Langsung ke konten utama

Menghidupkan Api Kebangkitan

Oleh YUDI LATIF

Kebangkitan Nasional tidaklah datang sebagai tiban, tetapi sebagai hasil usaha sadar untuk belajar dan berjuang.

Meminjam ungkapan Bung Karno, "Hidup sesuatu bangsa tergantung dari vrijheids-bewustzijn, kesadaran kemerdekaan-kebangkitan bangsa itu; tidak dari teknik; tidak dari industri; tidak dari pabrik atau kapal terbang atau jalan aspal."

Dalam mengusahakan kebangkitan kembali bangsa Indonesia di tengah era kebangkitan Asia, kita bisa menjadikan pengalaman kebangkitan masa lalu kaca benggala untuk memandang masa depan. Kebangkitan bangsa Indonesia di zaman kolonial Belanda bermula dari kesadaran keterbelakangan dan ketertindasan yang membangkitkan semangat kemajuan dan kemerdekaan.

Fajar kesadaran pertama-tama berpendar di lingkungan kaum guru. Profesi guru pada pergiliran abad ke-19-20 menghimpun porsi terbesar dari orang-orang pribumi berpendidikan terbaik. Sebagai pendidik, mereka merasa paling terpanggil mengemban misi suci mencerahkan saudara-saudara sebangsa. Selain itu, fakta bahwa profesi guru kurang dihargai dibandingkan posisi-posisi administratif (pangreh praja) membangkitkan hasrat untuk menjadi artikulator gagasan "kemadjoean", sebagai tolok ukur baru dalam menentukan kehormatan sosial.

Kaum guru melancarkan tuntutan dan kritik lewat majalah pendidikan yang mulai muncul sekitar 1880-an, seperti Soeloeh Pengadjar di Probolinggo dan Taman Pengadjar di Semarang. Media itu memainkan peran penting dalam mengartikulasikan aspirasi guru bagi penghapusan diskriminasi pendidikan. Menjelang akhir abad ke-19, perkumpulan guru paling berpengaruh terbentuk, bernama Mufakat Guru, cabang-cabangnya bermunculan di sejumlah kabupaten dan kewedanaan Jawa.

Politik etis

Tujuan Mufakat Guru membuka jalan bagi para guru untuk bersatu dan berdikusi mengenai permasalahan dan isu "kemadjoean". Tuntutan utama dalam proyek emansipasi kaum guru itu diarahkan pada transformasi di bidang pendidikan, dengan peluasan akses pribumi terhadap persekolahan modern, kepustakaan dan pengajaran bahasa Belanda, yang dipandang sebagai paspor menggapai kemajuan.

Tuntutan emansipasi kaum guru itu memperoleh momentum dengan kemunculan Politik Etis awal abad ke-20. Dampak buruk rezim perekonomian liberal menciptakan iklim opini baru di negeri Belanda yang lebih mendukung aktivitas negara dalam persoalan kesejahteraan di tanah jajahan, yang mendorong kemenangan sayap kanan, Partai Kristen, pada Pemilu 1901. Partai ini memperkenalkan Politik Etis, dengan menempatkan pendidikan sebagai prioritas program kesejahteraan.

Di bawah semangat etis, sistem pendidikan direorganisasi dan disesuaikan untuk memenuhi tuntutan baru, yang melahirkan beragam lembaga pendidikan, dan memperluas akses pribumi ke pendidikan modern. Reorganisasi terpenting terjadi pada sekolah kejuruan. Pada 1901-1902, sekolah Dokter-Djawa diubah menjadi STOVIA (School tot Opleiding Van Inlandsche Artsen). Dengan lama pendidikan 9-10 tahun, STOVIA merupakan level pendidikan tertinggi yang ada di Hindia hingga dua dekade pertama abad ke-20.

Situasi ini memberikan modal kultural bagi pelajar dan mantan pelajar sekolah ini untuk mengambil alih kepemimpinan inteligensia baru yang sebelumnya dipegang para guru. Tokoh terkemuka dari kalangan mantan pelajar Dokter-Djawa/STOVIA pada awal abad ke-20 adalah Wahidin Sudiro Husodo, Abdul Rivai, Tirto Adhi Surjo, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Surjaningrat.

