Langsung ke konten utama

PERANG DUNIA II: Tojo Tak Kenal Menyerah

Dua bom atom AS atas Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945) memaksa Jepang mengaku kalah dan menyerah kepada pasukan Sekutu. Itu yang dilakukan Kaisar Jepang Hirohito. Jenderal Hideki Tojo yang juga menjadi PM Jepang pada Perang Dunia II menolak menyerah dan memilih terus berperang. Bagi Tojo, menyerah tidak ubahnya tindakan pengecut.

Sikap pantang menyerah dari jenderal berkepala plontos kelahiran Tokyo, 30 Desember 1884 ini, terungkap dari catatan hariannya yang disiarkan pertama kali oleh media Jepang, Selasa (12/8). Catatan harian tulisan tangan Tojo sebanyak 20 halaman ini dibuat pada hari-hari terakhir Perang Dunia II. Catatan ini disimpan Arsip Nasional Jepang.

"Catatan ini memperlihatkan Tojo tetap mempertahankan mental militer hingga saat-saat terakhir," ujar Kazufumi Takayama, kurator arsip yang memastikan akurasi dari catatan harian Tojo ini. "Sungguh sangat bernilai," ujarnya.

Hideki Tojo, putra ketiga dari Letjen Hidenori Tojo, menjabat perdana menteri (1941-1944). Dia dihukum mati pada 23 Desember 1948 oleh pengadilan militer Sekutu karena kejahatan perang. Catatan harian ini memperlihatkan betapa Tojo sangat keras menolak menyerah sekalipun sebagian besar warga Jepang sudah kehilangan asa.

"Kita harus melihat negara ini menyerah kepada musuh tanpa memperlihatkan kekuatan kita hingga 120 persen," tulis Tojo bertanggal 13 Agustus 1945, dua hari sebelum Jepang menyerah. "Kita ada pada posisi perdamaian memalukan daripada menyerah memalukan," ujarnya.

Tojo juga mengecam keras rekan-rekannya, menuduh para pemimpin pemerintah takut oleh ancaman musuh dan dengan mudah menyerah.

Menurut Tojo dalam catatannya, para pemimpin Jepang yang mengusulkan menyerah terutama karena takut dengan "bom jenis baru" dan kemungkinan Uni Soviet juga terlibat dalam perang.

Tulisan Tojo soal "bom jenis baru" ini berkaitan dengan bom atom yang dijatuhkan AS di Hiroshima dan Nagasaki, menewaskan sekitar 200.000 orang. Bom ini bisa menimbulkan kehancuran total di seluruh Jepang.

Bambu runcing

Posisi militer Jepang saat itu sudah tersudut, kalah di laut dan darat di banyak tempat. Anak-anak, perempuan, dan orang tua dipersenjatai dengan bambu runcing, mempertahankan tanah air dari invasi musuh.

Catatan Tojo ini sampai ke pemerintahan ketika pembela Tojo, Ichiro Kiyose, menyerahkannya kepada Kementerian Kehakiman. Kementerian lantas menyerahkannya ke Arsip Nasional tahun 1999. Para penyelidik mulai mengamati catatan harian ini sejak tahun lalu.

Catatan harian dengan tulisan tangan ini cocok dengan tulisan tangan Tojo saat dia meringkuk dalam Penjara Sugamo hingga dihukum mati tahun 1948.

Ungkapan pikiran Tojo dalam catatan harian ini memperlihatkan keyakinannya bahwa tepat dan perlu aksi invasi militer Jepang yang brutal ke seluruh wilayah Asia, termasuk hingga ke Indonesia. Dia juga tak menyesal dengan keputusannya menyerang Pearl Harbor, pangkalan militer AS di Hawaii, 7 Desember 1941. Serangan yang melibatkan AS dalam perang.

Pada 10 Agustus, sehari setelah Nagasaki dibom, Tojo menulis bahwa perang perlu untuk menstabilkan Asia Timur dan mempertahankan negara (Jepang). "Banyak tentara dan rakyat tidak sempat berkorban sampai mati hingga tujuan ini tercapai," tulisnya.

Catatan harian Tojo ini sepertinya lebih ditujukan kepada dirinya sendiri. "Saya menerima keputusan menyerah ini dengan diam," tulisnya. Tojo memutuskan tidak banyak berkomentar sekalipun dia sangat menentang keputusan menyerah.

Pada 14 Agustus, sehari sebelum Jepang mengaku kalah, Tojo menulis surat kepada seorang anggota stafnya dan mengatakan, "Dia bertanggung jawab moral menyebabkan kematian yang sia-sia sekalipun sebenarnya mereka telah berkorban untuk tujuan yang lebih besar."

"Saya mohon maaf dengan menawarkan nyawa saya," tulisnya. Tojo gagal harakiri pada September1945 sebelum ditangkap. Tojo dikenal sebagai pribadi yang keras dan pengambil keputusan yang cepat.

(REUTEURS/AFP/AP/PPG)



Sumber: Kompas, 13 Agustus 2008



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan