Langsung ke konten utama

Bandung Diduduki Tentara Nippon 10 Maret 1942

Oleh H. ROSIHAN ANWAR

SAYA tengah membaca buku: Oorlogs-Reportages uit Nederland en Nederlands Indie - De Twede Wereldoorlog in ooggetuigen verslag, disusun oleh wartawan Addie Schulte, ketika kesomplok dengan tulisan wartawan Belanda Jan Bouwer mengenai pendudukan Bandung oleh tentara dai Nippon 10 Maret 1942.

Pukul enam malam hari tersebut pasukan pertama Jepang memasuki Kota Bandung. Panglima setempat Letjen Harada telah berbicara kepada para warga Bandung. Ia mengharapkan tiap orang akan mematuhi perintah tentara Dai Nippon. Kedatangan pasukan Jepang telah diumumkan melalui radio oleh juru bicara "Tentara ke-16". Bagian propagandanya telah mengambil alih studio "Nirom".

Pagi itu orang-orang Jepang telah mengambil mobil Bouwer. Dia pergi sebentar ke kota buat mengurus beberapa hal, tapi depan Preanger Hotel dia ditahan oleh seorang serdadu Jepang. Seraya menempelkan secarik kertas berhuruf Kanji di kaca muka mobil, serdadu Jepang lain membuka pintu kiri mobil dan mengisyaratkan agar Bouwer ke luar dan menyerahkan kunci mobil. Tak ada jalan selain turut perintah. Salah satu dari orang-orang Jepang itu bisa bicara bahasa Indonesia dengan baik. Bouwer mengenalinya sebagai pembantu sebuah foto studio di Batavia di tempat dia mencuci dan mencetak rol filmnya. Dia juga mengenali Bouwer dan tersenyum. Waktu Bouwer dalam bahasa Indonesia memintanya supaya bisa mengambil barang-barang pribadinya dari mobil, Jepang itu kembali ke sikap orang yang menang perang. Dia marah sekali dan berteriak "pergi". Dengan demikian Bouwer kehilangan mesin ketiknya, peta jalan Jawa, dan sebuah koper berisi pakaian istrinya Ivy.

Empat serdadu Jepang meloncat segera ke dalam mobil Bouwer dan sambil berteriak keras pergi, sedangkan Bouwer jalan kaki. Ketika melewati Savoy-Homann Hotel, Bouwer melihat mobilnya untuk penghabisan kali. Serdadu Jepang sedang mengisinya penuh dengan perlengkapan militer, seraya temannya mengutak-atik mesin mobil yang rupanya mogok.

Kembali banyak orang Indonesia di jalanan, lebih banyak daripada kemarin. Bouwer lewat gedung Nederland-Indische Handelsbank. Depan pintu masuk ditaruh meja dengan taplak hijau. Tiga orang Jepang duduk di belakangnya. Di depannya berdiri seorang skeleowak. Di atas meja satu botol whisky dan beberapa pak rokok. Di pintu masuk tergantung kertas bertuliskan "Dibeslah Sama Balatentara Dai Nippon".

Nerdelands Handelsmaatschappij juga ditutup dan dibeslah. Begitu juga kantor pos besar dan gedung Nillmij. Di sini berkantor barisan propaganda tentara Jepang. Di mana-mana tampak tempelan-tempelan dengan gambar uang kertas Jepang yang pagi itu telah mulai beredar. Uang kertas dengan denominasi lo, 5 dan 1 gulden dan 50, 10, 5 dan 1 sen. Surat kabar "Algemeen Indisch Dagblad" masih terbit, tapi isinya hanya berbagai pengumuman yang dikeluarkan beberapa hari belakangan.

Orang bilang Jepang bertindak keras terhadap para perampok. Banyak dari maling itu ditembak mati. Di pihak lain terdapat berita-berita pasti bahwa juga militer Jepang secara besar-besaran ikut di dalam perampokan.

Makanan sulit diperoleh. Para penjual tidak lagi datang ke rumah-rumah. Pedagang-pedagang di jalan tidak lagi berani menjual barang mereka kepada orang-orang Eropa. Dengan harga sangat tinggi Bouwer berhasil mendapatkan pisang dan buah apel. Tak ada roti, daging, sayur, telur. Tidak ada apa-apa pun. "Tapi paling tidak kita sudah tahu bahwa pendudukan Bandung oleh tentara Nippon merupakan fakta," kata Bouwer.

Sebulan setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Jan Bouwer yang selama masa pendudukan Jepang tetap "bersembunyi di bawah tanah" menulis tentang "Desas-desus di Bandung". Di kalangan orang-orang Eropa di Bandung sekonyong-konyong beredar desas-desus bahwa Jepang di bawah ancaman Amerika telah melepaskan Jawa dan tinggal menunggu kedatangan pasukan pembebasan sekutu. 90 persen orang-orang percaya cerita ini. Cerita makin lama makin edan. Hindia Belanda akan ditukar dengan Nieuw Guinea (Irian Barat). Hanya Kenpeitai dan pejabat-pejabat sipil Jepang yang akan tinggal untuk menjaga keamanan dan ketertiban dan penyerahan formal daerah itu. Tentara Jepang akan mengundurkan diri.

Armada pembebasan sudah dalam perjalanan. Timor telah dibebaskan. Sebuah pesawat terbang berisi para perunding Amerika telah tiba di Surabaya. Orang telah melihat gubernur jenderal ada di Bandung. Sulit sekali untuk tetap tinggal tenang dan tidak ketularan oleh demam desas-desus.

Mesti ada sebab yang bisa ditunjuk buat semua itu, sekalipun hanya bahwa orang-orang Jepang sendiri yang mengedarkan cerita sas-sus untuk menimbulkan patah semangat yang lebih besar, bila nanti ternyata semua itu tidak benar. Dengan kata lain, perang urat syaraf untuk mematahkan moril orang-orang Eropa, Indo, Indonesia dan Tionghoa yang yakin akan kemenangan Sekutu. Tiap orang yang mengikuti berita-berita tentang perlawanan hebat Jepang di Guadalcanal dan di Australian Nieuw Guinea seharusnya tahu bahwa bukanlah sifat orang Jepang untuk menyerah begitu saja. "Karena itu pula cerita ini sama sekali adalah gila," demikian kata Jan Bouwer.

Kalau tidak kebetulan membaca buku tentang reportase-reportase perang tadi, mana saya tahu bagaimana suasana Kota Bandung ketika tentara Jepang memasukinya bulan Maret 1942, dan cerita edan sas-sus yang beredar sebulan setelah proklamasi kemerdekaan. ***


Penulis, wartawan senior.


Sumber: Pikiran Rakyat, 9 Oktober 2006


Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan