Langsung ke konten utama

Gelar Haji

Dadan Wildan
Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara RI

PROSESI ibadah haji tahun 1434 Hijriah telah selesai. Sepulangnya dari Tanah Suci Mekkah, para jemaah yang telah menunaikan rukun Islam kelima itu biasanya disebut Pak Haji atau Bu Hajah.

HAL itu bagi masyarakat di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia, Brunei, Darussalam, dan Thailand Selatan, seolah menjadi kewajiban. 

Siapa sesungguhnya orang yang pertama kali menggunakan gelar haji di nusantara ini?

Di Tanah Sunda, Naskah Carita Parahiyangan mengisahkan bahwa orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji dari nusantara adalah Bratalegawa, putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora, penguasa Kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar yang biasa berlayar ke Sumatra, Tiongkok, India, Iran, hingga ke Tanah Arab. Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat. Melalui pernikahannya inilah, ia memeluk Islam dan sekitar tahun 1330, ia menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari Tanah Suci, ia berganti nama menjadi Haji Baharuddin. Bratalegawa kembali ke Galuh pada tahun 1337 dan dikenal dengan sebutan Haji Purwa.

Dalam tradisi Cirebon, Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari dan Babad Cirebon menyebutkan adanya tokoh lain yang pernah menunaikan ibadah haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran. Keduanya pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati, Cirebon. Atas saran Syekh Datuk Kahpi, Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang berangkat ke Mekah antara tahun 1446-1447 untuk menunaikan ibadah haji dan berguru ilmu agama Islam. Sepulangnya menunaikan ibadah haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sedangkan Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.

Naskah Sajarah Banten juga menceritakan, suatu ketika Sultan Banten berniat mengirimkan utusannya kepada Sultan Mekah. Utusan itu dipimpin oleh Lebe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja. Perjalanan haji saat itu harus dilakukan dengan perahu layar yang sangat bergantung pada musim. Dari Tanah Jawa terlebih dahulu harus menuju Aceh atau serambi Mekah, pelabuhan terakhir di nusantara yang menuju Mekah. Di sana mereka menunggu kapal ke India menuju Hadramaut, Yaman, atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu enam bulan atau lebih. Perjalanannya yang sangat sulit dan banyak risiko itulah, ketika mereka kembali dari Tanah Suci diberi gelar haji.

Secara khusus, dari Kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika itu, Sultan Ageng berkeinginan memajukan negerinya baik dalam bidang politik diplomasi maupun pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain. Pada tahun 1671, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil menunaikan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki dan Inggris. Sepulangnya dari muhibah ke berbagai negara dan menunaikan ibadah haji, kedatangannya di Pelabuhan Banten disambut dengan meriah dan diberi gelar haji oleh Sultan. Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.

Gelar haji oleh Belanda

Pada zaman penjajahan Belanda, para jemaah haji betul-betul mendapat pencerahan. Bukan hanya pemahaman keagamaan yang semakin mendalam, tetapi juga sikap politik hasil interaksinya dengan para jemaah dari berbagai belahan dunia selama di Kota Suci Mekah.

Mereka yang pulang haji menjadi lebih berani melawan pemerintahan kolonial Belanda. Inilah yang menyebabkan Belanda mengkhawatirkan dampak haji secara politis. Para haji menjadi kekuatan baru yang ditakuti pemerintah kolonial.

Daendeles merupakan Gubernur Jenderal Belanda pertama yang memerintahkan jemaah haji harus memakai pas jalan dengan tujuan untuk mengawasi mereka sepulangnya dari Tanah Suci. Setelah Perang Diponegoro 1825-1830, pengawasan terhadap para jemaah haji semakin ketat. Penggunaan gelar haji disematkan pada seseorang yang telah pergi haji. Penyematan gelar haji ini sebagai bentuk identifikasi karena para haji sering kali dicurigai sebagai orang-orang yang antikolonialisme. Pemerintah Belanda kemudian mengeluarkan peraturan yang superketat. Sejak tahun 1911, pemerintah Hinda Belanda mengarantina penduduk pribumi baik yang ingin pergi haji mapun setelah pulang dari Tanah Suci di Pulau Onrust, kawasan Pulau Seribu.

Di era pergerakan nasional, memang banyak tokoh pergerakan yang bergelar haji. Muhammad Darwis atau Ahmad Dahlan, ketika pulang menunaikan ibadah haji lalu mendirikan Muhammadiyah. Hasyim Asy'ari menjadi pemrakarsa pendirian Nadhlatul Ulama, Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam, Omar Said Cokroaminoto mendirikan Sarekat Islam, serta Zamzam dan Muhammad Yunus mendirikan Persatuan Islam.

Saat ini, tentu saja gelar haji merupakan simbol dari selesainya menjalankan misi profetik yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as dan disempurnakan oleh Nabi Muhammad saw. Ibadah haji dimaknai masyarakat, tidak hanya sebagai bentuk kesempurnaan beribadah kepada Allah SWT dengan menunaikan rukun Islam kelima, tetapi juga untuk mencari ilmu, wisata atau ziarah, dan tentu saja dapat meningkatkan status sosial dengan gelar haji di depan namanya, meskipun tidak ada satu rujukan pun baik dari Alquran maupun sunah untuk menggunakan gelar itu. Bahkan, Nabi Muhammad saw beserta para sahabatnya yang telah menunaikan ibadah haji, tidak satu pun yang menggunakan gelar haji. Wallahu'alam. ***



Sumber: Pikiran Rakyat, 19 Oktober 2013



Komentar

Postingan populer dari blog ini

JEJAK KERAJAAN DENGAN 40 GAJAH

Prasasti Batutulis dibuat untuk menghormati Raja Pajajaran terkemuka. Isinya tak menyebut soal emas permata. K ETERTARIKAN Menteri Said Agil Husin Al Munawar pada Prasasti Batutulis terlambat 315 tahun dibanding orang Belanda. Prasasti ini telah menyedot perhatian Sersan Scipiok dari Serikat Dagang Kumpeni (VOC), yang menemukannya pada 1687 ketika sedang menjelajah ke "pedalaman Betawi". Tapi bukan demi memburu harta. Saat itu ia ingin mengetahui makna yang tertulis dalam prasasti itu. Karena belum juga terungkap, tiga tahun berselang Kumpeni mengirimkan ekspedisi kedua di bawah pimpinan Kapiten Adolf Winkler untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasilnya juga kurang memuaskan. Barulah pada 1811, saat Inggris berkuasa di Indonesia, diadakan penelitian ilmiah yang lebih mendalam. Apalagi gubernur jenderalnya, Raffles, sedang getol menulis buku The History of Java . Meski demikian, isi prasasti berhuruf Jawa kuno dengan bahasa Sunda kuno itu sepenuhnya baru dipahami pada awa...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Diciptakan dengan Taruhan Nyawa

Nasibkoe soedah begini. Inilah jang disoekai oleh Pemeritah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal, saja ichlas. Saja toch soedah beramal, berdjoeang dengan tjarakoe, dengan biolakoe. Saja jakin, Indonesia pasti merdeka. KUNCARSONO PRASETYO SURABAYA C ATATAN singkat ini ditulis WR Soepratman di dalam Penjara Kalisosok, Surabaya, menjelang kematiannya pada 17 Agustus 1938, atau tujuh tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dia meninggal di dalam bui setelah baru saja digerebek Polisi Rahasia Belanda. Selama lebih dari 10 tahun dia menjadi buruan polisi, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Saat di penjara, ia sakit keras dan meninggal di dalam kesepian. Padahal Soepratman tidak pernah memanggul senjata seperti gambaran sosok pahlawan selama ini. Itu semua gara-gara biolanya yang menggesek lagu Indonesia Raya , lagu penggugah semangat yang diciptakannya.  Menurut Oerip Kasansengari, kakak ipar WR Soepratman, dalam bukunya Sedjarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raja (...

