Langsung ke konten utama

"Quo Vadis" Syarikat Islam?

Nandang Koswara

Ketua Umum DPW SI Jawa Barat


KALAU menyebut nama Syarikat Islam (SI) tentu tak asing lagi karena pergerakan dakwah SI lahir setelah terjadi multitekanan penjajah Belanda di Indonesia. SI lahir tepatnya pada 16 Oktober 1905 yang diawali dengan Syarikat Dagang Islam (SDI). Organisasi pertama di Indonesia ini memiliki komitmen hebat dan keberpihakan terhadap rakyat sehingga seharusnya tanggal tersebut dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Setahun kemudian, SDI beralih nama menjadi SI di bawah pimpinan Samanhudi.

Al-Chaidar (1999: 2) mengatakan, 16 Oktober 1905 adalah tanggal yang memelopori terciptanya era kebangkitan nasional pertama. Satu era yang telah mengantarkan rakyat dan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Derap perjuangan SDI begitu solid dan cepat membangun ekonomi umat dalam melawan eksploitasi ekonomi kapitalis. SDI menjadi motor penggerak persaingan ekonomi di Indonesia. Permainan buruk penjajah Belanda di bidang ekonomi dapat dipatahkan. Samanhudi mampu membangun jaringan secara langsung dengan para importir Eropa dan tidak melalui orang-orang Cina. Salah satu langkah yang dikembangkannya, dengan semangat nasionalisme, Samanhudi membangun kekuatan para pengusaha batik bumi putra agar tidak membeli bahan baku batik dari orang Cina yang dengan seenaknya menetapkan harga yang sangat mahal.

Sejak awal berdiri, SDI yang berubah jadi SI tidak mempersoalkan masalah-masalah khilafiyah (perbedaan pendapat), tetapi mengutamakan tercapainya ukhuwwah islamiyyah. Dengan tegas SI menentang campur tangan pihak luar di dalam urusan agama serta menolak peraturan yang membatasi gerak langkah pengembangan agama (Endang dan Wildan, 2005: 25). 

Setelah menjadi SI lalu pada tahun 1921 diproklamasikan SI sebagai partai politik dengan nama Partai Syarikat Islam Hindia Timur. Pada tahun 1929 diubah menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia, disingkat menjadi PSII.

Pada masa kemerdekaan, sebagai partai tertua, PSII berusaha menghidupkan kembali vitalitasnya, membangun tatanan PSII sebagai wujud pengkhidmatan terhadap umat. Sampai pada Pemilu 1998, PSII masih tampil. Namun, kenyataan kini menunjukkan kemerosotan yang cukup signifikan.

Banyak di antara kaum PSII menolak keterlibatan pada politik praktis. Namun, SI tetap memberi kesempatan kepada kader-kader SI untuk berada di partai-partai berbasis Islam yang memiliki visi dan misi sejalan dengan garis perjuangan SI.

"Quo vadis"? 

Dalam perjalanan 108 tahun kiprahnya, Syarikat Islam telah banyak memberikan kontribusi terhadap peradaban bangsa Indonesia. Deklarasi kemerdekaan Indonesia tak lepas dari peran besar SI. Sebuah obsesi besar HOS Tjokroaminoto sebagai pendiri SI berjuang membangkitkan kesadaran umat Islam untuk tetap berjihad dalam bidang dakwah, sosial, ekonomi, dan pendidikan.

Sejarawan Unpad Ahmad Mansur Suryanegara (2009: 371) menegaskan dengan mencontoh kepemimpinan Rasulullah saw, Oemar Sa'id Tjokroaminoto berjuang membangkitkan kesadaran nasional umat Islam. Bangkit dengan Alquran dan sunah melalui paradigma 5K.

Pertama, kemauan. Seperti yang diingatkan Rasulullah Muhammad bahwa dalam diri manusia terdapat segumpal daging. Bila rusak, rusaklah seluruh tubuhnya. Sebaliknya, bila baik, baiklah seluruh kerja tubuhnya, yakni hati nurani sebagai sumber gerak motivasi manusia.

Kedua, kekuatan. Tidaklah benar suatu bangsa menjadi "terkalahkan" apabila wilayahnya sudah diduduki. Hal tersebut masih dapat direbut kembali wilayahnya apabila yang terkalahkan masih punya kemauan. Oleh karena itu, Oemar Said Tjokroaminoto memprioritaskan membangun kekuatan dari kemauan umat. 

Ketiga, kemenangan. Apabila kemauan yang menumbuhkan kekuatan dan kedua-keduanya telah dijadikan landasan dasar gerak juang umat, dapat diperhitungkan hasilnya, insya Allah akan memperoleh keuntungan.

Keempat, kekuasaan. Apabila kemenangan tidak disertai tindak lanjut untuk siap berperan aktif sebagai pembuat kebijakan melalui kekuasaan yang diterima sebagai amanah rakyat. Oleh karena itu, menurut konsep Oemar Said Tjokroaminoto, tujuan membangkitkan kesadaran umat Islam adalah agar umat Islam siap dan mau menduduki kembali kekuasaan.

Kelima, kemerdekaan. Hanya dengan berperan aktif dalam pengambilan keputusan (decision maker) dalam lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, serta kelembagaan tinggi lainnya, menurut Oemar Said Tjokroaminoto, umat Islam akan memperoleh kemerdekaan politik. Setelah dimilikinya kemerdekaan politik, langkah selanjutnya menciptakan kemerdekaan sejati. Puncak dari kehidupan bernegara dan berbangsa yang berdaulat adalah melepaskan umat Islam dan bangsa Indonesia seluruhnya dari kemiskinan dan kebodohan serta menegakkan keadilan. 

Paradigma tersebut akan menjadi kokoh manakala dikuatkan dengan Trilogi Tandhim sebagai sandaran jihad SI, yakni "sebersih-bersihnya tauhid, setinggi-tingginya ilmu pengetahuan, dan sepandai-pandainya siyasah (politik), untuk melaksanakan syariat Islam dalam arti seluas-luasnya dan sepenuh-penuhnya demi menggapai kemerdekaan sejati. Sebuah pertanyaan besar apakah kaum SI hanya terkesan dan terlena dengan sejarah masa lalu SI yang gilang-gemilang? Ataukah kita harus bergerak bersama untuk mewujudkan cita-cita mulia tersebut.

Kalau kaum SI hanya terlena dengan sejarah, sulit mencapai cita-cita yang telah digariskan para pendiri SI. Sejarah amat penting. Namun, lebih penting lagi adalah mengambil pelajaran dari sejarah, lalu diterapkan dalam kehidupan. Ibarat mengendarai mobil yang fokus melihat saat ini dan masa depan, tapi tetap tidak melupakan cermin spion melihat hal-hal yang ada di belakang.

Wallahu a'lam bish-shawab. ***


Sumber: Pikiran Rakyat, 24 Januari 2014


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...