Langsung ke konten utama

Catatan Sejarah Perjuangan Bangsa: Pergerakan Wahidin Soedirohoesodo Beranjak dari Sebuah Desa Kecil

Oleh: Sudarto
Wartawan Suara Karya

Hari lahirnya Boedi Oetomo, tanggal 20 Mei 1908, yang kini ditetapkan menjadi Hari Kebangkitan Nasional, untuk ke-75 kalinya diperingati oleh seluruh bangsa Indonesia tanggal 20 Mei lalu. Hal ini dilakukan sebagai penghormatan, dan rasa terima kasih segenap bangsa Indonesia terhadap para pendiri Boedi Oetomo, yang telah mampu membangkitkan pergerakan bangsa Indonesia, hingga bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya, dan mengusir kaum penjajah dari bumi Nusantara.

Sudah menjadi catatan sejarah, Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 1908 telah mampu menggerakkan pemuda Indonesia ke arah persatuan, dan kesatuan bangsa, hingga mereka tanggal 28 Oktober 1928 mencetuskan Sumpah Pemuda, Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Indonesia.

Semangat Kebangkitan Nasional tidak hanya berhenti sampai di situ, sebab ia terus memancarkan sinarnya di dada setiap insan Indonesia, yang kemudian meledak menjadi api perjuangan merebut kemerdekaan, dan tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya. Semangat kebangkitan nasional tidak berhenti di situ, tetapi terus menggelora menjadi kebangkitan bangsa-bangsa yang tertindas di Asia Afrika.

Sebenarnya, Kesadaran Nasional itu sudah bersemi sejak Kartini, ketika pendekar wanita itu mulai memikirkan pemuda dari Sumatera Barat, Agus Salim, yang pada waktu itu sudah mulai berjuang.

Getarkan Hati Pemuda

Namun konsepnya lebih matang tercipta, ketika pemuda di seluruh wilayah tanah air mengikrarkan sumpah pemuda, dan lebih dipertegas lagi dengan perjuangan 1945, yang memerdekakan bangsa dari belenggu penjajahan Belanda, yang 3,5 abad lamanya.

Prof. Soenario, bekas Menteri Luar Negeri Kabinet Ali Sastroamidjoyo, pernah menyatakan kepada wartawan (Merdeka, 16 Mei 1981), "Pada waktu Boedi Oetomo didirikan oleh dr. Soetomo, dan dr. Wahidin Soedirohoesodo, saya masih berumur 6 tahun, jadi tidak tahu apa-apa. Tetapi ketika saya dewasa semangatnya menggetarkan hati para pemuda. Bung Karno, Bung Hatta, saya sendiri, dan banyak pemuda lainnya, merasakannya.

Dikatakan, yang menjadi dasar perjuangan Angkatan 1945 adalah "Sumpah Pemuda". Dia ibarat pondasi sebuah bangunan Republik Indonesia, dan Sumpah Pemuda tidak dapat dilepas dari peristiwa 20 Mei 1908, yaitu lahirnya "Kebangkitan Nasional"!

Para pemuda Angkatan 28, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Dr. Leimena, juga berperan sampai dekade 1960-an. Angkatan 45, sekarang ini masih ada, dan tinggal sedikit, yang merupakan pewaris Angkatan Sumpah Pemuda 1928.

Pada tingkat sekarang, yang penting Angkatan masa kini harus mampu memperkuat Sumpah Pemuda menjadi lebih nyata, yaitu bersatu padu dalam kesatuan dan persatuan bangsa, yang justru menjadi landasan Angkatan 45 merebut kemerdekaannya.

Kesadaran Nasional

Sejak 20 Mei 1908 terlihat sekali peningkatan mutu dari kesadaran nasional bangsa Indonesia. Pada waktu itu Indonesia adalah "Kancil yang Cerdik", karena memang baru merdeka, dan masih lemah. Mengingat keadaannya itu, Indonesia dalam perjuangannya melawan kolonialisme secara tuntas, memberanikan diri mengkonsep perjuangan bangsa-bangsa Asia Afrika, yang kemudian dicetuskan di Kolombo.

Berkat semangat perjuangannya yang tinggi, akhirnya Indonesia berhasil merebut kembali Irian Barat, yang kini disebut Irian Jaya, ke pangkuannya. Yang mengagumkan lagi, berkat semangat Kebangkitan Nasional yang memancar ke bangsa-bangsa Asia Afrika yang terjajah, 40 bangsa dari 2 benua itu berhasil melepaskan diri dari kungkungan buaya-buaya kolonialis, dan memproklamasikan kemerdekaannya. 

Melihat hal itu semua, maka kewajiban Angkatan Sekarang, dan Angkatan yang akan Datang, adalah mewarisi semangat Kebangkitan Nasional yang memancar dari apinya jiwa seorang anak desa di kakinya Gunung Merapi, yang kemudian kita kenal bernama dr. Wahidin Soedirohoesodo, yang dijuluki Bapak Boedi Oetomo

Dr. Wahidin Soedirohoesodo, yang juga dijuluki Bapak Perhimpunan Pemuda Jawa (Jong Javanen Bond), adalah seorang bapak yang menjiwai seluruh pergerakan bangsa Hindia (Indonesia). 

Desa Mlati

Di sebuah desa kecil, yang terbentang indah di kaki Gunung Merapi yang hijau, pertengahan abad lalu, tinggal suatu keluarga yang walaupun sangat sederhana, tetapi sangat menarik perhatian. Sebagai salah satu keluarga tertua di Desa Mlati.

Kepala keluarga itu sangat disukai, dikasihi, dan disegani oleh semua keluarga desanya.

Orang-orang kota, yang karena alasan pekerjaannya, maupun kesehatannya, meninggalkan daerah Kesultanan Yogyakarta untuk sementara waktu, dan datang ke desa kecil yang diberi nama bunga itu, juga mendapat kesan, ada hal yang luar biasa pada keluarga itu. Demikian dikemukakan Pitut Soeharto dan drs. Zainoel Ihsan, dalam bukunya yang berjudul "Cahaya di Kegelapan", mengutip tulisan S. Suryaningrat dalam Nederlandsch Indie Oud en Nieuw I (1916-'17), hal 265, yang ditulis dalam bahasa Belanda, dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Ny. Ratna S. Soetardijo.

Wahidin yang Cerdas

Salah satu anggota keluarga itu, Wahidin kecil, yang sejak dahulu sudah memperlihatkan pancaran mata yang sedemikian cerdasnya, senantiasa merupakan pusat perhatian orang.

Di kalangan orang-orang Eropa, maupun Jawa yang terkemuka, terdapat pandangan bahwa si buyung kecil itu harus belajar. Kemudian anak desa kecil itu pergi ke kota, dan tak lama kemudian menjadi salah seorang anak Jawa yang pertama masuk Sekolah Dasar Eropa (eurofeesche Lagere School).

Wahidin kecil di antara kawan-kawan sekolahnya sangat menampakkan kelebihan dalam kecerdasan otaknya, karena diajukan gagasan untuk memberikan kesempatan melanjutkan pelajarannya, dan ia kemudian didaftarkan sebagai siswa Sekolah Dokter Jawa di Batavia (Jakarta).

Di sekolah itu pun Wahidin dikenal oleh para gurunya sebagai seorang siswa yang tekun belajar, di samping ia itu dianugerahi otak yang sangat cerdas, dan cemerlang.

Sebagai dokter Jawa ia bahkan sedemikian menarik perhatian, hingga ia dinilai cukup memadai untuk diangkat sebagai asisten guru pada sekolah kedokteran.

Dr. Wahidin kemudian menetap di Yogyakarta, di mana ia pertama kalinya mendapat pendidikan sekolah, kemudian menjadi salah seorang penduduk yang paling dihormati. Di kota itu pula dr. Wahidin tinggal sampai akhir hayatnya, tanggal 26 Mei 1916.

Mas Ngabehi Soedirohoesodo, demikian panggilan dr. Wahidin dalam lingkungan masyarakat Jawa, telah mempersatukan namanya sedemikian eratnya dengan Pergerakan Hindia, hingga siapapun yang membuat tulisan mengenai penghidupannya, akan sekaligus memperbincangkan kurun waktu yang dalam penghidupannya, yang tak dapat disangkal lagi merupakan suatu garis batas dalam sejarah bangsa Indonesia.

"Bapak Boedi Oetomo"

Dr. Wahidin mendapat julukan "Bapak Boedi Oetomo" atau "Bapak Perhimpunan Pemuda Jawa (Jong Javana Bond)", tetapi setelah ia meninggalkan kita untuk selama-lamanya, kita cenderung menganggapnya sebagai bapak yang menjiwai seluruh pergerakan bangsa Hindia.

Suatu kenyataan, Boedi Oetomo adalah suatu perhimpunan induk yang telah melahirkan berbagai aliran pendapat di dalam masyarakat bumiputera. Hal itu diakui bukan saja oleh para anggota Boedi Oetomo, tetapi juga para wakil aliran-aliran lainnya. Walaupun tidak semua orang dapat menemukan apa yang dicarinya pada Boedi Oetomo, namun pada umumnya orang menganggap terbentuknya persatuan yang semula bersifat nasionalis revolusioner itu sebagai kejadian penting, yang telah lama dinantikan, yang merupakan suara sangsakala bagi bangsa yang terdiri berjuta-juta manusia yang diperbudak. 

Sungguhpun dr. Wahidin pada hakekatnya bukan pendiri Boedi Oetomo, tetapi ia adalah orang yang menandai terwujudnya kebangkitan rasa kebangsaan Indonesia.

Dr. Wahidin menyadari lapisan-lapisan masyarakat kaum bumiputera perlu mendapat pendidikan yang lebih besar, dan lebih baik.

"Berjuang atau Musnah"

Ia berpendapat, kelestarian hidup bangsa harus diperjuangkan. Dalam hal itu orang-orang Jawa tidak dapat mengelak, dan harus memilih "Berjuang atau musnah!" Dalam hal ini dr. Wahidin sedikit pun tidak percaya akan hal terakhir itu, karenanya ia mencanangkan perjuangan bagi rakyatnya. 

Yang ia inginkan 2 hal, yaitu pendidikan bagi lapisan-lapisan masyarakat kaum bumiputera yang lebih besar, dan peningkatan rasa kebangsaan. 

Secara diam-diam, dan sungguh-sungguh, dr. Wahidin kemudian mempersiapkan rencana-rencananya. Dalam majalah bahasa Jawa "Retno Dhoemilah" yang ia pimpin, waktu itu, secara teratur dimuat tulisan-tulisan yang tersusun secara matang, yang menunjukkan kebangsaannya dan kegunaan pendidikan. 

Di situ ia melancarkan propaganda pribadi mengenai gagasan-gagasannya, yang tidak seluruhnya gagal, sebab kemudian banyak penduduk Yogya yang memasukkan anak-anaknya ke sekolah.

Melihat sejumlah anak muda tidak puas dengan apa yang mereka peroleh dari pendidikan sekolah dasar, namun acapkali terbentur masalah keuangan, hingga cita-citanya yang luhur untuk melanjutkan pelajarannya kandas, dr. Wahidin melanjutkan aksinya, yaitu mengumpulkan dana pendidikan.

Dalam usahanya itu ia memperoleh bantuan dan dukungan dari beberapa orang berpengaruh, terutama Pangeran Ario Notodihardjo dari Paku Alaman, yang merupakan kawan sepaham, dan penduduk sangat setia.

Dana Pendidikan

Dalam tahun 1906 dr. Wahidin Soedirohoesodo mengadakan perjalanan propaganda keliling Pulau Jawa. Dalam perjalanan itu ia mengadakan pertemuan-pertemuan, di semua tempat penting di Jawa Barat, dengan harapan dapat meyakinkan priyayi di situ, tentang keharusan adanya suatu aksi peningkatan martabat orang-orang Jawa, yang keluar dari seluruh masyarakat bumiputera.

Pembentukan suatu dana pendidikan bagi dr. Wahidin, merupakan tujuan pertama dari rencana gerakan propaganda tersebut yang harus dirintis. Pertemuan-pertemuan yang bersifat kekeluargaan yang diadakan oleh dr. Wahidin dengan kaum priyayi, di beberapa tempat, adalah rapat kaum bumiputera pertama, di mana para pesertanya berusaha mendapatkan gambaran tentang kedudukan mereka dalam masyarakat Hindia. Kejadian tersebut kemudian terbukti merupakan tahap embrio dari pergerakan Hindia yang kini diakui sebagai pergerakan bangsa Indonesia.

Dalam mewujudkan cita-citanya itu, dr. Wahidin menemui berbagai rintangan, tetapi baginya rintangan itu tidak membuatnya kehilangan semangat.

Belum lagi memulai aksinya yang baru, dari berbagai jurusan, ia memperoleh kabar bahwa cita-citanya segera akan ditangani tenaga-tenaga muda, dr. R. Soetomo, dan Mas Goenawan Mangoenkoesoemo, yang pada waktu itu masih menuntut pelajaran di Batavia, dalam tahun 1908, memproklamasikan berdirinya Ikatan Pemuda Jawa (het Jong-Javaansch verbond) "Boedi Oetomo".

Namun kemudian seluruh pelajar Sekolah Menengah Keahlian Bumiputera, menyatakan solider dengan tindakan tersebut, dan sepakat menyerahkan seluruh pimpinan perhimpunan tersebut kepada dr. Wahidin Soedirohoesodo pada Kongres Orang-orang Jawa yang pertama.

Dalam kongres itu ia berhasil memasukkan gagasannya ke dalam seluruh rapat. Pada pidato pembukaannya ia mengatakan, "Orang-orang Jawa sedang menyongsong hari depan yang indah." Kata-kata itu memberikan semangat, dan kepercayaan kepada kaum intelek yang hadir. Ia dalam kongres itu menyampaikan berita lahirnya pikiran tentang kebangsaan.

Ketika kongres tersebut bubar, maka mulailah penghidupan pergerakan rakyat, yang bapak sejatinya adalah Mas Ngabehi Wahidin Soedirohoesodo.



Sumber: Suara Karya, 29 Mei 1983



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

49 Tahun yang Lalu, Westerling Bantai Puluhan Ribu Rakyat Sulsel

S EPANJANG Desember, mayat-mayat bersimbah darah tampak bergelimpangan di mana-mana. Pekik pembantaian terus terdengar dari kampung ke kampung di Tanah Makassar. Ribuan anak histeris, pucat pasi menyaksikan tragedi yang sangat menyayat itu. Tak ada ayah, tak ada ibu lagi. Sanak saudara korban pun terbantai. Lalu, tersebutlah Kapten Reymond Westerling, seorang Belanda yang mengotaki pembantaian membabi buta terhadap rakyat Sulawesi Selatan 11 Desember, 49 tahun yang lalu itu. Hanya dalam waktu sekejap, puluhan ribu nyawa melayang lewat tangannya.  Makassar, 11 Desember 1946. Kalakuang, sebuah lapangan sempit berumput terletak di sudut utara Kota Makassar (sekarang wilayah Kecamata Tallo Ujungpandang). Di lapangan itu sejumlah besar penduduk dikumpulkan, lalu dieksekusi secara massal. Mereka ditembak mati atas kewenangan perintah Westerling. Bahkan, sejak menapakkan kaki di Tanah Makassar, 7 sampai 25 Desember 1946, aksi pembantaian serupa berulang-ulang. Westerling yang memimpin sep...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Masjid Agung Al Azhar (1952) Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

M asjid putih berarsitektur indah ini dibangun pada tahun 1952. Tokoh-tokoh pendirinya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H. Gazali dan H. Suaid. Masjid yang awalnya diberi nama Masjid Agung Kebayoran Baru ini dibangun selama enam tahun (1952 - 1958) dan berdiri di atas lahan seluas 43.756 m2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili walikota Jakarta Raya. Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan seorang tamu yang adalah Rektor Universitas Al Azhar, Syekh Muhammad Saltut. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru. Imam besar pertama masjid itu adalah Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, salah seorang tokoh Muhammadiyah yang lebih dikenal sebagai panggilan Buya Hamka. Ulama kondang berdarah Minangkabau, Hamka, itu pula yang mentradisikan akti...

PERISTIWA WESTERLING 23 JANUARI 1950 DI BANDUNG

Oleh : Djamal Marsudi Sejarah kekejaman Westerling sebetulnya sudah dimulai dari Sulawesi semenjak tahun 1945/1946, maka pada waktu Kahar Muzakar yang pada waktu itu menjadi orang Republiken, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta, telah memberikan laporan bahwa korban yang jatuh akibat kekejaman yang dilakukan oleh Kapten Westerling di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 (empat puluh ribu jiwa manusia). Laporan tersebut di atas lalu diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam rangka upacara peringatan korban "WESTERLING" yang pertama kali pada tanggal 11 Desember 1949 di Yogyakarta, justru sedang dimulainya Konperensi Meja Bundar di Negeri Belanda. Berita "Kejutan" yang sangat "Mengejutkan" ini lalu menjadi gempar dan menarik perhatian dunia internasional. Maka sebagai tradisi pada setiap tahun tanggal 11 Desember, masyarakat Indonesia dan Sulawesi khususnya mengadakan peringatan "KORBAN 40.000 JIWA PERISTIWA WESTERLING" di Sulawesi Selatan. T...