penulis dari Jawa Tengah malah lebih banyak menulis di PS daripada di majalah-majalah bahasa Jawa terbitan Jawa Tengah," tutur Soedjatmiko, putra tunggal Mohammad Ali, yang juga menjadi anggota dewan redaksi PS. Ia tak mau meramal prospek oplah PS nanti jika Pemda Jateng jadi menerbitkan majalah bahasa Jawa baru dengan sebuah penerbit surat kabar di Semarang.

Secara organisatoris, PS kini sama sekali tak memiliki hubungan dengan keluarga dr Soetomo. Karena dalam wasiatnya, dr Soetomo menyatakan bahwa PS bersama tiga media massa lain yang diterbitkannya dengan modal pribadi dihibahkan kepada Stichting National (Yayasan Nasional). Tapi yayasan itu dapat dikatakan bubar pada zaman Jepang. Dan ketika PS bangkit lagi dari kuburnya pada tahun 1949, penerbitnya adalah Firma Penyebar Semangat. Sejak tahun 1986 berubah menjadi PT Pancaran Semangat Jaya.

Kini timbul kesan seolah-olah perusahaan yang menerbitkan PS ini menjadi perusahaan keluarga. Karena selain dipimpin oleh Mohammad Ali (82), duduk pula dalam pucuk pimpinan adik Ny Mohammad Ali yaitu Ny. Sri Lestari Siahaan. Kemudian masih terdapat Soedjatmiko dalam dewan redaksi, juga putra tunggal Soedjatmiko sebagai ahli desain grafis.

Walaupun demikian menurut Ny. Sri Lestari Shn (namanya di majalah sengaja disingkat agar tak nampak majalah bahasa Jawa diasuh oleh istri orang Batak), 20 persen saham PS mulai 1988 dibagikan kepada koperasi karyawan. Selebihnya saham dimiliki oleh perseorangan yang memimpin PS.

Mohammad Ali sendiri yang hingga kini masih tetap aktif menulis, merasa ia menjalankan PS atas permintaan dr Soetomo. Ketika almarhum Imam Soepardi masih hidup, dr Soetomo pernah berkata kepada Mohammad Ali di sebuah kapal, "Mas Ali, ndherek titip Panjebar Semangat." Semula pesan itu tidak terkesan mendalam, sebab waktu itu ia sedang aktif di redaksi Soeara Oemoem. Tapi waktu Imam Soepardi meninggal, kata-kata dr Soetomo tadi terngiang lagi, di telinga Mohammad Ali. "Saya waktu itu sampai menangis tersedu-sedu," tuturnya. 

Sahabat almarhumah Dewi Dja ini memiliki keinginan agar PS tak boleh mati sebelum dirinya sendiri mati. Betapapun, PS telah menyemarakkan kehidupan pers nasional, khususnya di Jawa Timur.

(Tim Kompas)


Sumber: Kompas, 8 Februari 1989


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Arek-arek Soerobojo Hadang Sekutu

Mengungkap pertempuran bersejarah 10 Nopember 1945 sebagai mata rantai sejarah kemerdekaan Indonesia, pada hakekatnya peristiwa itu tidaklah berdiri sendiri. Ia merupakan titik klimaks dari rentetan insiden, peristiwa dan proses sejarah kebangkitan rakyat Jawa Timur untuk tetap melawan penjajah yang ingin mencoba mencengkeramkan kembali kukunya di wilayah Indonesia merdeka. Pertempuran 10 Nopember 1945--tidak saja merupakan sikap spontan rakyat Indonesia, khususnya Jawa Timur tetapi juga merupakan sikap tak mengenal menyerah untuk mempertahankan Ibu Pertiwi dari nafsu kolonialis, betapapun mereka memiliki kekuatan militer yang jauh lebih sempurna. Rentetan sejarah yang sudah mulai membakar suasana, sejak Proklamasi dikumandangkan oleh Proklamator Indonesia: Soekarno dan Hatta tgl 17 Agustus 1945. Rakyat Jawa Timur yang militan berusaha membangun daerahnya di bawah Gubernur I-nya: RMTA Soeryo. Pemboman Kota Hiroshima dan Nagasaki menjadikan bala tentara Jepang harus bertekuk lutut pada ...

Misteri Jangkar Raksasa Laksamana Cheng Ho: Kabut Sejarah di Perairan Cirebon

TINGGINYA menjulang sekitar 4,5 sampai 5 meter. Bentuknya sebagaimana jangkar sebuah kapal, terbuat dari besi baja yang padat dan kokoh. Bagian tengahnya lurus serta di bawahnya berupa busur dengan kedua ujung yang lancip. J ANGKAR kapal berukuran besar itu sampai kini diletakkan di ruangan sebelah utara dari balairung utama Vihara Dewi Welas Asih. Dengan berat yang mencapai lebih dari tiga ton, benda bersejarah itu disimpan dalam posisi berdiri dan disandarkan di tembok pembatas serambi utara dengan balairung utama yang menjadi pusat pemujaan terhadap Dewi Kwan Im, dewi kasih sayang.  Tempat peribadatan warga keturunan Tionghoa pemeluk agama Buddha ini terletak di areal kota tua di pesisir utara Kota Cirebon. Bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya sejak 2011 ini didirikan pada awal pertengahan abad ke-16, tepatnya tahun 1559 Masehi. Letaknya berada di pesisir pantai, persis bersebelahan dengan Pelabuhan Kota Cirebon. Kelenteng ini berada di antara gedung-gedung tua m...

Hari Pahlawan: MENGENANG 10 NOPEMBER 1945

Majalah Inggeris "Army Quarterly" yang terbit pada tanggal 30 Januari 1948 telah memuat tulisan seorang Mayor Inggeris bernama R. B. Houston dari kesatuan "10 th Gurkha Raffles", yang ikut serta dalam pertempuran di Indonesia sekitar tahun 1945/1946. Selain tentang bentrokan senjata antara kita dengan pihak Tentara Inggeris, Jepang dan Belanda di sekitar kota Jakarta, di Semarang, Ambarawa, Magelang dan lain-lain lagi. Maka Mayor R. B. Houston menulis juga tentang pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di Surabaya. Perlu kita ingatkan kembali, maka perlu dikemukakan di sini, bahwa telah terjadi dua kali pertempuran antara Tentara Inggeris dan Rakyat Surabaya. Yang pertama selama 3 malam dan dua hari, yaitu kurang lebih 60 jam lamanya dimulai pada tanggal 28 Oktober 1945 sore, dan dihentikan pada tanggal 30 Oktober 1945 jauh di tengah malam. Dan yang kedua dimulai pada tanggal 10 Nopember 1945 pagi sampai permulaan bulan Desember 1945, jadi lebih dari 21 har...