Langsung ke konten utama

Dr Soetomo, Pers dan Perjuangan

KETIKA pada pertengahan tahun 1988 lalu Menteri Penerangan Harmoko dan sejumlah tokoh pers terkemuka di Jakarta mengumumkan terbentuknya Institut Pendidikan Pers Dr Soetomo, sebagian orang merasa heran.

Bukankah selama ini dr Soetomo lebih dikenal sebagai pendiri Boedi Oetomo dan tokoh pergerakan nasional, dan bukannya sebagai tokoh pers? Bukankah sia-sia pula mencari namanya di antara 111 tokoh pers nasional yang tercantum dalam buku Jagat Wartawan Indonesia karangan Soebagijo I. N.?

Tapi keheranan itu mestinya sirna kalau riwayat hidup Pak Tom (panggilan akrabnya) dibaca secara lengkap. Peranan Soetomo dalam dunia pers memang merupakan bagian dari peranannya yang lebih luas dalam pergerakan kebangsaan sejak permulaan abad ini hingga akhir hayatnya tanggal 30 Mei 1938.

Sebagaimana telah diketahui, kelahiran pers nasional pada awal abad ini adalah paralel dengan cita-cita kebangsaan di mana pers berfungsi sebagai sarana yang ampuh guna menyebarkan semangat dan cita-cita kebangsaan itu sendiri. Setiap tokoh atau organisasi pergerakan senantiasa memerlukan pers guna membangkitkan kesadaran rakyat mensosialisasikan cita-cita kebangsaan sekaligus untuk memobilisir tenaga rakyat. Maka tidaklah mengherankan kalau salah seorang tokoh pergerakan seperti dr Soetomo kemudian juga ikut bergerak dalam dunia pers.

"... pers nasional itu adalah salah satu cabang kehidupan kita yang sebagai cermin dapat membayangkan sekalian cita-cita, keadaan dan kemauan kita. Pers nasional ialah suatu senjata yang mahatajam dan yang amat setia mengabadikan dirinya pada siapa yang mempergunakannya". Itulah petikan pidato dr Soetomo pada Kongres Indonesia Raya awal tahun 1932, yang secara jelas menggambarkan pendiriannya tentang peranan pers.

***

KETIKA ditempatkan di Jawa Timur setelah memperdalam studi kedokterannya di Negeri Belanda tahun 1923, dr Soetomo menyadari betapa cita-cita kebangsaan itu tidak dapat diwujudkan bila mayoritas rakyat masih tetap pasif karena ketidaktahuannya. Bagaimana menyadarkan dan menggerakkan rakyat dalam keadaan seperti itu?

Maka sebelum melangkah lebih jauh, pada tanggal 11 Juli 1924 Soetomo memprakarsai berdirinya Indonesische Studieclub yang menjadi forum pertukaran pikiran sekaligus bertujuan mempelajari kemungkinan untuk memajukan kemampuan berpolitik yang bermanfaat bagi kemajuan rakyat Indonesia.

Sebagai langkah berikut, Soetomo melalui lembaga baru itu menerbitkan surat kabar Soeloeh Indonesia pada tahun 1925, Soeloeh Ra'jat Indonesia (1931) dan Kromo Doeto (1933). Selain membiayai penerbitan-penerbitan tersebut, Soetomo ikut pula menyumbang tulisan-tulisannya.

Setelah Indonesische Studieclub berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), surat kabar Soeloeh Ra'jat Indonesia digabung dengan Swara Oemoem menjadi Soeara Oemoem. Surat kabar baru ini terbit dengan 8 halaman bahasa Indonesia dan 4 halaman bahasa Jawa. Halaman berbahasa Jawa itu dimaksudkan untuk bacaan rakyat banyak, karena itu disebut "volks editie" (edisi rakyat). 

Halaman berbahasa Jawa dari Soeara Oemoem itu kemudian dipisahkan menjadi penerbitan sendiri yaitu sebagai mingguan Panjebar Semangat pada tanggal 2 September 1933. Dari berbagai penerbitan yang pernah diprakarsai dan dibiayai dr Soetomo, tinggal Panjebar Semangat yang masih bertahan hidup hingga kini dengan oplah sekitar 75.000. Majalah berbahasa Jawa itu kini dipimpin oleh Muhamad Ali, salah satu murid dan pengikut dr Soetomo.

***

MENGUSAHAKAN suatu penerbitan pers pada tahun 1920-an dan 1930-an bukanlah hal yang mudah, tidak saja karena faktor modal yang pas-pasan di tengah-tengah persaingan dengan pers Belanda dan Tionghoa-Melayu, melainkan juga karena harus berhadapan dengan aparat kekuasaan kolonial.

Sebagai contoh, koran Soeara Oemoem pada tahun 1933 itu harus bertarung menghadapi persaingan dengan pers Belanda Soerabayasch Handelsblad dan Indische Courant. Bahkan pada tahun 1933 itu juga, redaktur Soeara Oemoem R. T. Tjindarboemi diborgol atas dakwaan melanggar Presbreidel Ordonantie dan Haatsai Artikelen karena tajuk rencana yang ditulisnya menyangkut pemberontakan kapal "Zeven Provincien".

