Langsung ke konten utama

SUMPAH PEMUDA: Asal-usul Nama Indonesia

Ketika Sumpah Pemuda dicetuskan pada 28 Oktober 1928, nama Indonesia sebagai identitas pemersatu sebuah bangsa modern di Asia menjadi perekat lintas suku bangsa, agama, dan sekat-sekat primordial. Asal-usul nama Indonesia mulai dikenal pada medio tahun 1800-an. Menurut sejarawan Universitas Oxford, Peter Carey, nama Indonesia muncul dan diperkenalkan James Richardson Logan (1819-1869) tahun 1850 dalam Journal of Indian Archipelago and Eastern Asia.

Logan adalah orang Skotlandia yang menjadi editor majalah Penang Gazette, wilayah Straits Settlement--kini Negara Bagian Penang, Malaysia--yang bermukim di sana kurun waktu 1842-1847. "Nama yang diperkenalkan adalah Indonesia untuk menyebut Kepulauan Hindia yang waktu itu merupakan jajahan Belanda sehingga disebut Hindia-Belanda," kata Carey.

Bangsa Eropa mengenal dua wilayah Hindia, yakni Hindia-Barat, yaitu wilayah Kepulauan Karibia yang ditemukan Christopher Columbus yang semula diyakini sebagai wilayah Hindia (India)--pusat rempah-rempah yang dicari orang Eropa. Sesudah ekspedisi Vasco da Gama dan Magellan, ditemukanlah Hindia Timur, yakni Kepulauan Nusantara, yang merupakan pusat rempah-rempah yang selama berabad-abad dicari orang Eropa.

Wilayah Nusantara tersebut merupakan persimpangan peradaban dan pengaruh budaya India dan Tiongkok sehingga ilmuwan Perancis, Dennis Lombard, menyebutnya sebagai carrefour de civilization atau silang budaya. 

Sejarawan Yayasan Nation Building (Nabil), Didi Kwartanada, menambahkan, informasi tentang seorang priayi Inggris, Earl George Samuel Windsor (1813-1865), dalam karya ilmiah berjudul On The Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations (1850) mengusulkan sebutan khusus bagi warga Kepulauan Melayu atau Kepulauan Hindia (Hindia-Belanda) dengan dua nama yang diusulkan, yakni Indunesia atau Malayunesia.

Tokoh lain yang disebutkan Peter Carey dan Didi Kwartanada adalah ilmuwan Jerman, Adolf Bastian (1826-1905), Guru Besar Etnologi di Universitas Berlin, yang memopulerkan nama Indonesia di kalangan sarjana Belanda. Bastian memopulerkan nama Indonesia dalam bukunya berjudul Indonesien: Oder Die Inseln Des Malayischenn Archipel terbitan 1884 sebanyak lima jilid. Buku tersebut memuat hasil penelitiannya di Nusantara dalam kurun 1864-1880. Menurut Carey, Bastian membagi wilayah Nusantara dalam zona etnis dan antropologi.

Identitas gerakan politik

Nama Indonesia menjadi identitas politik ketika trio Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat), dan dokter Tjipto Mangunkusumo mengusung gagasan modern berpolitik dalam Indische Partij (Partai Hindia), yang menjadikan orang-orang kelahiran Indonesia membangun kesadaran politik dan kebangsaan Indonesia tanpa membedakan sekat perbedaan suku-rasial dan keyakinan.

Sebagai kilas balik yang menarik, sejarawan Remco Raben dan Ulbe Bosma dalam buku Being Dutch in The Indies: A History of Creolisation and Empire, 1500-1920, mengungkapkan, kesadaran sebagai "Putera Hindia" juga muncul di kalangan Indo-Eropa. Bahkan, pernah terjadi unjuk rasa menuntut hak sebagai Putera Hindia pada 1840-an yang sangat tidak lazim di Hindia-Belanda yang sangat konservatif. Pasalnya, orang Eropa mengacu Benua Eropa adalah tanah airnya. Mereka hanya menjadi pemukim--trekker--yang suatu hari akan kembali ke Eropa dan tidak peduli masa depan Hindia.

Penulis buku Perang Napoleon di Jawa, 1811, Jean Rocher yang lulusan Akademi Militer Saint Cyr dan fasih berbahasa Indonesia mengatakan, reformasi politik pertama pada zaman penjajahan Belanda dilakukan oleh tokoh yang tak populer dalam sejarah Indonesia, yakni Herman Willem Daendels. Daendels memecat birokrat korup dan mencabut hak-hak bangsawan lokal yang berlebihan serta menjalankan efisiensi pemerintahan. Sejarah menempatkan Daendels pada posisi antagonis.

Mengenai pertumbuhan dan kesadaran politik, Peter Carey menjelaskan, Hindia-Belanda jauh tertinggal dibandingkan dengan Filipina yang merupakan jajahan Amerika Serikat dan India yang merupakan jajahan Inggris. Kesadaran untuk mempersiapkan kemerdekaan negeri jajahan sudah disadari pihak AS dan Inggris.

Adapun kelahiran Indische Partij dan kemunculan gerakan Sarikat Islam (SI) oleh HOS Tjokroaminoto dan kawan-kawan pada zaman Gubernur Jenderal Idenburg memicu pergerakan kebangsaan lebih lanjut oleh para pemuda yang mengalami banyak tekanan. Apalagi pada 1926, pemberontakan Komunis ditumpas oleh Kolonial Belanda sehingga ruang aktivitas politik semakin diperketat. Pada saat yang sama, krisis ekonomi global--malaise--melanda dunia dan memukul Hindia-Belanda yang ekonominya mengandalkan ekspor komoditas, seperti gula dan berbagai bahan mentah.

Pemanasan menjelang Sumpah Pemuda dimulai ketika tahun 1927, WR Supratman dan Yo Kim Tjan, pemilik Toko Musik Populair di Pasar Baru, berkolaborasi merekam lagu Indonesia Raya yang kemudian digandakan di Inggris. Selanjutnya, pada 1928, para pemuda membuka Kongres Pemuda II di lahan Jong Katoliek Bond di Kompleks Katedral dan ditutup di rumah Sie Kong Liong di Jalan Kramat Raya 106, yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda. Pemuda, seperti Mohammad Yamin, Amir Sjarifoeddin, dan Asaat, yang kelak menjadi pejabat presiden RI, pernah indekos di rumah Sie Kong Liong yang menyokong gerakan para pemuda hingga lahir Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober. 

(IWAN SANTOSA)



Sumber: Kompas, 29 Oktober 2015



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Dinasti Gowa Ditemukan

JAKARTA, KOMPAS -- Sepucuk surat dalam naskah kuno beraksara Jawi mengungkapkan sejarah penting dinasti Kerajaan Goa. Ahli filologi dan peneliti dari Leiden University, Belanda, Suryadi, menemukan bagian penting yang selama ini belum terungkap dalam buku-buku sejarah di Indonesia. Sejarah penting itu dalam sepucuk surat Sitti Hapipa yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, yang ketika itu dijabat Albertus Henricus Wiese (1805-1808). Surat penting Sitti Hapipa dari pengasingannya di Colombo, Ceylon (sekarang Sri Lanka), itu selama ini telah menjadi koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden. Suryadi memaparkan temuannya itu dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara 12 di Universitas Padjajaran Bandung. "Meskipun sudah banyak kajian yang dibuat mengenai (per)surat(an) Melayu lama, surat-surat dari tanah pembuangan belum banyak dibicarakan, bahkan terkesan sedikit terlupakan. Padahal, surat-surat tersebut mengandung berbagai informasi yang berharga m

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya.

