Langsung ke konten utama

Petualangan Jin Bun

BERSAMA saudaranya yang bernama Kin San, Jin Bun bertolak dari Palembang ke Tanah Jawa. Satu tujuannya, yaitu mencari bapaknya, Prabu Brawijaya, yang telah mengecewakan hati sang ibunda, Putri Cina. Namun, nasib berkata lain. Petualangan dan kerja keras Jin Bun di Tanah Jawa berbuah penobatan dirinya sebagai pendiri kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa, yaitu Kerajaan Demak, yang berhasil menghancurkan Kerajaan Majapahit, kerajaan yang dipimpin ayahnya sendiri. Dalam catatan sejarah, kita mengenal Jin Bun dengan nama lain: Raden Patah.

JIN Bun lahir dari rahim seorang Putri Cina yang terpaksa menelan rasa pilu disia-siakan suaminya, Raja Majapahit, Prabu Brawijaya. Kesakitan hatinya itu dimulai ketika ia dicemburui oleh sesama selir. Ia kemudian dikirim ke Palembang oleh Prabu Brawijaya untuk dijadikan hadiah bagi Arya Damar yang saat itu menjadi wakil Majapahit di Palembang. Padahal, saat itu Putri Cina sedang dalam keadaan hamil tujuh bulan mengandung bayi sang prabu.

Tak berapa lama, ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang ia namai Jin Bun. Dari Arya Damar yang juga dikenal dengan nama Swan Liong, Putri Cina kemudian melahirkan Kin San. Beranjak dewasa, Jin Bun dan Kin San kembali ke tanah Jawa. Namun, keduanya ternyata menempuh jalan hidup yang berbeda sama sekali. Kin San--yang memiliki nama lain Raden Kusen--merapat ke Prabu Brawijaya di Kerajaan Majapahit. Sementara, Jin Bun memilih untuk berguru kepada Sunan Ngampel dan mendirikan perguruan Glagahwangi. Kerja kerasnya mendirikan perguruan tersebut berbuah hasil baik.

Pengikutnya makin banyak dan kekuatan Glagahwangi terus bertambah di Demak. Majapahit mulai khawatir terhadap membesarnya kekuatan ini. Keduanya akhirnya terlibat perang dipicu oleh penyerbuan Majapahit di kerajaan Gresik. Jin Bun bersama pengikutnya berhasil memenangi pertempuran dan akhirnya mendirikan kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa.

Cerita mengenai Jin Bun, Kin San, dan Putri Cina yang beredar saat ini merujuk pada beberapa sumber literatur, baik berupa babad, serat, catatan, kronik, maupun karya ilmiah garapan akademisi di era modern. Beberapa serat atau babad yang menjadi rujukan antara lain Serat Kanda, Babad Tanah Jawi, Kronik Cina dari kuil Sam Po Kong, dan pustaka Purwaka Caruban Nagari. Cerita Jin Bun juga terekam dalam Suma Oriental yang ditulis oleh seorang petualang Portugis pada tahun 1512-1515.

Kehadiran sosok keturunan Tionghoa hampir tidak pernah absen dalam babak penting sejarah masyarakat Indonesia. Namun, semuanya terhapus hanya karena kepentingan politik. Kenyataan pahit ini harus diterima oleh generasi selanjutnya karena tidak pernah mendapatkan kebenaran sejarah. Salah seorang sejarawan yang menelan pil pahit karena hal ini di antaranya (alm) Prof Dr Slamet Muljana (1929-1986).

Pada tahun 1968, Slamet dengan berani menyatakan bahwa Walisongo adalah para ulama keturunan Tionghoa dalam bukunya Runtuhnja Kerajaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara-negara Islam di Nusantara. Hasil penelitian sejarahnya itu mengundang reaksi keras dari Pemerintah Orde Baru hingga melarang peredaran buku tersebut.

Setelah lebih dari 30 tahun, buku tersebut diterbitkan kembali oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2005. Namun, beberapa koleksi asli dari karya Slamet Muljana hingga kini masih bisa ditemukan di Perpustakaan Wang Gungwu, Nanyang Technological University (NTU) Singapura. (Lina Nursanty/"PR")


Sumber: Pikiran Rakyat, 30 Juni 2015


Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan