Langsung ke konten utama

Pendidikan Itu untuk Rakyat ....

Oleh: INDIRA PERMANASARI

Sekitar 70 tahun lalu, tepatnya 1927, seorang anggota Volksraad (dewan perwakilan rakyat buatan Belanda dalam rangka politik etis) Meyer Ranneft, berpidato tentang pendidikan di Hindia Belanda.

" ... Masyarakat Hindia Belanda, yang kini diusahakan untuk dibangun lebih cepat oleh pemerintah melalui pendidikan, mempunyai dua ciri penting. Pertama, masyarakat ini adalah suatu masyarakat yang mempunyai pertentangan-pertentangan yang tajam; ia adalah konglomerasi dari suatu equilibrium yang labil. Kedua, negeri ini miskin. Bilamana meneliti sistem pendidikan, kita melihat adanya kekurangan justru pada dua masalah pokok ini. Apakah pendidikan kita turut mempertajam kontras sosial ekonomi, sehingga melonggarkan sendi-sendi persatuan? ...."

Cuplikan pidato itu dibacakan Dr Mestika Zed, sejarawan dari Universitas Negeri Padang dalam forum diskusi 60 Tahun Indonesia Merdeka dalam Lintasan Sejarah di Bandung pekan lalu.

Menurut Mestika, pada masanya Ranneft merupakan tokoh kritis yang peduli dengan pendidikan bumiputra. Konteks historis dan dilema pendidikan pada masa itu tentu terkait dengan persoalan yang lebih luas. Namun, inti persoalannya telah dinyatakan jelas oleh Ranneft.

Pendidikan kolonial pada masa itu dikecam karena tidak menjawab persoalan mendasar anak negeri yakni pertentangan dan kemiskinan, sifatnya hanya menimbun intelektualisme, memperbesar jarak sosial ekonomi sedemikian rupa, dan hubungannya tipis antara teori dan praktik pendidikan. 

Kini, sejarah pendidikan kolonial sudah berlalu berpuluh tahun tetapi dunia pendidikan di Tanah Air masih dihadapkan dengan permasalahan serupa.

Mestika terutama menyoroti mengentalnya nuansa pendidikan sebagai komoditas yang dikhawatirkan ujungnya memperdalam jurang sosial.

"Contoh aktual, semakin menjamurnya sekolah unggulan di kota besar seperti Jakarta. Sekolah-sekolah tersebut umumnya hanya menekankan kepada kebutuhan pengetahuan seperti bahasa asing, Matematika, dan keterampilan tertentu. Intinya, bagaimana agar anak menggandakan pendidikan sebagai sebuah aset untuk dirinya. Sekolah-sekolah tersebut lalu menyediakan fasilitas untuk tujuan itu dengan harga tinggi. Namun, dengan model demikian apakah setelah menjadi pintar anak tersebut akan peduli dengan sekitarnya?" katanya.

Ironisnya, tidak semua anak bangsa dapat mengakses pendidikan tersebut, terutama mereka yang miskin.

Dia berpendapat, harus ada sebuah dimensi moral dan tanggung jawab yang diberikan kepada anak ketika dia mendapat pengetahuan dari sekolah. Pidato pejabat Belanda Meyer Ranneft masih relevan yakni pendidikan yang terutama ialah untuk rakyat, termasuk yang miskin. Tanpa misi itu, pendidikan tidak akan terkait dengan upaya keluar dari kemiskinan.

Ketika semangat kepedulian bersama yang dapat ditularkan lewat pendidikan itu hilang maka realitasnya yang miskin tetap miskin, yang kaya semakin kaya. "Kita menjadi masyarakat yang sudah terpecah dan perekat bersama itu tidak ada lagi," kata Mestika.

Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Prof Djoko Suryo, yang membawakan makalah Dinamika Pendidikan di Indonesia, mengungkapkan hal senada. Pada masa kolonial terutama era 1900-1942 pendidikan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga pribumi bagi kepentingan pemilik modal berat, dalam hal ini Belanda. Pendidikan juga dibedakan berdasarkan keturunan bangsa dan kedudukan sosial yang terbatas dan diskriminatif.

"Saat ini, saya melihat kecenderungan banyak sekolah yang lebih menekankan tujuan pendidikan agar peserta didik gampang mencari pekerjaan. Salah satu contoh, berbagai sekolah menonjolkan kelas, program, atau kurikulum internasional dengan berbahasa pengantar asing. Ini agar murid dapat bersaing di pasar global. Orientasi pendidikan sekadar untuk menjadi pekerja. Hal ini akan mendidik seseorang menjadi individualis dengan orientasi kehidupan yang materialistik," katanya.

Akibatnya, masalah kepribadian, identitas, kemanusiaan, dan solidaritas tidak banyak diperhatikan oleh lembaga pendidikan. Padahal, di tengah masalah kemiskinan dan ketertinggalan, pendidikan harus turut menanamkan kepedulian kepada lingkungan dan masyarakat.

Djoko Suryo berpandangan, sekolah perlu mampu menumbuhkan kepada peserta didik kesadaran sebagai anggota masyarakat yang memiliki komitmen terhadap masyarakat.

"Tidak cukup menjadi manusia yang memiliki kemampuan, yakni dapat bekerja, tetapi juga dapat bermasyarakat dan melihat kepentingan bersama," kata Djoko.

Dengan demikian, pendidikan seharusnya menjadi perekat dan bukan menciptakan jurang pemisah sosial.



Sumber: Kompas, 20 Agustus 2005



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...