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam

SEI MAHAKAM (2 - HABIS) Keraton Kutai dan Pergulatan Mawas Diri

Cikal bakal Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dimulai sekitar abad ke-2 di Muara Kaman dengan raja pertama Kudungga, dilanjutkan putranya, Aswawarman, yang melahirkan tiga putra, yaitu Mulawarman (Kutai Kartanegara, Kaltim), Purnawarman (Taruma Negara, Jawa Barat), dan Adityawarman (Pagaruyung, Sumatera Barat). Oleh HARIADI SAPTONO P ada masa pra Islam tersebut, tercatat 25 raja memimpin Kerajaan Kutai Martadipura, dari Kudungga hingga Dermasetia. Berita tentang Kerajaan Kutai kemudian tidak terdengar. Selanjutnya, abad ke-13 berdiri Kerajaan Kutai Kartanegara di Kutai Lama dengan raja pertama Adji Batara Agung Dewa Sakti hingga raja kelima Pangeran Tumenggung Baya-Baya, sebelum kemudian pada abad ke-16 Kerajaan Kutai Kartanegara memeluk Islam dan abad ke-17 Pangeran Sinum Pandji Mendapa menyerang serta menghancurkan Kerajaan Kutai Martadipura dan kedua kerajaan dipersatukan menjadi Kutai Kartanegara Ing Martadipura sampai sekarang. Pada 1945, keraton bergabung dengan Repub

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu

Masjid Agung Demak Menyimpan Banyak Misteri

T anggal 4 - 14 Juni 1992, Grebeg Besar-Demak digelar, bersamaan dengan Idul Adha yang jatuh pada Kamis, 11 Juni. Banyak kalangan memanfaatkan kesempatan itu, karena Demak, sebuah kota kecil 26 km sebelah timur Semarang - Jawa Tengah, menyimpan sejarah besar di Indonesia. Di kota inilah pernah berdiri kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Berwisata ke Demak, memang mengasyikkan. Obyek-obyeknya "nglumpuk" dalam kota. Masjid Agung Demak yang kawentar itu nongkrong di sana. Di dalamnya terpampang "Soko Tatal", Tiang Majapahit, Pintu Bledek, "Kentongan" dan tasbih karya Sunan Kalijaga. Hanya berjarak 2,5 km dari Masjid Demak dapat dijumpai Makam Kadilangu (Sunan Kalijaga). Di komplek ini juga disemayamkan R. Wilotikto (Bupati Tuban), dan Dewi Rasawulan, ayah dan adik Sunan Kalijaga. Komplek ini ramai saat "Grebeg Besar" bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijah. Makam Sunan Kalijaga hanya dibuka setiap Jumat Pahing, Pon dan Kliwon. Hingga kini komplek

Hari Ini, 39 Tahun Hiroshima Dibom

Oleh: Lerman Sipayung Bangunan tua yang tinggal rangka itu tampak seperti merana. Berdiri tegak di tepi sungai Motoyasu yang membelah kota Hiroshima, Jepang, bangunan yang tinggal puing itu menjadi asing di antara bangunan-bangunan modern, beberapa puluh meter di sebelah baratnya. Sejumlah burung merpati tampak hinggap di atasnya, sekali-kali terbang ke pohon-pohon yang tumbuh di samping bangunan itu. Bahkan pohon-pohon tersebut bagaikan pelindung bangunan itu dari sengatan panas matahari dan tetesan air hujan. Walaupun tinggal puing dengan warna buram yang membalutnya, ternyata bangunan tersebut bagi Jepang memiliki nilai sejarah. Sebelum jadi puing, bangunan tua itu dikenal sebagai Kantor Promosi Industri Hiroshima. Kini bekas kantor itu menjadi saksi bisu pemboman Hiroshima oleh Amerika Serikat 39 tahun lalu, tepatnya 6 Agustus 1945. Dibangun perusahaan konstruksi Jan Letzel tahun 1914, bangunan yang tinggal puing itu seolah-olah berkata kepada dunia. "Akulah saksi ata