Polongbangkeng, Wilayah Republik Pertama di Sulawesi Selatan

P olongbangkeng di Kabupaten Takalar, kini nyaris tak dikenal lagi generasi muda di Sulawesi Selatan. Lagi pula, tak ada yang istimewa di kota yang terletak sekitar 40 kilometer dari Ujungpandang, kecuali jika harus melongok ke masa lalu--masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dulu, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Polongbangkeng jadi pusat perjuangan mendukung Proklamasi oleh pejuang-pejuang Sulsel. Ketika NICA mendarat diboncengi tentara Belanda, Polongbangkeng pula yang jadi basis pejuang mempertahankan kedaulatan RI  di tanah Makassar. Para pejuang yang bermarkas di Polongbangkeng berasal dari berbagai daerah seperti Robert Wolter Monginsidi (Minahasa), Muhammad Syah (Banjar), Raden Endang (Jawa), Bahang (Selayar), Ali Malaka (Pangkajene), Sofyan Sunari (Jawa), Emmy Saelan dan Maulwy Saelan (Madura), dan tentu saja pahlawan nasional pimpinan Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) Ranggong Daeng Romo. Pada akhir Agustus 1945, Fakhruddin D...

G30S dalam Pelajaran Sekolah

Oleh: SUSANTO ZUHDI K urikulum 2004 yang diujicobakan di Jawa Timur menuai reaksi keras. Pasalnya, pada pelajaran sejarah tidak dicantumkan kata PKI pada "Gerakan 30 September 1965". Aspirasi guru dan sejumlah tokoh di Jawa Timur pun dibawa ke DPR. Masalah itu dibahas dalam rapat para menteri di bawah Menko Kesra pada Juni 2005. Akhirnya Depdiknas menyatakan, dalam masa transisi mata pelajaran sejarah di sekolah menggunakan Kurikulum 1994. Bukan soal fakta Kalau boleh berseloroh, mengapa tidak ditambah saja kata "PKI" sehingga tak perlu revisi selama enam bulan. Persoalannya tidak semudah itu, pun bukan soal fakta "G30S 1965" dengan "PKI" saja, tetapi ada dua hal lain yang diangkat. Pertama, siswa kelas II dan III SLTA jurusan IPA dan SMK tidak diberi lagi pelajaran sejarah. Kedua, soal tuntutan agar mata pelajaran sejarah diberikan secara mandiri (terpisah) baik untuk SD maupun SLTP. Seperti diketahui, dalam Kurikulum 2004 mata pelaja...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Makam Imam Al-Bukhori

Menarik membaca tulisan Arbain Rambey berjudul "Uzbekistan di Pusaran Sejarah" ( Kompas , 20 Oktober 2019).  Berdasarkan kisah dari pemandu wisata di Tashkent, diceritakan peran Presiden Soekarno memperkenalkan Makam Imam Al-Bukhori di Samarkand yang nyaris terlupakan dalam sejarah. Kisah Soekarno dimulai ketika dalam kunjungan ke Moskwa minta diantar ke makam Imam Al-Bukhori. Menurut buku The Uncensored of Bung Karno, Misteri Kehidupan Sang Presiden  tulisan Abraham Panumbangan (2016, halaman 190-193), "Pada tahun 1961 pemimpin tertinggi partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet Nikita Sergeyevich Khruschev mengundang Bung Karno ke Moskwa. Sebenarnya Kruschev ingin memperlihatkan pada Amerika bahwa Indonesia adalah negara di belakang Uni Soviet".  Karena sudah lama ingin berziarah ke makam Imam Al-Bukhori, Bung Karno mensyaratkan itu sebelum berangkat ke Soviet. Pontang-pantinglah pasukan elite Kruschev mencari makam Imam Al-Bukhori yang lah...