Langsung ke konten utama

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil.

Di sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini.

Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu.

Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549.

Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari.

Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudus serupa dengan Menara Kulkut di Bali. Seperti halnya Menara Kulkut, bagian itu juga berfungsi sebagai tempat menyampaikan pengumuman atau berita penting, misalnya, waktu dimulainya bulan Ramadhan.

Kini, ada masjid dengan kubah bercorak Timur Tengah yang dibangun belakangan untuk melengkapi menara Masjid Kudus.

Nadjib Hassan (59), Ketua Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus, menerangkan, masjid baru itu dibangun untuk membuktikan bahwa Masjid Menara Kudus terbuka kepada semua kelompok.

Memasuki kompleks masjid, terlihat rombongan peziarah keluar-masuk makam Sunan Kudus yang berada di bagian belakang kompleks Masjid Menara Kudus. Jajaran makam tua di sana diperkirakan sudah ada sejak abad ke-15. Para pengunjung duduk di dekat pelataran makam dan berdoa.

Nuansa sakral terasa ketika memasuki areal makam Sunan Kudus yang berada di dalam cungkup tersendiri dengan kelambu putih yang menyelubungi. Makam tersebut sebenarnya berada di dalam sebuah bangunan khusus dengan atap kayu dan dinding kayu penuh ukiran. Bangunan itu dilengkapi sebuah pintu yang selalu ditutup. Para peziarah duduk mengelilingi bangunan berkelambu putih itu. Mereka berdoa dengan suara ritmis yang teratur.

Pada pertengahan Oktober lalu, kelambu putih yang menyelubungi makam Sunan Kudus baru saja diganti dalam suatu upacara buka luwur. Upacara ini dlakukan setiap tanggal 10 Muharam (10 Asyuro atau Suro). Dalam upacara ini, warga mengantre berkat, yakni bungkusan nasi dan lauk-pauk sebagai bagian dari upacara. Berkat itu dibagikan setelah luwur diganti. Setiap orang bisa mengantre berkat.

Menurut Nadjib Hassan, pada kegiatan tahun 2016, panitia mencatat ada sumbangan 14,5 ton beras, 10 ekor kerbau, dan 70 ekor kambing untuk buka luwur. Semuanya berasal dari masyarakat. Setiap kali buka luwur bisa dihasilkan lebih dari 30.000 nasi berkat yang dibagi-bagikan kepada masyarakat.

Di kalangan wali sanga, Sunan Kudus dikenal sebagai penjaga syariat. Ia tak hanya mendirikan masjid, tetapi juga nagari Kudus yang multietnis dan multireligi. Hal itu ditunjukkan dengan larangan memotong sapi di daerah itu. Pasalnya, bagi masyarakat setempat yang menganut Hindu ketika itu, sapi adalah hewan yang dihormati. Sebagai gantinya, warga memotong kerbau. Toleransi dan keberagaman dijunjung tinggi karena sejak dari dulu Kudus adalah wilayah yang multietnis.

Harmoni

Fenomena yang terjadi di Kudus juga bisa ditemui di Cirebon, Jawa Barat. Makam Sunan Gunung Jati selalu ramai pada malam tertentu. Seperti halnya di Kudus, nama-nama masjid awal di Cirebon juga memakai nama dalam istilah lokal. 

Salah satu masjid tertua Cirebon, yakni Masjid Pejlagrahan, berada di belakang kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon. Meski bangunan masjid itu telah banyak mengalami pemugaran, soko guru dari kayu dan bentuk atapnya yang bukan kubah tetap dipertahankan.

Ada pula Masjid Sang Cipta Rasa, yang tembok kelilingnya mengikuti gaya Majapahit atau Hindu-Jawa. Masjid yang letaknya tidak jauh dari Keraton Kasepuhan ini merupakan masjid wali sanga karena arsiteknya adalah Sunan Kalijaga.

Unsur kayu amat menonjol di Masjid Sang Cipta Rasa. Soko guru dan pasangan kayu melintang, menyusun konstruksi bangunan. Bentuk semacam ini juga ditemui di Masjid Agung Demak dan Masjid Sunan Ampel di Surabaya. Atap masjid Sang Cipta Rasa berbentuk limasan tanpa kubah atau memolo.

Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat dari Keraton Kasepuhan Cirebon mengatakan, dalam menyebarkan agama Islam di Jawa Barat seperti Cirebon, Sunan Gunung Jati tidak pernah memaksa. Unsur-unsur kebudayaan lama yang baik dan hidup di masyarakat tidak dihapuskan, melainkan justru diteruskan dengan dmasukkan unsur-unsur Islami. Pendekatan itu diadopsi dengan baik, tidak hanya dalam penamaan dan arsitektur masjid-masjid, tetapi juga dipelihara dalam praktik budaya Cirebon, seperti tradisi mauludan yang dirayakan besar-besaran dalam upacara Panjang Jimat. 

Dalam upacara ini, disajikan makanan dalam piring-piring panjang. Upacara peringatan maulud semacam ini juga dikenal di Keraon Mataram Islam di Yogyakarta, dan di Keraton Surakarta.

Tidak hanya itu, para wali juga menekankan upaya penanaman Islam melalui seni-budaya. Di Cirebon dikenal Tari Topeng yang mengisahkan lima karakter manusia. Sebagian sejarawan menilai gerakan-gerakan di dalam tari itu menyimbolkan ajaran Islam, misalnya Tari Panji yang dimaknai mapan ning kang siji, yakni Allah SWT, atau Tari Klana, yang menyimbolkan orang angkara murka yang tersesat dari ajaran agama. Bentuk kesenian lainnya yang paling terkenal adalah wayang, yang diyakini juga menjadi media dakwah kelompok sufi tersebut, selain juga melalui nyanyian anak-anak, dan alat musik seperti gamelan.

Kesinambungan dan harmonisasi adalah kata kunci dalam pendekatan damai yang diterapkan oleh wali sanga. Agus Sunyoto, penulis buku Atlas Walisongo, menerangkan, kaum sufi bersifat terbuka, luwes, dan adaptif dalam menyikapi keberadaan ajaran atau aliran lain di luar Islam. Alhasil, banyak hasil akulturasi dan asimilasi budaya antara Islam danegan Hindu-Buddha, anatara lain nyadran, yaitu upacara mengirim doa kepada arwah leluhur yang menggantikan tradisi sradha yang merupakan upacara meruwat arwah seseorang setelah 12 tahun meninggal. Lalu, ada pula tradisi tabarukan di makam keramat, membuat bubur pada bulan Muharram, memperingati Maulid Nabi, dan peringatan nisyfu sya'ban

Dengan pendekatan yang semacam itu, Islam diterima, dan cepat mendapatkan pengikut di Nusantara, utamanya di Jawa. Wali sanga dengan setiap wilayah penyebarannya sejak awal membawa pesan damai, harmoni, dan toleransi.

(MUHAMMAD IKHSAN MAHAR/RINI KUSTIASIH)



Sumber: Kompas, 7 Desember 2016



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

"Abangan"

Oleh AJIP ROSIDI I STILAH abangan berasal dari bahasa Jawa, artinya "orang-orang merah", yaitu untuk menyebut orang yang resminya memeluk agama Islam, tetapi tidak pernah melaksanakan syariah seperti salat dan puasa. Istilah itu biasanya digunakan oleh kaum santri  kepada mereka yang resminya orang Islam tetapi tidak taat menjalankan syariah dengan nada agak merendahkan. Sebagai lawan dari istilah abangan  ada istilah putihan , yaitu untuk menyebut orang-orang Islam yang taat melaksanakan syariat. Kalau menyebut orang-orang yang taat menjalankan syariat dengan putihan  dapat kita tebak mungkin karena umumnya mereka suka memakai baju atau jubah putih. Akan tetapi sebutan abangan-- apakah orang-orang itu selalu atau umumnya memakai baju berwarna merah? Rasanya tidak. Sebutan abangan  itu biasanya digunakan oleh orang-orang putihan , karena orang "abangan" sendiri menyebut dirinya "orang Islam". Istilah abangan  menjadi populer sejak digunakan oleh Clifford ...