Langsung ke konten utama

K. H. Z. Mustofa, Pejuang Sukamanah

JUMAT, (25/2) sekira 62 tahun silam, tepatnya tahun 1944/1 Rabiul Awal 1365 H, di Sukamanah Kab. Tasikmalaya, terjadi pertempuran hebat antara pejuang (santri-red) melawan penjajah. Peristiwa itu, tidak akan pernah dilupakan warga setempat dan keluarga korban.

Pasalnya, pertempuran tersebut merenggut korban jiwa para pejuang dalam jumlah banyak. Kejadian heroik itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan sejarah Tasikmalaya. 

Ketika itu, 25 Februari 1944, tepatnya menjelang waktu salat Asar puluhan truk militer siap tempur mendatangi Sukamanah. Mereka langsung melakukan tembakan salvo, menghujani barisan santri yang hanya bersenjatakan bambu runcing, pedang, bambu dan senjata sederhana lainnya.

Melihat yang datang menyerang adalah bangsa sendiri, saat itu K. H. Z. Mustofa mengeluarkan perintah. Para santrinya diminta tidak melakukan perlawanan, sebelum musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab serangan mereka. Namun dengan jumlah kekuatan penyerang yang lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak-morandakan pasukan Sukamanah, termasuk menangkap K. H. Z. Mustofa.

Sehari sebelumnya (24 Februari 1944), pasukan Jepang sempat pula melakukan penyerangan. Mereka mengirimkan satu regu pasukan bersenjata, guna menangkap K. H. Z. Mustofa dan para santrinya. Hal itu dilakukan karena Jepang tahu sikap K. H. Z. Mustofa, yaitu telah bertekad menentang dan menyatakan berontak terhadap penjajahan. Upaya menangkap pada hari itu gagal, pasukan yang dikirim Jepang bisa dilumpuhkan dan menjadi tawanan Sukamanah. Namun semua tawanan itu, dibebaskan lagi keesokan harinya, hanya senjatanya tetap menjadi rampasan. 

Ternyata tidak hanya sampai di situ, upaya Jepang mengangkap K. H. Z. Mustofa terus dilakukan. Keesokan harinya (25 Februari) Jepang mengirimkan empat orang ke Sukamanah dan meminta agar menyerah, tetapi tidak berhasil. Malahan dari empat orang yang datang itu, tiga di antaranya berhasil dilumpuhkan dan satu lagi bisa lolos menyelamatkan diri. Setelah itu, sore harinya serangan pun kembali dilakukan dengan jumlah pasukan lebih besar lagi. 

Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu, mengakibatkan sekira 86 pejuang gugur dan K. H. Z. Mustofa ditangkap dan ditahan di Tasikmalaya, selanjutnya pindah ke Bandung.

Setelah itu, K. H. Z. Mustofa dipindah lagi hingga tidak diketahui keberadaannya. Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol Jakarta memberi kabar. K. H. Z. Mustofa telah menjalani hukuman pada tanggal 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol Jakarta.

**

K. H. Z. Mustofa merupakan sosok pejuang (pahlawan nasional-red) yang muncul dari kalangan pesantren. Dia dilahirkan pada tahun 1901 di Kp. Bageur Ds. Cimerah Kec./Kewedanaan Singaparna (sekarang Ds. Sukarapih Kec. Sukarame) Kab. Tasikmalaya. Dibesarkan dalam keluarga petani yang taat beragama, hasil pernikahan pasangan suami-istri Nawapi dan Ny. Ratmah.

Mustofa kecil belajar di Sekolah Rakyat, melanjutkan ke pesantren. Pertama kali masuk pesantren di Gunung Pati di bawah bimbingan Dimyaty (kakak sepupu-dikenal K. H. Zainal Muhsin). Selanjutnya, menimba ilmu di Pontren Cilenga Leuwisari dan Sukamiskin Bandung.

Walaupun masa kecilnya di zaman penjajahan Belanda, semangat jihad yang ditanamkan kakak sepupunya tertanam sangat kuat. Tahun 1927, Mustofa mendirikan pesantren di Kp. Cikembang dengan nama Sukamanah. Sebelumnya, di Kp Bageur tahun 1922 telah berdiri pula pesantren yang didirikan K. H. Zainal Muhsin, yaitu Pesantren Sukahideung.

Saat itu, K. H. Z. Mustofa tumbuh menjadi pimpinan dan anutan yang karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933, masuk Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil rois Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.

Sikapnya membenci penjajah ditanamkan kepada para santrinya yang jumlahnya antara 600 s.d. 700 orang. Sikap itu kadang disampaikan terang-terangan di muka umum. Sehingga tidak jarang, dirinya sering diturunkan dari mimbar oleh kiai yang pro penjajah. 

Sekira 17 November 1941, dirinya bersama K. H. Ruhiyat (pimpinan Cipasung) ditangkap dan ditahan di Penjara Tasikmalaya. Sehari kemudian, dipindah ke Sukamiskin Bandung dan baru bebas 10 Januari 1942. Akhir Februari 1942, Mustofa kembali ditangkap dan dimasukkan penjara Ciamis. Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang, masih mendekam di penjara. Akhirnya Mei 1942, dibebaskan seorang kolonel Jepang.

Pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan pandangannya terhadap penjajah tidak berubah. Bahkan kebenciannya semakin memuncak, manakala menyaksikan sendiri kezaliman penjajah terhadap rakyat. Itu semua membuat tekadnya menentang dan menyatakan berontak terhadap Jepang semakin kuat.

Sementara itu berdasarkan catatan, beberapa penghargaan yang diberikan pemerintah atas jasa almarhum, di antaranya diabadikan namanya menjadi nama jalan di pusat Kota Tasikmalaya. Dianugerahi Pahlawan Nasional dengan SK Presiden RI Nomor 064/TK tahun 1972 tanggal 20 November 1972. Kemudian pemindahan kerangka jenazah almarhum beserta 17 orang pengikutnya pada 25 Agustus 1973 ke Makam Pahlawan Sukamanah. (Yusuf Adji/"PR")***



Sumber: Pikiran Rakyat, 27 Februari 2006





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...