Langsung ke konten utama

Manusia Indonesia

Oleh BUDIARTO SHAMBAZY

Esok, 6 April, merupakan hari yang cukup bersejarah. Pada tanggal itu di tahun 1977, wartawan kawakan, Mochtar Lubis, melahirkan karya besar melalui ceramah di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Karya tersebut kelak dibukukan dengan judul Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungan Jawab).

Buku Mochtar mengulas enam ciri manusia Indonesia (dan juga beberapa ciri tambahan). Jika mau membuka lembar demi lembar buku itu saat ini juga, Anda pasti nyengir lebar sendiri karena begitulah kurang lebih wajah kita sampai kini.

Pepatah bahasa Inggris mengatakan, old habit die hard. Kita ternyata belum berubah menjadi lebih baik sejak 1977. Jangan-jangan kualitas mental bangsa ini malah semakin memburuk?

Walaupun kita nyebelin, Mochtar tetap memuji kita sebagai bangsa yang artistik alias nyeni. Jika boleh ditafsirkan, mungkin maksud Mochtar kita doyan melakukan interpretasi happening arts sesukanya terhadap semua aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, budaya, dan seterusnya.

Happening arts politik tampak jelas hari-hari ini ketika para politisi berkampanye sebebas-bebasnya tanpa perlu mematuhi etika, logika, budaya--apalagi aturan. Ada jurkam mengklaim diri sukses padahal tak berprestasi, atau kampanye negatif/hitam terhadap pesaing.

Ada yang membagi-bagikan duit dan bola sepak, ada yang memperagakan aksi tak senonoh bersama biduanita dangdut. Di Palembang, 1 April, bahkan ada lima "pocong" ditangkap polisi ketika menyambut Ketua Umum Partai Demokrat.

Akan tetapi, para politisi itu tidak sepenuhnya salah. Massa kampanye tetap membeludak justru untuk menikmati happening arts sembari mengejar iming-iming sangu, sembako, dangdut, atau T-shirt. Andai saja Mochtar masih ada, dia akan mengenalkan satu ciri tambahan untuk manusia Indonesia. Ternyata, manusia Indonesia menyukai "NPWP" (nomor piro wani piro).

Nah, buku Mochtar mengundang kontroversi. Banyak orang menikmatinya sambil mengangguk-anggukkan kepala. Saking menggemparkan karena banyaknya tanggapan yang disampaikan, juga beberapa kali diskusi nasional diadakan, Mochtar terpaksa menulis sebuah buku baru berjudul Tanggapan atas Tanggapan.

Namun, tak sedikit yang marah dan juga yang bersikap "buruk rupa cermin dibelah" karena merasa diri atau kelompoknya dijadikan sasaran kelemahan. Mochtar sempat dapat "sanksi politik" dengan dinyatakan sebagai tokoh yang tak layak masuk daftar penerima Bintang Mahaputera.

Mau tahu ciri-ciri kita? Namun, sebelum membaca, Anda sebaiknya tahan napas. Kalau perlu, tutup mata karena sangat tak enak ketika mengetahuinya.

Ciri kesatu: munafik. Oleh Mochtar, kata munafik ditulis dengan huruf-huruf kapital--mungkin saking sebalnya dia. Contoh kemunafikan yang masih relevan di masa kini terlalu banyak untuk diungkapkan, salah satunya tabiat pemimpin yang "lain kata lain perbuatan".

Ciri kedua: enggan bertanggung jawab. Wah, kalau ini, kebiasaan yang semakin hari semakin marak dikerjakan semua orang, mulai dari pemimpin sampai pemotor di jalan.

Ciri ketiga: feodal. Menurut buku Mochtar, telinga rata-rata pemimpin kita tipis jika dikritik. Mochtar sendiri merasakan saat Indonesia Raya, koran yang dipimpinnya, diberedel karena mengkritik megakorupsi di Pertamina.

Ciri keempat: masih percaya takhayul dan jago bikin perlambang tanpa makna. Sudah jamak caleg mendatangi orang pintar atau tempat keramat untuk minta restu agar terpilih. Perlambang kosong sudah ada sejak dulu. Anda pasti pernah mendengar slogan "Panca Azimat Revolusi" bikinan Bung Karno, teori "Manusia Pancasila Seutuhnya" buatan Pak Harto, atau janji "Perubahan Sudah Dekat" tahun 2004.

Ciri kelima: artistik. "Bagi saya ciri artistik ini yang paling memesonakan, merupakan sumber dan tumpuan harapan bagi hari depan," tulis Mochtar.

Ciri keenam: punya watak yang lemah sehingga mudah dipaksa berubah keyakinannya demi kelangsungan hidup.

Ciri negatif manusia Indonesia lain versi Mochtar mencapai belasan. Sebagian kita mungkin merasa malu, sebagian lagi mungkin senang menertawakan diri.

Kalau boleh, ada beberapa ciri tambahan dari observasi sederhana. Ciri kesatu: senang nostalgia. Ternyata hidup lebih enak pada masa Orde Baru ketimbang sekarang.

Ciri kedua: cepat marah. Nasionalisme kita masih pada tahap mengibarkan bendera (flag-waving nationalism), tetapi lebih suka membeli produk-produk impor mulai dari pangan sampai tas.

Ciri ketiga: suka SMS. Ini bukan merek sosis atau pesan tertulis, tetapi singkatan "Senang Melihat yang Susah, Susah Melihat yang Senang". Lihat saja cyber war di media sosial.

Ciri keempat: mudah diadu domba. Makanya Belanda betah numpang hidup di sini selama tiga setengah abad. Jangan marah ya!


Sumber: Kompas, 5 April 2014


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

RUNTUHNYA HINDIA BELANDA: Menyerahnya Gubernur Jendral AWL TJARDA dan Letnan Jendral TER POORTEN kepada Letnan Jendral IMMAMURA Panglima Perang Jepang 8 Maret 1942

Generasi kita sekarang, mungkin tidak banyak yang mengetahui terjadinya peristiwa penting di tanah air kita 35 tahun yang lalu, yaitu menyerahnya Gubernur Jenderal dan Panglima Perang Hindia Belanda "Tanpa Syarat" kepada Panglima Perang Jepang yang terjadi di Kalijati Bandung pada tanggal 8 Maret 1942. Peristiwa yang mengandung sejarah di Tanah Air kita ini telah ditulis oleh Tuan S. Miyosi seperti di bawah ini: Pada tanggal 8 Maret 1942 ketika fajar kurang lebih jam 07.00 pagi, kami sedang minum kopi sambil menggosok mata, karena kami baru saja memasuki kota Jakarta, dan malamnya banyak diadakan permusyawaratan. Pada waktu itu datanglah seorang utusan dari Markas Besar Balatentara Jepang untuk menyampaikan berita supaya kami secepat mungkin datang, walaupun tidak berpakaian lengkap sekalipun. Kami bertanya kepada utusan itu, apa sebabnya maka kami disuruh tergesa-gesa? Rupa-rupanya balatentara Hindia Belanda memberi tanda-tanda bahwa peperangan hendak dihentikan! Akan ...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Pemuda Penjuru Bangsa

"Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia". (Ir Soekarno) JAKARTA, KOMPAS -- Pernyataan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, itu menggambarkan betapa pemuda merupakan potensi yang luar biasa, tidak hanya untuk pembangunan bangsa, tetapi juga untuk mengguncangkan dunia. Dalam perkembangan bangsa ini, kaum muda banyak mewarnai sejarah Indonesia. Tidak hanya dimulai dengan digelarnya Kongres Pemuda II tahun 1928, yang menegaskan "bertanah air dan berbangsa yang satu, bangsa Indonesia serta berbahasa persatuan, bahasa Indonesia", tetapi peristiwa pembentukan negeri ini, misalnya lahirnya Boedi Oetomo tahun 1908, pun digagas pemuda. Bahkan, organisasi kebangsaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, tidak bisa dipisahkan dari peranan kaum muda. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang diakui sebagai pemuda adalah warga negara yang m...