Era tahun 1930-an itu oleh seorang pengamat disebut sebagai "kurusetra pers perjuangan". Berbagai penerbitan silih berganti, sebagian mati karena tidak mampu membiayai dirinya sendiri lagi, sebagian lagi karena ranjau pers.

Sekalipun begitu, pers nasional itu tetap merangkak dan tumbuh. Bukan sebagai pers dagang yang semata-mata mencari keuntungan, melainkan terutama sebagai pers perjuangan. Dan para wartawan pada masa itu melihat dirinya sebagai pejuang, yang bekerja terutama bukan atas standar jurnalisme profesional melainkan atas standar ideologi perjuangan antikolonial.

Dalam perspektif seperti itulah barangkali kita bisa lebih memahami kehadiran dan peranan Soetomo, seorang dokter ahli penyakit kulit dan kelamin, serta guru besar pada NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School), cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dewasa ini.

Dengan uang yang diperoleh dari gaji maupun prakteknya sebagai seorang dokter, Soetomo telah berupaya mendirikan organisasi politik dan membiayai sejumlah penerbitan pers. Selain nama-nama penerbitan pers yang disebutkan di atas, ia juga mengusahakan penerbitan harian Tempo yang semula terbit di Yogyakarta, dan majalah berkala Bangoen yang semula bernama Sara Moerti yang terbit di Solo dengan menggunakan bahasa Belanda.

Soetomo membiayai semua penerbitan itu tanpa sedikit pun bermaksud memperkaya dirinya sendiri. Ketika ia wafat pada tanggal 30 Mei 1938, terungkap wasiatnya mengenai berbagai harta peninggalannya yang ditujukan bagi kemajuan rakyat dan bangsa pada umumnya. Dalam wasiat itu ia menyatakan rumahnya di Tjikalet "disediakan untuk mengasuh bagi saudara-saudara separtai", sedangkan harta peninggalan lainnya "diuntukkan buat memajukan ekonomi rakyat Indonesia dan buat menyokong pelajaran ekonomi".

Dia juga memberi wasiat agar harian Soeara Oemoem, Tempo, Panjebar Semangat, dan Bangoen dijadikan stichting nasional, demikian pula Gedung Nasional Indonesia (GNI) yang sekarang masih berdiri di Jalan Bubutan, Surabaya, berada di samping patung dirinya dan makamnya yang terletak di belakangnya.

Dalam kompleks di Jalan Bubutan itu pula terdapat percetakan dan kantor redaksi majalah mingguan berbahasa Jawa, Panjebar Semangat, satu-satunya buah tangan dr Soetomo dalam bidang pers yang masih bertahan hidup hingga saat ini dengan oplah sekitar 75.000 sekali terbit.

***

DR SOETOMO dilahirkan tanggal 30 Juli 1988 di Desa Ngepeh, Nganjuk, Jatim, sebagai anak tertua dari tujuh bersaudara putra-putri Raden Soewadji. Dua di antara adiknya mengikuti jejaknya dengan menempuh pendidikan di bidang kedokteran yaitu dr Soesilo dan dr Soeratmo. Adik perempuannya, R. Ajeng Srijati adalah istri dari seorang tokoh pergerakan lainnya, dr Goenawan Mangoenkoesoemo (adik dr Tjipto Mangunkusumo).

Sebagai anggota keluarga dengan latar belakang kepriyayian Jawa, Soetomo memang sangat menghayati makna keserasian yang menjadi inti kebudayaan Jawa. Penghayatannya itu sebagaimana tampak kemudian--sangat mewarnai sikap dan perilaku politiknya yang tidak ingin menimbulkan konfrontasi dengan pihak lain. Dalam bahasa politik waktu itu, Soetomo tergolong kaum "kooperator".

Namun karena sikapnya yang moderat itu, ia sering mendapat kecaman dari beberapa tokoh pergerakan lainnya, bahkan juga dari teman dekatnya dr Tjipto Mangunkusumo. Soetomo ingin membawa kesejahteraan sosial kepada rakyatnya dengan jalan membimbing mereka membuat keuntungan sebanyak mungkin dalam batas lingkungan mereka yang diatur oleh kebijaksanaan kolonial dan bentuk sosial Jawa tradisional, dengan menerima kedua sistem itu berikut kelemahan-kelemahan dan kekuatan mereka.

Soetomo melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan dalam keserasian sebuah orkes gamelan, di mana setiap orang atau kelompok memainkan peran yang telah ditetapkan bagi mereka dalam keselarasan melodi orkes tersebut.

Memang tidak semua orang dapat menerima penghayatan kultural yang kemudian dimanifestasikannya dalam sikap dan perilaku politiknya. Tapi yang jelas, peranan dan sumbangannya dalam pergeraka kebangsaan akan tetap tercatat dalam sejarah, seperti juga peranannya dalam dunia pers nasional sebagaimana kini mulai diakui.

Khusus bagi komunitas pers yang hari-hari ini sedang merayakan Hari Pers Nasional, kiranya keteladanan dan sebagian prinsip hidupnya dapat dijadikan bahan renungan, penggugatan diri di tengah-tengah kecenderungan yang menjadi bagian dari industri dan melupakan akarnya sebagai pers perjuangan. (Tim Kompas).



Sumber: Kompas, 8 Februari 1989



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

Korban Westerling Tolak Permintaan Maaf Belanda

JAKARTA, (PR),- Hubungan diplomatik Indonesia-Belanda dinilai ilegal. Soalnya, baik secara internasional maupun nasional, tidak ada dasar hukumnya. "Coba, apa landasan hukum hubungan Indonesia-Belanda. Ini perlu dipertanyakan dan dikaji oleh pakar hukum tata negara," kata sejarawan Anhar Gonggong dalam diskusi bertajuk "Permintaan Maaf Belanda atas Kasus Westerling" bersama anggota Dewan Perwakilan Daerah Abdul Aziz Kahhar Mudzakkar dan Ketua Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/9/2013). Sampai saat ini, kata Anhar, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan hanya mengakui Indonesia merdeka tanggal 27 Desember 1949. Begitu pula dengan Indonesia yang bersikukuh bahwa kemerdekaannya diproklamasikan 17 Agustus 1945. "Artinya, Belanda memang tak pernah ikhlas terhadap Indonesia. Karena sejak Indonesia merdeka, Belanda kehilangan lumbung ekonomi dan politik," tambah guru besar se...

Berburu Keberuntungan di Trowulan

T anpa terasa sudah hampir dua pekan hari-hari puasa terlewatkan. Dan sudah hampir dua pekan pula Trowulan dikunjungi banyak tamu. Memang, di setiap bulan Ramadhan, Trowulan--sebuah kecamatan di kabupaten Mojokerto--sekitar 50 km barat laut Surabaya, selalu dikunjungi banyak pendatang. Apa yang bisa dilakukan pengunjung di Trowulan di setiap Ramadhan? Menurut banyak orang yang pernah mengunjungi Trowulan, banyak yang bisa dipelajari dan diperhatikan secara saksama di kota bersejarah itu. Trowulan adalah bekas kota kejayaan Kerajaan Majapahit. Di kota itu hingga kini masih banyak peninggalan bekas kejayaan kerajaan Majapahit, salah satu di antaranya adalah Kolam Segaran. "Selain itu, juga ada situs kepurbakalaan kerajaan Majapahit. Ada Candi Tikus, Candi Brahu, makam Ratu Kencana, makam Putri Campa, dan yang paling banyak dikunjungi pendatang adalah makam Sunan Ngundung," ujar Suhu Ong S Wijaya, paranormal muslim yang tiap Ramadhan menyempatkan berziarah ke makam-makam penyeba...

Perjuangan Pelajar Sekolah Guru

Oleh Maman Sumantri TIDAK lama sesudah tersirat secara luas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia, berkobarlah semangat juang para pemuda, pelajar, mahasiswa, dan warga masyarakat lainnya di seluruh Indonesia. Mereka serempak bangkit berjuang bahu-membahu secara berkelompok dalam badan-badan perjuangan atau kelasykaran, dengan tekad mengisi dan menegakkan proklamasi kemerdekaan. Kelompok badan perjuangan atau kelasykaran yang turut dalam perjuangan menegakkan proklamasi kemerdekaan pada awal revolusi kemerdekaan di Kota Bandung dan sekitarnya, di antaranya Pemuda Republik Indonesia, Hizbullah, Barisan Merah Putih, Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), Barisan Berani Mati, Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Indonesia Maluku, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), Lasykar Rakyat, Pasukan Istimewa, (PI), Lasykar Wanita Indonesia (Laswi), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR)....

Museum Sumpah Pemuda yang Bagai Terlupakan

S atu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa merupakan tiga pokok substansial yang dapat mempersatukan keberagaman etnis, bahasa, dan budaya ke dalam satu wadah yang bernama Indonesia. Mengingat demikian pentingnya peristiwa tersebut bagi upaya pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia, maka secara nasional setiap tanggal 28 bulan Oktober selalu dikenang sebagai Hari Sumpah Pemuda. Satu hal yang barangkali agak terlupakan oleh kita, ketika memperingati hari bersejarah ini, adalah sebuah museum yang bernama Museum Sumpah Pemuda dan terletak di Jl Kramat Raya No 106 Jakarta Pusat. Di museum inilah, ikrar itu diucapkan. Di gedung ini pulalah, Wage Rudolf Supratman menggesekkan biolanya, melantunkan lagu Indonesia Raya untuk yang pertama kalinya pada 28 Oktober 1928. Segala proses yang menyangkut lahirnya ikrar Sumpah Pemuda 66 tahun silam, tertata secara apik lewat sajian foto dan patung di museum yang tidak begitu luas ruangannya ini. Sarana Pembinaan Berbeda dengan museum-museum lainny...