Meski telah mencapai level pendidikan tinggi, prestise sosial dan imbalan ekonomis yang diterima lulusan STOVIA masih mengecewakan. Posisi Dokter-Djawa di pemerintahan dianggap sama dengan posisi mantri. Peran utama mereka sebagai vaksinator tak menumbuhkan rasa hormat seperti halnya lulusan OSVIA (sekolah pangreh praja) yang bekerja di pos-pos administrasi pribumi. Gaji lulusan STOVIA setelah belajar 9-10 tahun umumnya hanya sepertiga dari gaji para lulusan OSVIA yang lama studinya hanya lima tahun.

Perasaan terampas dan terhina ini diperparah oleh krisis ekonomi global 1903 yang memiliki efek destruktif bagi kondisi perburuhan di Hindia. Gerakan emansipasi dari diskriminasi sosial-ekonomi kaum inteligensia baru ini menemukan rangsangan kebangkitannya dari kemunculan gelombang Kebangkitan Asia (Aziatisch Reveil); disimbolkan oleh kemenangan Jepang atas Rusia 1905, Revolusi Turki Muda 1908, gerakan pembebasan dan nasionalis lain di Asia.

Para intelektual organik dari strata inteligensia ini percaya bahwa ide kemajuan haruslah ditanam di atas basis sosial yang berbeda; terbentuk dari mereka yang memiliki "modal kultural" seperti kualifikasi pendidikan, keterampilan dan bahasa. Untuk itu, mereka terdorong untuk menemukan sebuah batas spasial imajiner antara diri mereka dan aristokrasi tua dengan memancangkan tanda.

Seorang lulusan sekolah Dokter-Djawa, Abdul Rivai, sebagai seorang editor majalah Bintang Hindia, pada 1902 mulai memperkenalkan istilah "bangsawan pikiran" (prestise sosial berbasis penguasaan ilmu) yang dikontraskan dengan "bangsawan "oesoel" (prestise berbasis keturunan). Selanjutnya, konstruksi ikutan dibuat untuk mempertautkan kode "bangsawan pikiran" dengan komunitas imajiner baru, "kaoem moeda"; sedangkan "bangsawan oesoel" diasosiasikan sebagai "kaoem toea".

Salah satu eksperimen kaum muda untuk memperjuangkan kemajuan adalah pendirian perkumpulan Budi Utomo (BU) pada 1908. Dengan melancarkan kritik terhadap kegagalan kepemimpinan priayi tua dalam melindungi kepentingan rakyat, pada awalnya BU bermaksud memperjuangkan kepemimpinan kaum muda. Meski terbukti, pengaruh kaum tua masih terlalu kuat, membuat BU segera dibajak kalangan priayi konservatif.

Meski begitu, BU menjadi tonggak penting dalam pertumbuhan gerakan kebangkitan berbasis "bangsawan pikiran". Berpijak pada peta-jalan yang telah dipancangkan generasi sebelumnya, angkatan baru kaum terdidik bergerak lebih maju dengan mencampakkan kata bangsawan yang mendahului kata pikiran. Seseorang menulis di Sinar Djawa (4 Maret 1914): "Dengan pergeseran waktu, telah muncul jenis bangsawan baru, yakni 'bangsawan pikiran'. Namun, jika bangsawan pikiran ini hanyalah kelanjutan dari bangsawan usul, maka perubahan dan pergerakan tak akan pernah lahir."

Maka, tanda baru segera dicipta, tanda yang sepenuhnya bebas dari imaji kebangsawanan, dan berkhidmat sepenuhnya pada pikiran. Tanda itu bernama "kaum terpelajar" atau "pemuda-pelajar", atau sering kali diungkapkan dalam bahasa Belanda, jong. Dalam tanda dan peta-jalan seperti inilah generasi Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Natsir dibesarkan. Semua tokoh ini lahir pada dekade pertama abad ke-20, dan semua tak bisa dikatakan sebagai anak priayi tinggi. Mereka mendapatkan keuntungan bisa memasuki sistem pendidikan Eropa karena pengenduran prasyarat keturunan berkat perjuangan generasi sebelumnya.

Perjuangan kebangkitan bermula dari kerja wacana. Aktivitas pergerakan politik generasi Soekarno berjejak pada kekuatan diskursif-argumentatif lewat kelompok studi, kerja jurnalistik, dan kesastraan. Sejak 1924, Hatta terlibat aktif di Perhimpunan Indonesia berikut jurnalnya, Indonesia Merdeka, seraya tak lupa menulis puisi-puisi patriotik. Pada 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studieclub berikut jurnalnya, Indonesia Moeda. Pada saat sama ia aktif sebagai editor majalah SI, Bandera Islam (1924-1927), bahkan selama pembuangan menulis naskah drama.

Seperti Hatta, Sjahrir aktif di Perhimpunan Indonesia dan kelak berperan penting dalam jurnal Daulat Rakyat. Ia pun dikenal sebagai pemain sandiwara dengan erudisinya yang luas di bidang kesusastraan. Natsir mengikuti beberapa kelompok diskusi dan terlibat intens di Persatuan Islam. Sejak 1929 ia menekuni kerja jurnalistik sebagai ko-editor dari jurnal Pembela Islam.

Eksperimen kaum muda

Menulis adalah mencipta, dan mencipta selalu mensyaratkan membaca. Semakin banyak mencipta, semakin banyak membaca; semakin kaya bacaan, semakin kaya hasil penciptaan. Yang pertama mereka ciptakan adalah nama. Tanda pengenal diri yang memberi kesadaran eksistensial. Jika tak suka dengan rumah kolonial, hal pertama yang harus dirobohkan adalah tanda-tanda yang diciptakannya. Jika Belanda menandai tanah-air ini sebagai Hindia-Belanda, yang diperjuangkan generasi Soekarno adalah memberi nama baru kepada tumpah darahnya, "Indonesia".

Dengan penemuan nama "Indonesia", sentimen sempit etno-nationalism bertransformasi menuju keluasan semangat civic nationalism: keragaman etnis, agama, dan kelas sosial bertaut ke dalam kesatuan tanah-air, bangsa, bahasa persatuan. Monumennya dipancangkan pada Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dari sanalah kemerdekaan Indonesia menemukan jangkarnya.

Mimpi kebangkitan baru

Berdiri di awal milenium baru, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional dengan menyaksikan gerak sejarah yang berulang dan hilang. Kesadaran kebangkitan nasional di masa penjajahan mendapatkan inspirasi dari gelombang Kebangkitan Asia; disertai usaha sadar kaum terdidik saat itu membumikan inspirasi ini dalam kenyataan Indonesia dengan mengerahkan daya cipta dan daya juang.

Sekarang, kita kembali memimpikan kebangkitan nasional, diinspirasikan oleh kebangkitan Asia sebagai pusat baru peradaban dunia, ditandai oleh kemajuan fenomenal yang dicapai China, India, dan negara lain di kawasan Asia Pasifik. Namun, yang terasa hilang dari rantai sejarah bangsa ini adalah kekuatan daya cipta dan daya juang. Terdapat tanda-tanda bahwa "pikiran" dan keberaksaraan tak lagi jadi ukuran kehormatan.

Inteligensia dan politisi berhenti membaca dan mencipta karena kepintaran kembali dihinakan oleh "kebangsawanan baru": kroni, nepotisme, dan kemewahan. Pendidikan tidak lagi menjadi sarana pembebasan dan pencerahan, melainkan menjadi mata rantai penindasan dan penggelapan. Tantangan tidak dijawab oleh perjuangan menggeluti kenyataan, melainkan ditutupi oleh rekayasa pencitraan.

Dalam memperingati Hari Kebangkitan Nasional, yang harus kita tangkap adalah apinya, bukan abunya. Mengagungkan kebangkitan masa lalu tanpa kesediaan menghidupi apinya hanya akan membuat bangsa ini mewarisi abunya. Seperti diingatkan Bung Karno, "Kita bangsa Indonesia, kita pemimpin-pemimpin Indonesia, tidak boleh berhenti, tidak boleh duduk diam bersenyum simpul di atas damparnya jasa-jasa di masa lampau. Kita tidak boleh teren op oud roem, tidak boleh hidup dari kemasyhuran yang lewat, oleh karena jika kita teren op oud roem, kita nanti akan jadi bangsa yang ngglenggem, satu bangsa yang gila kemutian, satu bangsa yang berkarat". 

YUDI LATIF
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan



Sumber: Kompas, Tanpa tanggal



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Arek-arek Soerobojo Hadang Sekutu

Mengungkap pertempuran bersejarah 10 Nopember 1945 sebagai mata rantai sejarah kemerdekaan Indonesia, pada hakekatnya peristiwa itu tidaklah berdiri sendiri. Ia merupakan titik klimaks dari rentetan insiden, peristiwa dan proses sejarah kebangkitan rakyat Jawa Timur untuk tetap melawan penjajah yang ingin mencoba mencengkeramkan kembali kukunya di wilayah Indonesia merdeka. Pertempuran 10 Nopember 1945--tidak saja merupakan sikap spontan rakyat Indonesia, khususnya Jawa Timur tetapi juga merupakan sikap tak mengenal menyerah untuk mempertahankan Ibu Pertiwi dari nafsu kolonialis, betapapun mereka memiliki kekuatan militer yang jauh lebih sempurna. Rentetan sejarah yang sudah mulai membakar suasana, sejak Proklamasi dikumandangkan oleh Proklamator Indonesia: Soekarno dan Hatta tgl 17 Agustus 1945. Rakyat Jawa Timur yang militan berusaha membangun daerahnya di bawah Gubernur I-nya: RMTA Soeryo. Pemboman Kota Hiroshima dan Nagasaki menjadikan bala tentara Jepang harus bertekuk lutut pada ...

Misteri Jangkar Raksasa Laksamana Cheng Ho: Kabut Sejarah di Perairan Cirebon

TINGGINYA menjulang sekitar 4,5 sampai 5 meter. Bentuknya sebagaimana jangkar sebuah kapal, terbuat dari besi baja yang padat dan kokoh. Bagian tengahnya lurus serta di bawahnya berupa busur dengan kedua ujung yang lancip. J ANGKAR kapal berukuran besar itu sampai kini diletakkan di ruangan sebelah utara dari balairung utama Vihara Dewi Welas Asih. Dengan berat yang mencapai lebih dari tiga ton, benda bersejarah itu disimpan dalam posisi berdiri dan disandarkan di tembok pembatas serambi utara dengan balairung utama yang menjadi pusat pemujaan terhadap Dewi Kwan Im, dewi kasih sayang.  Tempat peribadatan warga keturunan Tionghoa pemeluk agama Buddha ini terletak di areal kota tua di pesisir utara Kota Cirebon. Bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya sejak 2011 ini didirikan pada awal pertengahan abad ke-16, tepatnya tahun 1559 Masehi. Letaknya berada di pesisir pantai, persis bersebelahan dengan Pelabuhan Kota Cirebon. Kelenteng ini berada di antara gedung-gedung tua m...

Hari Pahlawan: MENGENANG 10 NOPEMBER 1945

Majalah Inggeris "Army Quarterly" yang terbit pada tanggal 30 Januari 1948 telah memuat tulisan seorang Mayor Inggeris bernama R. B. Houston dari kesatuan "10 th Gurkha Raffles", yang ikut serta dalam pertempuran di Indonesia sekitar tahun 1945/1946. Selain tentang bentrokan senjata antara kita dengan pihak Tentara Inggeris, Jepang dan Belanda di sekitar kota Jakarta, di Semarang, Ambarawa, Magelang dan lain-lain lagi. Maka Mayor R. B. Houston menulis juga tentang pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di Surabaya. Perlu kita ingatkan kembali, maka perlu dikemukakan di sini, bahwa telah terjadi dua kali pertempuran antara Tentara Inggeris dan Rakyat Surabaya. Yang pertama selama 3 malam dan dua hari, yaitu kurang lebih 60 jam lamanya dimulai pada tanggal 28 Oktober 1945 sore, dan dihentikan pada tanggal 30 Oktober 1945 jauh di tengah malam. Dan yang kedua dimulai pada tanggal 10 Nopember 1945 pagi sampai permulaan bulan Desember 1945, jadi lebih dari 21 har...